Komite Warisan Dunia pada 2004 menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) bersama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage). Namun, akibat tingginya ancaman seperti perambahan, pembalakan liar, ekspansi perkebunan monokultur dan pembangunan jalan, World Heritage Committee UNESCO memasukkan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera ini (TNKS, TNBBS dan TNGL) sebagai Situs Warisan Dunia dengan status In Dangered (terancam) pada 22 Juni 2011.
Di balik sejumlah permasalahan yang ada di TNKS tersebut, tersibak kearifan lokal masyarakat dalam menjaga hutan di kawasan taman nasional yang membantang di empat provinsi tersebut. Perluasan pola perkebunan monokultur yang disebutkan sebagai salah satu ancaman kelestarian TNKS, beringsut diubah menjadi skema polikultur yang diterapkan masyarakat Desa Tik Sirong, Kecamatan Topos, Kabupaten Lebong, Bengkulu.
**
Rencana masyarakat ke kebun kopi di tanah marga yang ditetapkan sebagai kawasan TNKS, Jum’at di Pertengahan September itu, terpaksa dibatalkan. Awan gelap yang menutup sinar matahari menjadi penyebabnya. “Bakal hujan deras. Nanti kita kesulitan pulang,” kata Busroni, mantan Kepala Desa Tik Sirong, Kecamatan Topos, Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Menuju kebun kopi sejauh enam kilometer itu butuh waktu 1,5 – 2 jam, berjalan kaki melewati jalan setapak. Di lain sisi, belum semua jalan masuk di Tik Sirong ini memadai. “Kering saja sulit. Apalagi ban sepeda motor yang dikendarai tidak dibekali rantai. Bisa-bisa terpeleset, jatuh ke jurang,” paparnya.
Tik Sirong merupakan desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang didiami Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang sejak 1900-an. Sebelum menjadi desa, daerah tersebut dikenal dengan sebutan Petalangan Tik Sirong. Ditetapkan menjadi Desa Bandar Agung pada 1982, desa ini berubah nama menjadi Tik Sirong di 2008. Dari jalan lintas Muara Aman – Curup, desa ini berjarak sekitar 25 km.
(Baca: TNKS yang Tak Lekang oleh Ancaman Pembelahan Kawasan Bagian 1)
Sebanyak 600-an kepala keluarga (KK) meliputi 357 KK permanen dan sisanya pendatang, merupakan jumlah warga yang mendiami desa di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ketahun ini. Mayoritas, penduduknya berkebun kopi robusta dengan pola tanam monokultur di tanah marga (desa) dan kawasan TNKS. Pengelolaan kebun kopi ini, tidak hanya dilakukan laki-laki selaku kepala keluarga, tetapi juga perempuan (istri).
Namun, pola monokultur itu mulai ditinggalkan warga, beralih ke polikultur. Warga melakukannya untuk memperbaiki ekonomi keluarga, sekaligus memulihkan kondisi hutan dan mengurangi laju perubahan tutupan hutan. “Swadaya masyarakat, bukan program pemerintah,” ujar Busroni yang dibenarkan oleh Pjs. Kepala Desa Tik Sirong, Sahrul Arufi.
Monokultur dinilai menciptakan kerentanan perekonomian. Panen yang hanya setahun sekali (Mei – Agustus), membuat penghasilan tersebut tidak cukup menopang biaya hidup 12 bulan. Saat musim paceklik datang, Desember atau Januari, warga pun menjual barang untuk berhutang. Paling banter, alih profesi menjadi buruh.
Kerentanan lain, mengenai rentang waktu pengelolaan. Dampak dari degradasi lahan, produktivitas kopi menurun drastis setelah usianya tujuh tahun. Cara menyikapinya adalah membuka kebun baru, meninggalkan kebun lama. “Harusnya, kalau di kebun ada tanaman lain yang bisa dipetik, yang memberikan pendapatan lumayan besar, kemungkinan untuk membuka kebun baru akan berkurang,” kata Busroni.
Pola polikultur dipilih karena dapat memulihkan kondisi hutan. Perubahan tutupan hutan di wilayah desa dan TNKS menjadi kebun kopi monokultur ikut memicu kenaikan temperatur lokal. Bukan hanya menurunkan kesuburan tanah, kenaikan suhu juga berdampak pada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan kopi, sehingga produktivitas menurun.
Banjir bandang 1995 yang menewaskan sembilan orang dan menghancurkan puluhan unit rumah warga Tik Sirong dan desa lainnya di sepanjang DAS Ketahun merupakan pertimbangan utama. “Dikhawatirkan, sewaktu-waktu terjadi longsor bahkan banjir lebih hebat,” papar Busroni.
Keberhasilan
Adalah jengkol dan kabau yang dinilai tepat sebagai tanaman campuran untuk tahap awal. Selain mudah dalam pembibitan, perawatan, dan tidak mengganggu pertumbuhan kopi, masa panen jengkol dan kabau pun dilakukan pada Desember – Januari. Ketika paceklik terjadi. Pertimbangan lainnya, tidak mudah busuk dan memiliki pasar dengan harga jual relatif bagus. Bahkan, cukup sering harga jengkol lebih mahal ketimbang daging sapi dan ayam.
Menurut Sahrul, langkah merevitalisasi kebun menjadi polikultur dilakukan perlahan, dengan memberi contoh. Pertimbangannya, masyarakat cenderung menolak bila disuruh, lamban bila diajak, namun akan menyontoh ketika melihat keberhasilan. Kebun pionir pun dibuat, milik Busroni.
Ditanam akhir 2005, pohon jengkol dan kabau itu berbuah di penghujung 2010. Kabar keberhasilan Busroni memanen dan menjual jengkol beserta kabau menyebar. Masyarakat mulai tertarik menanam. Saat ini, tercatat lebih dari 300 KK, menanam 10 – 15 batang jengkol dan kabau di kebun dan sekitar rumah mereka, secara swadaya.
Teknik sambung batang dan payung juga dilakukan sebagai langkah tambahan untuk mengurangi potensi pembukaan lahan baru. Dengan cara tersebut, masalah penurunan produktivitas kopi tua dapat diatasi. Hasilnya, kopi akan berbuah sepanjang tahun. Panen selangnya saja, bisa mencapai 500 kg biji kopi kering per hektare.
Menurut Busroni, langkah revitalisasi saat ini dilanjutkan dengan menanam petai, durian, dan bambu. Bambu dipilih dengan pertimbangan, selain menghindari longsor, bambu dapat digunakan untuk membuat rumah atau pondok, peralatan berkebun, perabotan rumah tangga, hingga dijual.
“Dulu, menanam bambu menjadi keharusan orang Rejang yang berkebun. Selain di sudut kebun, bambu biasanya ditanam di bagian agak curam. Berkebun dilakukan setelah berumah tangga (menikah) untuk kepentingan keluarga,” urai Busroni.
Ragam penyebutan hutan
Laporan Studi Pola Penguasaan Lahan/Pemanfaatan Sumber Daya Alam Masyarakat di Dalam dan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Bengkulu (Hendry, 2015) menyebutkan, hutan bagi masyarakat adat Rejang merupakan ruang kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lingkungan. Begitu eratnya hubungan dengan hutan, mereka memiliki beragam penyebutan terkait hutan. Seperti sakea, jamai, jamai imbo, belukar, imbo bujang dan tebo.
Istilah |
Arti |
Imbo/utan | Hutan |
Sakea | Hutan yang dibuka hingga dengan pembakaran |
Jamai | Ladang yang menghasilkan |
Jamai Imbo | Ladang yang berubah menjadi kebun |
Belukar | Hutan yang sudah pernah dikelola, namun ditinggalkan atau ditelantarkan lebih dari 7 tahun |
Imbo Bujang | Hutan yang sudah pernah dikelola, namun ditinggalkan atau ditelantarkan lebih dari 15 tahun |
Tebo | Hutan dengan kemiringan 40 derajat dan berada di bawah bukit |
Untuk mengelola hutan, calon pengelola mengawali dengan survei. Setelah menemukan hamparan hutan yang belum dikelola, calon pengelola akan menerangi atau menebas semak belukar dengan ukuran 2 – 4 meter persegi di sudut-sudut hamparan lahan yang akan dibuka. Setelah itu, calon pengelola akan memancangkan tiga kayu yang diikat dengan akar dan di tengahnya digantungi kayu atau disebut balai-balai di lahan yang diterangi.
Pemasangan balai-balai dilakukan sekitar tiga bulan. Bila tidak ada warga yang protes, calon pengelola melakukan tabeus untuk menyampaikan permintaan izin kepada leluhur penjaga hutan dengan meninggalkan sesaji dan mengambil secuil tanah untuk dibawa pulang ke rumah dan diletakkan di bawah bantal. Apabila rencana mengelola hutan tidak disetujui, calon pengelola mendapatkan mimpi buruk.
Bila tiga bulan tidak pernah mendapatkan mimpi buruk, calon pengelola meminta izin kepada pesirah melalui tuai kuteui. Bila tidak terdapat pelanggaran hukum adat, permintaan izin dipenuhi. Berbekal izin, pengelola menebas akar pepohonan dan semak belukar, yang dilanjutkan menebang pohon. Biasanya, penebangan dilakukan menjelang akhir kemarau.
Setelah dibiarkan beberapa waktu, kayu-kayu pohon dibakar atau neme’un jelang musim hujan. Sebelum neme’un, pengelola akan menggeges atau membersihkan bagian pinggir lahan agar api tidak menjalar ke luar lahan. Sewaktu neme’un, pengelola mengawasi api. Jika api menjalar keluar lahan dan membakar semak belukar atau pohon di luar lahan, pengelola akan dikenai sanksi. Kayu sisa pembakaran itu dikumpulkan dan dibakar lagi atau ngepoa.
Lahan yang digarap hingga ngepoa disebut sakea yang dibiarkan hingga basah oleh air hujan. Sembari menunggu hujan turun, pengelola membuat pancuran air dan serudung atau tempat beristirahat. Bila sakea telah diguyur hujan, aktivitas selanjutnya adalah beto’o, membuat lobang kecil di tanah menggunakan sebatang kayu runcing, menaburi benih padi ke lobang, dan menutupnya dengan tanah.
Setelah berumur 5 – 6 bulan, ketika padi berbuah, pondik dibuat. Setelah panen, digelar acara syukuran atau meket poi. Ladang yang telah menghasilkan ini disebut jamai. Ladang yang ditanami padi tersebut, perlahan ditanami tanaman semusim dan tahunan juga, sehingga berubah menjadi kebun campur.
Sesuai sains
Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Yansen, mengapresiasi langkah warga Desa Tik Sirong merevitalisasi kearifan lokal terkait pengelolaan kebun berpola polikultur. “Aslinya, pola kebun orang Rejang memang polikultur. Artinya, apa yang mereka lakukan itu pantas diapresiasi, berupaya melestarikan kearifan lokal.”
Dalam kajian ekologi, polikultur selaras dengan upaya konservasi atau upaya melindungi kestabilan ekologi. Berpola polikultur berarti berupaya menjaga kestabilan iklim mikro, memperkuat struktur tanah, menjaga kesuburan tanah, mengurangi laju limpasan air sehingga mengurangi potensi pengikisan tanah permukaan. Pastinya, membantu pengaturan air tanah dan menjaga keanekaragaman hayati. “Sesuai dengan sains. Polikultur berarti membangun hutan kembali.”
Yansen menilai, kebun kopi polikultur adalah langkah tepat. Sebab, kopi bukanlah tanaman monokultur. Kopi membutuhkan tanaman lain sebagai pelindung agar pertumbuhan dan produktivitasnya maksimal. Jengkol, kabau, petai, durian, lamtoro, dadap, dan tumbuhan lainnya bisa menjadi pelindung, atau bahkan perpaduan sejumlah tumbuhan. “Scientific, kopi butuh naungan. Kalau dulu, di kebun kopi orang Rejang biasanya ada pohon jengkol, petai, dan durian.”
Pilihan masyarakat pada tanaman jengkol, kabau, atau petai di kebun kopi juga tepat dari kajian ilmiah. Sebab, ketiga tumbuhan tersebut termasuk Leguminosae yang memiliki kemampuan menangkap nitrogen di udara dan mendistribusikan ke tanah melalui akar. Sehingga, bisa menyuburkan tanah. “Semua tumbuhan butuh nitrogen, namun tidak semua mampu menyerap. Jengkol, kabau, dan petai bisa melakukannya.”
Dari aspek ekonomi, polikultur mengurangi risiko kegagalan total dari usaha yang dilakukan. Secara akumulatif, pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan monokultur. “Artinya, langkah yang dilakukan masyarakat (Desa Tik Sirong) benar dan maju. Pantas diikuti,” ujar Yansen.
Resolusi konflik
Direktur Yayasan Akar Erwin S Basrin mengatakan, banyak faktor yang mengakibatkan mengapa terjadi pergeseran pola kebun campur yang dulunya telah dilakukan masyarakat menjadi monokultur. Selain moderenisasi dan pasar, faktor lainnya adalah konflik kehutanan. “Penetapan dan pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang tidak mengakui hak masyarakat hukum adat ikut menggerus kearifan MHA Rejang dalam mengelola hutan atau kebun.”
Penetapan kawasan TNKS, pelarangan bahkan tindakan refresif terhadap masyarakat yang mengelola kebun di wilayah marga, yang masuk kawasan TNKS, telah merusak hubungan kehidupan MHA Rejang dengan hutan dan menghilangkan rasa memilikinya. “Sebutan perambah atau ilegal yang diberikan, telah mengubah pandangan dan orientasi MHA Rejang dalam mengelola hutan atau kebun.”
Menurut Erwin, resolusi konflik kehutanan penting dilakukan untuk mengembalikan hak dan merevitalisasi kearifan MHA Rejang berkelanjutan. Ada dua skema resolusi yang dilakukan Yayasan Akar. Pertama, pengakuan wilayah/hutan adat yang masuk kawasan TNKS berubah status menjadi hutan hak MHA Rejang. Kedua, pengelolaan wilayah/hutan adat yang masuk TNKS dilakukan kolaboratif antara MHA Rejang dan TNKS.
Setidaknya, ada 47 desa di Kabupaten Lebong dan 18 desa di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, yang didiami MHA Rejang, tumpang tindih dengan kawasan TNKS. Untuk wilayah Lebong, MHA Rejang di 9 desa telah memiliki peta wilayah adat yang dibuat partisipatif. Draf Raperda Pengakuan dan Perlindungan MHA Rejang tersebut telah diajukan ke DPRD Lebong.
“Draf raperda telah ditindaklanjuti menjadi raperda inisiatif DPRD Lebong. Mudah-mudahan akan disahkan menjadi perda tahun ini. Untuk wilayah Rejang Lebong, MHA Rejang di 4 desa dalam proses negosiasi dengan pihak TNKS. Tujuannya, pengelolaan kolaboratif menggunakan mekanisme Whakatane yang dikembangkan IUCN (International Union for Conservation of Nature),” terang Erwin.