Cuaca tak menentu yang terjadi belakangan ini membuat nelayan di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Surabaya, Jawa Timur resah. Mereka tidak bisa menangkap ikan di laut untuk dijual, sementara beban ekonomi tidak bisa diajak kompromi.
Sarmuin, nelayan Bulak mengatakan, cuaca dan kondisi laut yang tidak menentu menyebabkan tangkapan ikannya menurun. Pastinya, berpengaruh pada pendapatan kesehariannya.
Bila cuaca bersahabat, Sarmuin mampu membawa pulang uang antara Rp100 hingga Rp200 ribu. Saat musim panen tiba, penghasilannya meningkat hingga Rp300 ribu. Namun, saat cuaca buruk seperti sekarang, seharinya dia hanya bisa memberikan uang Rp50 ribu untuk istrinya.
“Ukuran perahu nelayan di sini agak kecil, saat cuaca buruk ya tidak berani melaut. Hasil tangkapan nelayan juga tidak sama, ada yang mencari ikan bulu ayam yang kecil-kecil itu, ada juga udang, atau kerang.”
Menurut Sarmuin, panas mentari juga mempengaruhi kualitas penjemuran. Ikan kecil-kecil tidak laku dijual. “Kalau musim kemarau, ikan kecil-kecil dalam kondisi basah dijual Rp10 ribu per kilogram, bila kering mencapai Rp30 ribu,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Wasiatun, nelayan perempuan di Kelurahan Kedung Cowek. Sambil menjemur udang rebon hasil tangkapannya, Wasiatun menuturkan sulitnya mencari ikan dan udang saat cuaca tidak menentu. Bahkan, perahunya rusak akibat gelombang tinggi dan angin kecang beberapa waktu lalu.
“Udang rebon dijual ke pengepul Rp15 ribu per kilogram, kalau dijual sendiri harganya mencapai Rp25 ribu, kondisi kering. Kalau kemarau menjemurnya cukup sehari, di penghujan begini butuh dua hari lebih,” ujarnya dengan logat Surabaya campur Madura.
Udang rebon tangkapan Wasiatun bila cuaca cerah bisa mencapai 10 kilogram. Namun kini, hanya dua kilogram sehari. Harga jualnya juga turun dalam kondisi basah. “Kalau basah Rp10 ribu, bahkan pernah Rp5 ribu saat pasokan banyak tapi tidak kering,” imbuhnya.
Ketangguhan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menggandeng Kedutaan Besar Kanada, coba memfasilitasi penguatan ketangguhan masyarakat nelayan untuk menghadapi cuaca tak menentu di wilayah pesisir ini.
Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Bambang Catur Nusantara mengatakan, program penguatan kapasitas nelayan khususnya perempuan merupakan alternatif ekonomi saat kondisi laut tidak memungkinkan untuk menangkap ikan.
“Bisa pelatihan menjahit, perias tradisional, juga pengolahan produk hasil olahan ikan. Dengan demikian mereka tidak perlu ke pegadaian, berhutang atau menjual barang-barang untuk mencukupi kebutuhan,” tuturnya akhir pekan lalu.
Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Peter MacArthur mengatakan, pihaknya memfasilitasi kebutuhan masyarakat nelayan saat menghadapi situasi sebagai dampak perubahan iklim ini. “Pemerintah Kanda bersama partner di Indonesia, yang fokus terhadap pengelolaan risiko dampak perubahan iklim serta situasi yang dihadapi oleh nelayan saat ini, akan coba mencarikan solusi permasalahan ini.”
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf menjelaskan, antisipasi ekonomi menghadapi dampak perubahan iklim dapat dilakukan dengan mensiasati penjualan ikan hasil tangkapan. Nelayan diminta untuk tidak menjual seluruh hasil tangkapan, menyisihkannya untuk dijadikan produk hasil olahan ikan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. “Misalnya ikan kalengan, olahan ikan siap makan seperti krupuk, abon, nugget, dan bakso.”
Saifullah juga mempertimbangkan membangun cold storage untuk penyimpanan ikan, sebagai antisipasi cuaca yang tidak menentu. “Penyimpanan ikan beku akan dapat memperpanjang nafas nelayan,” tuturnya.
Bantuan untuk nelayan kami berikan berupa alat tangkap ramah lingkungan, mesin tempel untuk melaut, juga GPS untuk melihat keberadaan ikan. “Termasuk, mesin pengolahan ikan,” pungkas Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Heru Tjahjono.