Sengketa Lahan Masyarakat Olak-olak Kubu dengan Perusahaan Sawit yang Terus Membara

Halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tampak lengang. Berbeda dengan dua minggu sebelumnya. Lorong-lorongnya dipenuhi orang yang beberapa di antaranya mengasuh balita. Mereka adalah sebagian warga Desa Olak-olak Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang takut ditangkap polisi akibat laporan PT. Sintang Raya, perusahaan perkebunan kelapa sawit.

“Saya menunggu jemputan, sambil menanti kepastian bahwa kami dijamin tidak ditangkap,” tukas Warni (35), seorang warga, pada 11 Agustus 2016. Warni hanya mengenakan baju tidur. Rata-rata yang menunggu adalah para istri, sementara suami mereka lebih dulu pulang untuk memastikan keadaan aman.

Kasus ini mencuat sejak puluhan warga Desa Olak-olak Kubu melakukan demonstrasi di lokasi tanah sengketa, milik warga dengan perusahaan. Sebelumnya, warga melakukan pemanenan buah kelapa sawit di areal sengketa tersebut.

Perusahaan mengatakan rugi hingga 100 ton lebih buah sawit. Polisi yang menindaklanjuti laporan perusahaan, menemukan sekitar 60 ton buah sawit yang belum diolah di sebuah pabrik pengolahan. Empat warga Olak-olak Kubu ditahan karena tudingan pengeroyokan seorang bintara polisi, buntut dari aksi demo yang ricuh. Seorang diantaranya, atas laporan pencurian sawit.

Kondisi ini menyebabkan semua warga yang pernah melakukan pemanenan ketakutan. Terlebih, polisi mengerahkan Brimob untuk penjemputan paksa para tersangka. Berbondong, mereka mengungsi ke Pontianak. Sekitar 160 warga, membawa anak-anak mereka untuk mengungsi. Minta keadilan ke Komnas HAM, bahwa fakta telah diputarbalikkan perusahaan.

Mursi (50), kepala Seksi Pembangunan dan Ekonomi Desa Olak-olak, membantah warga melakukan aksi anarkis saat demo. “Tadinya hanya menggelar yasinan dan berlanjut ke dekat areal PT. Sintang Raya. Namun, karena berdesakan saat mediasi, jadi perkelahian antara warga dengam polisi.”

Warga ketakutan dan trauma, pasca-penangkapan Katim (40), diangkut paksa meski sakit, yang melibatkan Brimob Polda Kalbar bersenjata lengkap. “Surat panggilan dari kepolisian, ditandatangani anak saya Krisyonatan, usia 12 tahun yang dipaksa. Saya tidak di rumah,” kata Purwaningsih (36), istri Katim.

Polisi juga menyasar puluhan warga yang diduga melakukan pencurian, berdasarkan laporan PT. Sintang Raya. “Di desa, polisi melakukan sweeping, menggeledah rumah warga. Tanpa dilengkapi surat perintah. Kami takut,” tambah Mariah (37) warga desa.

30 Juli 2016, polisi melakukan sweeping ke rumah-rumah warga dan menyita barang masyarakat, diantaranya mobil Grand Max milik Zaenal serta motor tosa dan motor air punya Rahman.

Ingkar

Wahyu Setiawan, Ketua Aliansi Gerakan Reformasi Agraria Kalimantan Barat, mengungkapkan, pasca-kepulangan warga, kasus hukum yang disepakati dihentikan sementara, tidak diindahkan Polres Mempawah. “Surat perintah pemanggilan dilayangkan ke salah satu warga. Warga kembali ketakutan,” ujarnya.

Dia mengatakan, pemerintah daerah lambat mengatasi konflik. “Warga hanya menuntut hak mereka yang telah direbut perusahaan. Putusan Mahkamah Agung (MA) menyebutkan agar lahan perusahaan segera dikembalikan.”

Terutama, dalam menindaklanjuti putusan MA, yang dikuatkan oleh penolakan peninjauan kembali (PK) MA yang diajukan PT. Sintang Raya. “Selama ini, mereka hanya bercocok tanam jagung, sayur-mayur dan kelapa,” kata Wahyu.

Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal Polisi Musyafak mengatakan, tidak bisa menghentikan proses hukum terkait pencurian tersebut. “Yang dilakukan warga tindak pidana. Tidak serta-merta dihentikan, saya sudah jelaskan ke Kapolri.”

Musyafak meminta Komnas HAM dan pihak-pihak terkait menurunkan tim investigasi. “Kasusnya sudah lama, terjadi lagi karena demo. Mereka mengirim surat kepada Presiden, bahasanya dikriminalisasi polisi. Lha wong alat buktinya cukup kuat, mereka mengambil barang yang bukan miliknya.”

Perkebunan kelapa sawit yang menyisakan permasalahan dengan masyarakat sekitar, terutama klaim lahan. Foto: Rhett Butler

Konflik lahan

Unjuk rasa berawal dari sengketa lahan beberapa warga Desa Olak-olak dengan PT. Sintang Raya yang dianggap tumpang tindih. Masyarakat mengajukan gugatan, hingga pada putusan Mahkamah Agung, yang mengabulkan gugatan warga untuk mengembalikan areal yang tumpang tindih itu.

“Perlu dicermati, putusan MA ada tiga poin. Pada poin ketiga disebutkan, luasan yang dikembalikan bukan 11 ribu hektare seperti yang dituntut warga, melainkan 5 hektare,” ujar Harlan Sitorus, kuasa hukum PT. Sintang Raya.

Dia mengatakan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kubu Raya harus mencabut sertifikat lama dan menggantinya yang sesuai putusan MA. “Sampai sekarang, sertifikat belum diterbitkan. Warga belum punya dasar untuk memanen di kawasan yang termasuk konsesi PT. Sintang Raya, maka kami laporkan pencurian. Pemanenan tersebut, dilakukan serombongan warga hingga 100 ton dan dijual ke pabrik.”

Senior Manager PT. Sintang Raya, Iskandar ZM mengharapkan warga mencermati tiga butir keputusan MA. Pertama mengabulkan gugatan penggugat, kedua mencabut dan membatalkan HGU, ketiga menerbitkan kembali sertifikat sebagai pengganti setelah mengurangi hak lima penggugat sebanyak 5 hektare. “Bukan 11 ribu hektare lebih, seperti yang dituntut.”

Konflik dengan PT. Sintang Raya nyatanya melibatkan warga delapan desa di Kecamatan Kubu. Di desa Olak-olak Kubu, konflik diakibatkan peralihan lahan seluas 801 ha dari PT. Cipta Tumbuh Berkembang (CTB) kepada PT. Sintang Raya (SR) tanpa sepengetahuan petani plasma PT. CTB yang luas plasmanya 151 ha. Selain itu, terjadi penyerobotan 5 ha lahan warga Desa Olak-Olak oleh PT. Sintang Raya, sedangkan Desa Olak-olak Kubu tidak termasuk dalam SK hak guna usaha (HGU) PT. Sintang Raya.

Di Desa Pelita Jaya, konflik akibat penyerobotan lahan warga seluas 54 ha yang dikerjasamakan dengan PT. Cipta Tumbuh Berkembang. Desa ini padahal tidak termasuk HGU PT. Sintang Raya.

Di Desa Dabong, ada penyerobotan lahan SP 2 (lahan cadangan untuk areal pemukiman transmigrasi) seluas 2.675 ha berdasarkan SK Gubernur Kalimaantan Barat No. 476 Tahun 2009. Di Desa Seruat II, ada penyerobotan lahan cadangan pengembangan masyarakat seluas 900 ha. Di Desa Sungai Selamat, Ambawang, Mengkalang Jambu dan Mengkalang Guntung tidak adanya kejelasan mengenai lahan plasma masyarakat dalam HGU.

Eskalasi konflik meningkat setelah putusan PTUN yang menyatakan HGU PT. Sintang Raya batal demi hukum melalui putusan No. 36/G/2011/PTUN-PTK yang diperkuat PT.TUN No. 22/B/2013/PT.TUN.JKT dan Putusan MA No. 550 K/TUN.2013. Terdapat pula putusan MA yang menolak PK yang diajukan PT. Sintang Raya No.152 PK/TUN/2015. Namun demikian, pemerintah tidak segera menjalankan amar putusan pengadilan tersebut.

Warga Desa Olak-olak yang berada di Komnas HAM, mengutarakan permasalahan mereka dengan perusahaan perkebunan. Foto: Aseanty Pahlevi
Warga Desa Olak-olak Kubu yang berada di Komnas HAM, mengutarakan permasalahan mereka dengan perusahaan perkebunan. Foto: Aseanty Pahlevi

HGU batal

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kubu Raya, Firdaus mengungkap, BPN telah mengusulkan pembatalan HGU PT. Sintang Raya ke Kanwil BPN Kalbar setahun lalu. “Namun, hingga kini belum ada hasil dari pusat, sebab putusan yang diajukan berdasarkan surat keputusan menteri. BPN Kubu Raya juga sudah beberapa kali melakukan mediasi, tapi tidak ada titik temu.”

Terkait areal sengketa PT. Sintang Raya dengan PT. CTB, Komisi I dan II DPRD Kalimantan Barat akan melakukan konsultasi ke Mahkamah Agung. Menghindari konflik antarwarga, PT. Sintang Raya dan PT. Cipta Tumbuh Berkembang (CTB), diminta menghentikan aktivitas di area sengketa.

“Kedua perusahaan, termasuk semua pihak harus menghormati putusan Mahkamah Agung dan PTUN. Situasi kondusif harus dijaga,” kata Krisantus Kurniawan, Ketua Komisi I DPRD Kalbar.

Masyarakat memberikan kesaksian saat berada di kantor Komnas HAM. Video: Aseanty Pahlevi

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,