Konflik agraria dan ekologi yang terjadi di Jawa Timur, tak jarang membenturkan masyarakat dengan korporasi, aparatur pemerintah, dan aparat militer. Kondisi ini merupakan pemandangan nyata yang ada di depan mata.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menunjukkan, ada 127 kasus agraria dan lingkungan, yang mengakibatkan penyerobotan tanah rakyat dan kerusakan lingkungan.
“Tiap tahun, jumlah konflik tidak turun. Mungkin ada kesalahan dalam hal pengelolaan alam dan regulasinya,” terang Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.
Rere menyebut, migas dan tambang mineral merupakan ancaman serius bagi kelestarian lingkungan, karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan aturan yang tidak berpihak pada lingkungan maupun masyarakat kecil. “Dorongan investasi di sektor ekstraktif, seperti pertambangan migas maupun mineral, menjadikan masyarakat harus berhadapan dengan kekuasaan.”
Di sektor migas, di Jawa Timur ada 63 Wilayah Kerja Pertambangan. Pembagiannya, 31 Wilayah Kerja Pertambangan dengan status eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan yang sedang dalam status eksplorasi.
Sementara di sektor pertambangan mineral dan batubara, data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan, per 29 Agustus 2016, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa Timur mengalami penurunan. Bila dibanding data Kementerian ESDM, dari 378 IUP di 2012, menjadi 347 IUP pada 2016.
Namun, luasan lahan pertambangan di Jawa Timur justru mengalami peningkatan signifikan. Bila di 2012 seluas 86.904 hektare, meningkat menjadi 551.649 hektare di 2016. Kenaikan hingga 535 persen ini hanya dalam kurun waktu 4 tahun.
Menurut Rere, bencana yang terjadi akhir-akhir ini, salah satunya akibat kegagalan mengelola sumber daya alam, serta wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi daerah resapan diubah peruntukannya. “Wilayah hutan penyangga dibabat habis. Ini yang mendorong munculnya bencana-bencana ekologis.”
Komitmen
Walhi Jawa Timur, secara umum juga, mempertanyakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang reforma agraria, yang merupakan bagian dari Nawacita. Pemerintah harus segera melakukan perubahan, melalui pemberian kepastian hukum terhadap petani dan rakyat kecil, serta penyelesaian konflik. Sebagaimana yang dialami petani di Wongsorejo, Banyuwangi, Sengon, dan Blitar.
“Dampaknya tentu saja pada kehidupan masyarakat, kedaulatan pangan, krisis ekologi, dan penghancuran sosial budaya,” kata Rere, awal pekan ini.
Dion Mulder dari Serikat Mahasiswa Indonesia, yang tergabung dalam Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria (Jelaga) mengatakan, masyarakat sering menjadi pihak yang dikalahkan ketika konflik berlangsung. “Persoalan Lumajang adalah contoh nyata,” ujarnya.
Selain kasus tambang pasir besi di Lumajang, Dion juga menyoroti kasus agraria dan lingkungan lainnya yang terjadi di Jawa Timur. Sebut saja tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi, Jember, dan beberapa daerah di pesisir selatan Jawa Timur. “Penyelesaian kasus-kasus tersebut harus mengedepankan dialog, dengan memprioritaskan lingkungan hidup ketimbang investasi semata,” paparnya.