Merawat Budaya Adat dengan Tenun Kain Alami

 

 

Salah satu ruangan di rumah panjang Dusun Kelayam, terlihat ramai. Inai-inai, sebutan nenek dalam bahasa Dayak Iban, bercengkrama. Ibu-ibu muda lainnya duduk mengitari berbagai bungkusan plastik yang berisi ayam, beras ketan, sebilah pisau, juga tempayan. “Ada yang mau pakai model tenun saya. Jadi, harus pakai syarat untuk pinjam model tenun,” tutur Yuliana Hermina, pengrajin tenun di rumah panjang Dusun Kelayam, Desa Manua Sadap, Kecamatan Embaluh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Model tenun yang dimaksud Yuliana tak lain adalah motif dan mereka baru selesai melakukan ritual tranformasi itu. Di Suku Dayak Iban, setiap keluarga mempunyai motif tersendiri. Tidak sembarang orang bisa mereplika, harus mengikuti syarat dan ketentuan adat setempat. “Kalau tidak dipenuhi, bisa kena musibah atau sakit,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Ritual dalam mereplika motif menunjukkan tenun mempunyai posisi khusus dalam budaya Suku Dayak. Kain tersebut biasanya dipakai dalam upacara-upacara adat yang sangat banyak motifnya terinspirasi dari alam. Pucuk rebung dan pakis adalah inspirasi alam yang diaplikasikan dalam tenun.

Yuliana mengisahkan, arti dari motif iti adalah semangat hidup, tetap rendah hati dan menghormati leluhur. Motif yang biasa digunakan selain tumbuhan, adalah hewan. Proses pembuatannya cukup rumit, mengandung nilai adat, budaya, dan filosofi kehidupan.

 

Pewarna alami digunakan masyarakat penenun di Dusun Kelayam, Desa Manua Sadap, Kecamatan Embaluh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, untuk kain tenun mereka. Foto: Putri Hadrian

 

Proses panjang

“Untuk mendalami tenun Dayak, kita harus mengumpulkan referensi tradisi lisan,” kata Darmanto, dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Asppuk). Tradisi ini diteruskan  turun temurun dari mulut ke mulut, dari ibu ke anak. Penenunan memang dilakukan wanita Dayak, sebagai kegiatan sampingan setelah berladang.

Darmanto mengatakan, tradisi yang diturunkan lisan ini mencakup berbagai pengetahuan dan mempertahankan nilai adat. Misal, proses menggulung benang yang dikerjakan malam hari ketika para wanita berkumpul di kediaman tuai rumah atau kepala rumah panjang.

Benang yang sudah digulung, dibagi sama rata kepada anggota penenun. Asas kebersamaan dan adil merata dilakukan. Setelah itu dilakukan tradisi tangga ubung yaitu penyusunan benang ke alat tenun. “Pakai pedarak (sesaji) yang diletakkan di piring di bawah gedongan, agar mendapat restu nenek moyang,” kata Yuliana lagi.

Selain waktu, membuat kain tenun memerlukan keahlian, ketelitian, dan tenaga. Terutama dalam proses pencelupan warna. “Untuk warna yang pekat, harus beberapa kali pencelupan. Beberapa diantara kami tidak berladang kalau mau mencelup, tidak bisa ditinggal,” tutur Lani, anggota penenun.

Untuk warna merah mencolok, mereka mencelup benang sepuluh kali. Setelah dicelup, benang dijemur, kemudian dicelup lagi hingga mendapat warna yang diinginkan. Lalu warna ‘dikunci’ agar tidak luntur dengan menggunakan air kapur atau tawas, dan kemudian dijemur.

Setelah benang siap dipakai, dilanjutkan pemintalan. Proses ini juga cukup sulit, karena dilakukan lebih dari seorang. Saat ini, Kelompok Tenun Kelayam Nguji berjumlah 16 orang. Tantangan lainnya, jumlah penenun bisa saja berkurang, jika ada yang pindah rumah atau merantau.

Karena masih menggunakan peralatan tradisional, jumlah yang dihasilkan terbatas. Namun, produksi tenun yang banyak bukan target mereka, budaya yang lestari yang utama. Hal yang tidak bisa diukur dengan uang.

 

Sejumlah hasil pengrajin tenun ikat di pamerkan di Rumah Betang Kobus, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, saat Festival dan Lomba Tenun Ikat, 18 November 2014. Foto: Yusrizal

 

Pewarna alami

Proses pewarnaan alami baru digiatkan kembali dua tahun belakangan di Dusun Kelayam. Kelompok Tenun Kelayam Nguji ini berkomitmen menghasilkan kain tenun ramah lingkungan. Warga juga dikenalkan dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, agar tidak menjadikan kayu sebagai komoditi instan.

Belakangan, memang terjadi pergeseran ketika warga lebih menyukai benang buatan pabrik. Sehingga, mereka meninggalkan pewarna alami. Dengan benang pabrik, memang memangkas proses penenunan dan kain yang dihasilkan mempunyai warna lebih tajam. Kain tenun tampak lebih meriah. “Kami tetap berupaya agar warga kembali menggunakan pewarna alami. Pendekatannya, melestarikan budaya setempat dan nilai jual yang lebih tinggi. Selain itu, transformasi ilmu tanaman-tanaman sebagai sumber pewarna alami terancam punah bila hal ini terjadi,” kata Darmanto.

Darmanto pun membantu menyusun data dasar atau katalog bahan-bahan pewarna alami seperti engkerebai, rengat, jangau, beting, mengkudu, kemunting, dan empait. Masing-masing tanaman diekstrak dari bagian batang, akar atau daun yang pastinya menghasilkan warna berbeda. Misalnya, warna merah dari daun engkerebai, atau kulit kayu beting. Warna hitam kebiruan dari daun kemunting dan daun rengat. Sedangkan warna kuning dari akar mengkudu. “Beberapa tanaman yang sudah tidak ada di sini, kami cari di daerah lain di Kalimantan.”

Warga kini membudidayakan tanaman-tanaman tersebut di wilayah kelola adat, daerah yang dijadikan kebun berada di dekat Bukit Lanjak. Lebih dari seribu tanaman berbagai jenis dibudidayakan. Asppuk memberikan dampingan untuk pemasaran kerajinan. “Dari sini, warga mendapatkan manfaat lebih dan menjadikan tenun sebagai penyokong ekonomi. Tenun alami yang bernilai tinggi di pasar,” ujar Darmanto.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,