Wah.. Bahan Kimia Berbahaya Ditemukan pada Mainan Anak. Mainan Apa?

Ancaman racun ada di sekitar kita, bahkan bisa terpapar sejak dini. Salah satunya pada mainan anak yang tujuannya mengasah otak, eh malah bisa meracun otak.

Warna-warni menarik pada mainan anak, kadang membuat malas untuk mengecek label atau kandungannya. Celakanya, sebagian mainan tak berlabel. Bagaimana cara mengecek?

Rudi, salah seorang pemilik mainan cukup besar di Denpasar mengatakan ada mainan yang dijualnya diganti kemasannya. “Karena hampir semua impor, rusak lalu kami ganti. Itu ada kotaknya kalau mau,” pria ini meminta pegawainya mengambilkan kotak wadah mainan kubus rubik di gudang.

Ia mengaku lebih senang menjual mainan berlabel, alasannya kalau ada masalah ada yang bertanggung jawab. “Kalau berbahaya kan importirnya yang dicari,” katanya. Dalam sejumlah mainan rubik yang dijualnya, ada keterangan nama importir dan logo Standar Nasional Indonesia (SNI).

BaliFokus, sebuah lembaga advokasi yang menaruh perhatian pada penanganan bahan kimia dan limbah di Indonesia merilis hasil uji laboratorium pada akhir Agustus lalu. Bahan kimia berbahaya bekas sampah elektronik ditemukan pada sejumlah mainan rubik, sebuah rangkaian kubus yang merangsang otak dalam memainkannya.

Profesor arsitektur HungariaErnő Rubik tentu tak menciptakan rubik ini untuk mencelakai orang, apalagi anak-anak. Namun, ketenaran rubik membuat sejumlah produsen atau peniru mainan ini menyetaknya dari tambahan material berbahaya.

Dalam catatan Wikipedia rubik ditemukan pada tahun 1974Kubus ini terbuat dari plastik dan terdiri atas 27 bagian kecil yang berputar pada poros yang terlihat. Setiap sisi dari kubus ini memiliki sembilan permukaan yang terdiri dari enam warna yang berbeda. Ketika terselesaikan, setiap sisi dari kubus ini memiliki warna yang sama, tetapi berbeda dengan sisi lainnya.

Kubus ini dibuat kembali dan dipasarkan di kawasan Eropa pada Mei 1980. Rubik tercatat sebagai mainan yang paling banyak terjual di dunia, dengan sekitar 300 juta kubus rubik, termasuk imitasinya.

Penemunya mainan rubik, Profesor arsitektur Hungaria, Ernő Rubik, meniatkan permainan itu sebagai games asah otak bagi anak, bukan mencemari otak dengan bahan kimia berbahaya yang terkandung di dalamnya. Foto: Luh De Suriyani
Penemunya mainan rubik, Profesor arsitektur Hungaria, Ernő Rubik, meniatkan permainan itu sebagai games asah otak bagi anak, bukan mencemari otak dengan bahan kimia berbahaya yang terkandung di dalamnya. Foto: Luh De Suriyani

Hasil observasi ini sebagai bagian dari rilis hasil survei global kandungan bahan kimia beracun dalam mainan asah otak pada Scientific Conference on Persistent Organic Pollutants (POPs), konferensi ilmiah tentang polutan organik yang persisten di Firenze, Italia akhir Agustus lalu. Tak hanya sampel rubik dari Indonesia yang mengandung zat berbahaya, juga dari beberapa negara lainnya.

Krishna Zaki, Toxic Program Officer BaliFokus kepada Mongabay, Jumat (02/09/2016) mengatakan pihaknya berkontribusi mengirimkan 15 sampel rubik yang dibeli di Jakarta dan Bali. Sampel ini lalud ikirim ke Arnika, organisasi lingkungan di Republik Ceko. Jadi total ada 47 sampel rubik dari 16 negara yang diteliti International POPs Elimination Network (IPEN).

IPEN adalah jaringan LSM global dari 700 organisasi non-pemerintah yang bekerja di lebih dari 100 negara berkembang dan negara dengan ekonomi transisi. IPEN bekerja untuk membangun dan menerapkan kebijakan dan praktik kimia yang aman untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Sampel yang diuji dari Indonesia berada dalam konsentrasi polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) yang disebut OctaBDE dan/atau DecaBDE rata-rata dari semua sampel termasuk dari negara-negara Uni Eropa, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Tiga dari belasan sampel dari Jakarta dan Bali itu disebut mengandung kadar OctaBDE/DecaBDE dengan jumlah yang signifikan.

“Paling bagus ya tidak ada sama sekali,” seru Krishna tentang kandungan polybrominated yang biasa ia sebut brom ini. Ia menyebut rubik yang dibeli beda merk atau kemasan, hampir semua ditulis buatan Cina. Produk negara ini khususnya mainan dan souvenir memang mendominasi pasar global, termasuk negara Eropa.

Kedua zat kimia ini, OctaBDE dan DecaBDE, merupakan kimiawi brominated flame retardant yang banyak digunakan pada casing atau selubung plastik produk elektronik. Zat kimia ini diketahui dapat mengganggu sistem hormon, berdampak negatif perkembangan sistem saraf dan kecerdasan anak.

Krishna menjelaskan sampah elektronik banyak didaur ulang jadi mainan anak. “Kandungan brom masih rata-rata, tak ada baku mutu dan standar soal ini. Ambang polutan sudah ada di konvensi Stockholm tapi setelah diratifikasi belum ada tindaklanjut,” lanjutnya.

Biasanya temuan-temuan seperti ini, menurutnya diteruskan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia untuk ditindaklanjuti. Termasuk temuan timbal dalam cat yang sebelumnya sudah dirilis juga.

“Banyak untuk ngecat mainan edukatif. Kementerian mulai menggodok ecolabel dan standarisasi SNI. Tapi pelan-pelan karena alasan perusahaan mengganti komponen produksi pengaruh ke ongkos produksi,” papar pria yang bertugas di Bali ini. Namun menurutnya sebuah perusahaan cat ramah lingkungan bisa jualan karena bisa jadi materi pemasaran juga.

Sebuah contoh kemasan mainan rubik dengan label CE, singkatan kata Perancis yaitu Communauté Européenne atau Conformité Européenne yang artinya untuk persesuaian Eropa. Hasil penelitian BaliFokus dan International POPs Elimination Network (IPEN) menunjukkan ada bahan kimia berbahaya pada mainan anak. Foto: Luh De Suriyani
Sebuah contoh kemasan mainan rubik dengan label CE, singkatan kata Perancis yaitu Communauté Européenne atau Conformité Européenne yang artinya untuk persesuaian Eropa. Hasil penelitian BaliFokus dan International POPs Elimination Network (IPEN) menunjukkan ada bahan kimia berbahaya pada mainan anak. Foto: Luh De Suriyani

Dari sampel 16 negara terkumpul mainan kubus dan enam sampel tambahan (thermo cup, jepit rambut, hand band, skateboard jari, mainan robot dan tongkat hoki). Sebanyak 40 sampel (85%) mengandung OctaBDE pada konsentrasi berkisar 1-108 bagian per juta (ppm), sedangkan 42 sampel (89%) mengandung DecaBDE, bahan kimia beracun yang biasa ditemukan dalam limbah elektronik, antara 1 – 293 ppm.

Bahan Terlarang

Dalam rilis BaliFokus disebutkan OctaBDE sudah dilarang dalam Konvensi Stockholm, konvensi tentang polutan organik yang persisten. Perjanjian kimia internasional ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2009, sementara DecaBDE diharapkan akan dilarang pada pertemuan POPs Review Committee pada September 2016.

Pada tahun 2009, PentaBDE dan OctaBDE telah masuk daftar kimia yang disepakati untuk dihilangkan secara global dalam Konvensi Stockholm. Namun perjanjian masih memungkinkan daur-ulang material yang mengandung bahan kimia beracun tersebut hingga 2030.

“Daur ulang sampah elektronik dapat menghemat sumber daya dan energi, tetapi harus dilakukan dengan cara benar dan baik agar tidak mengembalikan zat kimia berbahaya kembali ke alur perdagangan, yang dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan,” jelas Jitka Strakova, Koordinator survei dari Arnika.

Arnika adalah LSM Republik Ceko yang memiliki misi untuk mempromosikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan lingkungan, mengurangi zat-zat dan limbah, serta melindungi keanekaragaman hayati. Sejumlah dokumen soal produk berbahaya ada di english.arnika.org.

Peraturan keamanan bahan kimia di Indonesia dan beberapa negara berkembang belum memadai, sehingga ada kemungkinan zat-zat beracun didaur-ulang menjadi berbagai produk yang tidak disadari dan tidak diketahui oleh konsumen.

“Selama kita mengizinkan pengecualian bahan yang didaur-ulang, kita tidak akan dapat mengontrol aliran flame retardants yang berbahaya ini,” kata Joe DiGangi, Penasihat Senior IPEN di bidang Sains dan Teknis.

Tiga sampel mainan anak di Jakarta dan Bali yang mengandung kadar OctaBDE/DecaBDE dengan jumlah yang signifikan. Sumber : BaliFokus dan International POPs Elimination Network (IPEN)
Tiga sampel mainan anak di Jakarta dan Bali yang mengandung kadar OctaBDE/DecaBDE dengan jumlah yang signifikan. Sumber : BaliFokus dan International POPs Elimination Network (IPEN)

Badan Standardisasi Nasional (BSN) selaku lembaga pemerintah yang mengkoordinasikan kegiatan di bidang standarisasi secara nasional dalam website-nya menetapkan lima SNI berkenaan dengan keamanan dan keselamatan mainan anak.

Aturan SNI tersebut yaitu : (1) SNI ISO 8124-1:2010, Keamanan Mainan – Bagian 1: Aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis, (2) SNI ISO 8124-2:2010, Keamanan Mainan – Bagian 2: Sifat mudah terbakar, (3) SNI ISO 8124-3:2010, Keamanan Mainan – Bagian 3: Migrasi unsur tertentu, (4) SNI ISO 8124-4:2010, Keamanan Mainan – Bagian 4: Ayunan, seluncuran dan mainan aktivitas sejenis untuk pemakaian di dalam dan di luar lingkungan tempat tinggal, dan (5) SNI IEC 62115:2011, Mainan elektrik – Keamanan.

Ada empat poin penting yang menjadi fokus BSN dalam menyusun SNI tersebut. Poin pertama, mainan harus bebas dari migrasi unsur kimia tertentu. Kedua, dari sisi bentuk yang menyangkut keamanan sudut (kelancipan) mainan. Ketiga, soal sistem kelistrikan terutama mainan yang menggunakan baterai. Keempat, terkait kandungan pewarna zat Azo yang biasanya dipakai pada mainan anak-anak yang berbahan kain.

Dengan penerapan SNI maka mainan akan diuji keamanannya terlebih dahulu untuk memastikan terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan standar. Pengujian tersebut dapat dikelompokkan 3 jenis, yaitu uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia. Jika produk mainan tidak memenuhi standar maka produk tersebut dilarang masuk ke Indonesia apabila impor, atau ditarik dari peredaran jika sudah beredar di pasar.

Latar belakang dari diterbitkannya peraturan tersebut maraknya peredaran mainan anak, terutama mainan impor yang mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan anak. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, setiap tahun Indonesia mengimpor mainan anak dengan nilai mencapai USD75 juta.

***

Lebih lengkap tentang hasil penelitian ini bisa diunduh di beberapa link berikut :

Health and Environmental Hazards of Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs) and other Brominated Flame Retardants (BFRs) 

http://www.ipen.org/documents/health-and-environmental-hazards-pbdes-and-other-bfrs

Toxic Toy or Toxic Waste: Recycling POPs into New Products Summary for Decision-Makers. Brominated flame retardants from electronic waste are present in plastic children’s toys

http://ipen.org/documents/toxic-toy-or-toxic-waste-recycling-pops-new-products

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,