Gubernur Aceh: Moratorium Perizinan Tambang Tetap Dilanjutkan

Sukses menertibkan pertambangan bermasalah di Provinsi Aceh melalui Instruksi Gubernur Nomor 11/INSTR/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara, Pemerintah Aceh memastikan kembali melanjutkan moratorium pertambangan tersebut.

Tercatat, 2007 – 2014, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh mencapai 138 izin. Sejak moratorium dan evaluasi tambang diberlakukan, pada 2016, jumlah IUP tersisa hanya 46 izin. Sebagian besar izin pertambangan dicabut karena berada di hutan lindung, juga di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, memastikan moratorium tambang tahap ke dua akan dilanjutkan, namun berapa lama pemberlakuannya masih dalam kajian. Menurutnya, langkah ini demi  pengelolaan sumber daya alam berbasis lingkungan dan berkeadilan masyarakat. “30 Oktober 2014, moratorium pertama yang berlaku dua tahun itu, berhasil mencabut 92 IUP bermasalah,” jelas Zaini kepada Mongabay Indonesia, Sabtu, (10/09/2016).

Moratorium dan evaluasi izin usaha pertambangan, menurut Zaini, dilakukan selain untuk menertibkan pertambangan bermasalah juga untuk mewarisi lingkungan yang sehat dan alam yang baik untuk generasi mendatang. “Saya lakukan karena saya tidak ingin dikenang sebagai gubernur yang selama masa jabatannya tidak memikirkan lingkungan. Kini, saat diberi kepercayaan untuk mengelola lingkungan Aceh, saya harus sungguh-sungguh melakukannya.”

Zaini mencontohkan negara yang pernah melakukan moratorium tambang, Swedia, selama 150 tahun. Hal pertama yang negara tersebut lakukan adalah menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten. Berikutnya, eksplorasi sumber daya tambang dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan.

Di Aceh, dampak positif yang terasa dengan pemberlakuan moratorium adalah habitat satwa liar tidak terganggu, harmoni ekosistem hutan terjaga, dan konflik antara manusia dengan satwa berkurang. Pemerintah Aceh juga telah menyelamatkan sekitar 266 ribu hektare hutan yang hendak dijadikan lokasi pertambangan mineral dan batubara.

“Hutan sebagai bank air yang terjaga, membuat persediaan air untuk pertanian, perkebunan dan kebutuhan lain akan tercukupi. Selain itu, khusus Leuser, dapat dijadikan laboratorium alam untuk penelitian flora, fauna, dan ilmu pengetahuan.”

Zaini berharap, ke depan tidak akan ada lagi kebijakan IUP yang dikeluarkan serampangan, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. “Pertambangan di Aceh harus di kelola dengan baik dan ramah lingkungan. Semua izin yang ada harus kita evaluasi,” paparnya.

Kayu dari hutan yang ditarik ke luar menggunakan mobil yang dirancang khusus. Selain masalah perizinan tambang yang ada di kawasan hutan lindung, pembalakan liar juga merupakan persoalan yang harus ditangani di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Desakan

Sebelumnya, pada 1 September 2016, sejumlah masyarakat yang menamakan dirinya Koalisi Peduli Tambang Aceh melakukan aksi di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dalam orasinya, meraka meminta Gubernur Aceh melanjutkan instruksi moratorium IUP mineral logam dan batubara.

Koordinator aksi, Aziz Awee mengatakan, dalam intruksi tersebut dijelaskan masa berlaku izin berakhir dua tahun sejak ditandatangani. Artinya, moratorium akan berakhir pada 30 Oktober 2016. “Kami ingin instruksi moratorium tambang dilanjutkan.”

Pemerintah Aceh, melalui Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) belum melakukan proteksi hutan seluas 648.000 hektare yang IUP nya telah dicabut. Salah satu solusi menjaga hutan dan tidak ada IUP yang dikeluarkan adalah dengan melanjutkan moratorium.

“Yang tidak kalah penting, hasil Korsup Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2014-2015, menunjukkan ada tunggakan piutang berbentuk penerimaan negara bukan pajak dari sektor tambang mineral dan batubara di Aceh sebesar Rp24,7 miliar oleh perusahaan yang mengantongi izin IUP,” tambah Azis.

Sejumlah aktivis lingkungan mendesak agar Gubernur Aceh melanjutkan moratorium tambang kembali. Foto: Junaidi Hanafiah
Sejumlah aktivis lingkungan mendesak agar Gubernur Aceh melanjutkan moratorium tambang kembali. Foto: Junaidi Hanafiah

Koordinator Gerakan Anti Koruspsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, sebelum moratorium tambang dilaksanakan pada 2014, terdapat 65 IUP yang berada di kawasan lindung dan empat izin di kawasan konservasi. “Ini merupakan sebuah kejahatan luar biasa dan terencana untuk merusak hutan Aceh.”

Askhalani mengatakan, Pemerintah Aceh harus melanjutkan moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara untuk menyelamatkan hutan dan lahan Aceh dari tangan-tangan jahil. “Pemerintah Pusat diharapkan melihat keberhasilan moratorium tambang di Aceh ini untuk bisa diterapkan di provinsi lain,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,