Tolak Perkebunan Sawit, Masyarakat Adat Moi Palang Jalan

Pagi itu, langit cerah, panas matahari terik membakar kulit. Ratusan warga dari komunitas adat Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat berdatangan ke perempatan jalan masuk ke ibukota Distrik Klaso, menutup jalan sambil membentangkan spanduk, menolak rencana ekspansi perkebunan sawit di wilayah adat mereka.

Aksi pemalangan jalan pada Rabu pagi (22/03/2017) ini dilakukan oleh masyarakat Moi dari tiga Distrik di Kabupaten Sorong, yaitu Distrik Klaso, Saengkeduk dan Distrik Persiapan Selekobo. Bertepatan dengan adanya pertemuan antara pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong dan operator perusahaan sawit PT. Mega Mustika Plantation dengan warga setempat, tepatnya di ibukota Distrik Klaso.

PT. Mega Mustika Plantation sendiri adalah satu dari sejumlah perusahaan perkebunan sawit yang telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat, melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor: 66.1/127/Tahun 2014 tentang Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit di lahan seluas 9.835 ha, berdasarkan izin lokasi Nomor 221/2011 yang terbit pada 23 Desember 2011.

Menurut Agus Kalalu, salah seorang warga Moi, aksi penutupan jalan tersebut adalah wujud rasa frustasi warga, karena sejumlah aksi yang telah dilakukan sebelumnya tidak juga mendapat respons yang baik dari pemerintah dan perusahaan.

“Ini adalah aksi yang kelima kalinya dilakukan oleh warga dari tiga distrik tersebut,” ujar Agus.

 

 

Aksi pertama sendiri dimulai di kampung Saengkeduk, yang dilanjutkan aksi kedua di Kampung Klaben di tahun 2012. Aksi ketiga di depan halaman gedung DPRD Kabupaten Sorong pada 2016 dan pada pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong pada 2016.

David Ulimpa, salah seorang tokoh masyarakat adat Moi yang sekaligus pemilik hak adat atas tanah di Distrik Klaso dalam orasinya menyatakan alasan penolakan atas perkebunan sawit tersebut karena dianggap tidak akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Justru sebaliknya akan membawa kesengsaraan.

Tidak hanya kehilangan wilayah adat, mereka juga menjadi buruh di tanah adat sendiri. Ia mencontohkan pada sebuah kasus yang terjadi di Distrik Klamono, dimana PT. Henrison Inti Persada yang beroperasi di daerah tersebut justru memecat karyawan, yang merupakan warga setempat, hanya karena menuntut hak.

“Di Kampung Malalilis, Distrik Klayili, pada 2016 lalu, ada warga yang dulunya bekerja di perkebunan tersebut dipecat oleh pihak PT. Henrison Inti Persada hanya karena mereka menuntut hak. Mereka di PHK perusahaan padahal tanah yang mereka kelola itu adalah tanah adat mereka sendiri,” ungkap David.

 

Aksi yang dilakukan dengan cara memasang bambu dan spanduk ini adalah kali kelima dilakukan dalam 5 tahun terakhir, sejak terbitnya izin lokasi yang terbit pada 23 Desember 2011 silam. Foto: Agus Kalalu

 

Tidak hanya itu, juga tahun 2016 lalu, kedua anak dari warga yang dipecat tersebut ditahan oleh Polres Kabupaten Sorong hanya karena menuntut hak orang tua mereka kepada perusahaan.

Alasan lain, menurut David, karena tanah dan hutan dari marga-marga yang ada di komunitas adat Moi tidak terlalu luas, sehingga ketika perusahaan sawit mulai masuk menguasai lahan-lahan yang ada, maka akan berdampak pada sumber mata pencaharian mereka.

“Kami ini nantinya akan mencari makan dimana? Selama ini kehidupan kami sangat tergantung pada alam. Untuk itu, saya berdiri di atas tanah Kalaso ini mewakili seluruh marga-marga yang ada, bersumpah dengan nama Tuhan, leluhur tanah Malamoi, tidak menerima kehadiran perusahaan kelapa sawit di daerah kami,” tegas David.

Mialim, tokoh masyarakat dari Distrik Saengkeduk, meminta Lazarus Malagam, Asisten III Setda Pemerintah Kabupaten Sorong, yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk segera menunjukan marga-marga yang sudah menandatangani kesepakatan dengan pihak PT. Mega Mustika Plantatiaon.

“Kami sudah melakukan penolakan beberapa kali dan saya minta kepada Asisten III Setda Pemkab Sorong, Lazarus Malagam bahwa ini yang terakhir kali. Kami dari dari Distrik Saengkeduk seratus persen menolak keberadaan PT. Mega Mustika Plantation ini,” tambahnya.

 

Menurut David Ulimpa, tanah dan hutan dari marga-marga yang ada di komunitas adat Moi tidak terlalu luas, sehingga ketika perusahaan sawit mulai masuk menguasai lahan-lahan yang ada, maka akan berdampak pada sumber mata pencaharian mereka. Foto: Agus Kalalu

 

Sebagai tindak lanjut dari aksi tersebut mereka juga melakukan sumpah adat dengan cara menanam Bambu Tui dan berdoa bahwa masyarakat tidak lagi menerima kehadiran perkebunan sawit di wilayah Distrik Saengkeduk.

Sayangnya, pihak perusahaan segera meninggalkan pertemuan tersebut dan tidak memberi tanggapan atas protes dari warga.

“Kami kesal kenapa pihak perusahaan pulang, seharusnya mereka harus mendengar aspirasi kami sekaligus menyaksikan pemotongan Bambu Tui untuk tidak menerima mereka,” ujar Mialim.

Menanggapi tuntutan dari warga, Lazarus Malagam, Asisten III Setda Pemkab Sorong, menyatakan akan mendukung keinginan warga selama itu dilakukan secara bersama dan konsisten dari semua marga yang ada.

“Jangan sampai hari ini sama-sama menolak namun tahun depan ternyata ada marga yang tiba-tiba berbalik menerima. Ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial, karena pasti akan muncul anggapan bahwa kalau pihak yang satu bisa kenapa yang lainnya tidak. Jadi kalau kita mau menolak, mari kita sama-sama menolak. Kalau hari ini sudah menolak maka jangan lagi ada kelapa sawit yang masuk di wilayah ini nantinya.”

Di akhir aksi, perwakilan masyarakat adat dari di Distrik Klaso, Distrik Saengkeduk dan Distrik Persiapan Selekobo menyerahkan berita acara penolakan kepada pihak Pemda Sorong, yang diwakili oleh Lazarus Malagam.

“Saya akan menginformasikan kepada kepala Distrik Klaso dan Kepala Distrik Saengkeduk dalam waktu yang tidak terlalu lama tentang hasil pertemuan dan keputusan terkait hal ini,” janji Lazarus.

 

Wilayah adat Moi di Papua Barat seluas kurang lebih 400 ribu hektar. Suku Moi sendiri menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua Barat. Selain sawit ancaman lain berupa tambang dan pengeboran minyak. Foto: Wahyu Chandra

 

Sebaran Warga Moi di Papua Barat

Menurut Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Yusak Konstantinus Magablo, secara keseluruhan wilayah adat Moi sendiri  mencakup 400 ribu hektar dan baru sebagian kecil yang sudah dipetakan melalui pemetaan partisipatif. “Moi memiliki 10 sub suku dengan batasan masing-masing. Sub suku ini terbagi menjadi 100-an marga besar dan marga kecil disebut gelet,” jelas Yusak.

Di antara sub suku Moi ini antara lain, Moi Kalasa, Moi Kalagedi, Moi Malamsimsa, Moi Amber, Moi Malayik, Moi Seget, Moi Kelim, Moi Walala, Moi Abun, Moi Malaibin. Hanya beberapa sub Suku Moi dikenal luas, khusus di Kabupaten Sorong.

Suku Moi menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua. Di Raja Ampat, Moi Mayya—dulu sub Moi kini menjadi suku tersendiri, dengan banyak sub suku dan gelet yang menjadi bagian.

Suku Moi, sebagaimana suku di Papua lain, memiliki keunikan tersendiri dalam pembentukan gelet. Sebuah gelet bisa saja hilang karena berpindah ke suku lain. Sebaliknya, suku lain terbuka menjadi bagian Moi.

Penyebabnya, antara lain karena ‘diusir alam’, berupa bencana atau tanda-tanda lain yang ditunjukkan alam. Moi juga memiliki struktur sosial tersendiri. Di tingkat teratas terdapat tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para nedla, neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya) dan nefoos (orang suci).

Terdapat juga pejabat-pejabat adat seperti usmas, tukang, finise atau pimpinan pelaksana rumah adat, tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan kmaben.

Di tingkat bawah terdapat wiliwi, yaitu anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina menjadi pemimpin seperti kelompok pertama dimana mereka diajarkan filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat Moi dengan menyeluruh.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,