Program Bonn Challenge di Sumatera Selatan Harus Lakukan Pengamanan Sosial, Seperti Apa?

 

 

Penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi negara-negara Asia Pasifik Bonn Challenge di Palembang, Sumatera Selatan, berjalan sukses. Namun, sorotan tajam datang dari sejumlah lembaga peduli lingkungan hidup di Palembang, terkait terlibatnya perusahaan di pertemuan itu, sebagai green washing. Juga, menuntut pelaksanaan program Bonn Challenge di Sumatera Selatan nantinya menjamin pelaksanaan pengamanan sosial.

“Kami mengajak pemerintah, swasta dan komunitas international untuk mendukung dipraktikannya pengamanan sosial dalam pelaksanaan restorasi hutan dan mempraktikan restorasi berbasis masyarakat,” kata Aidil Fitri, Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI), di sela pertemuan Bonn Challenge di Griya Agung, Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, Rabu (10/05/2017).

Kehadiran Aidil yang mengaku mewakili sejumlah lembaga peduli lingkungan hidup di Palembang, juga mensyaratkan perusahaan yang melaksanakan restorasi harus menyelesaikan konflik dengan masyarakat maupun pemerintah.

 

Baca: Bonn Challenge Asia Pasifik, Tantangan Tidak Sebatas Restorasi Lahan

 

Dijelaskan Aidil, selama ini ribuan hektare tanah di Indonesia digunakan untuk kepentingan perusahaan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) guna memenuhi kebutuhan pasar internasional. Namun, kegiatan tersebut dilaksanakan tanpa mendapatkan persetujuan maupun pengetahuan masyarakat.

“Manfaat bagi masyarakat sedikit, justru menyebabkan hilangnya sumber-sumber kehidupan, nilai budaya masyarakat, dan terjadinya perubahan iklim. “Kami sepakat dan mendukung upaya yang dilakukan Bonn Challenge, tapi mari kita belajar dari pengalaman masa lalu agar tidak mengulangi hal yang sama,” katanya.

Terhadap kritik ini, Najib Asmani selaku Advisor Gubernur Sumatera Selatan, menjelaskan justru pendekatan lansekap yang dibahas dalam pertemuan tersebut pelaksanaannya mengutamakan praktik pengamanan sosial dan restorasi berbasis masyarakat. “Kita belajar dari masa lalu, dan melihat ke depan yang lebih baik. Restorasi membuat semua pihak makmur, dan lingkungan lestari,” ujarnya.

Dijelaskan Najib, kegiatan Bonn Challenge di Palembang, sangat menguntungkan Sumatera Selatan. Negara-negara yang berkomitmen mendukung penuh upaya yang dilakukan Pemerintah Sumatera Selatan dalam merestorasi gambut dan lahan mineral yang rusak, sekitar 736 ribu hektare. “Sumatera Selatan memberi sumbangan pengalaman dalam mengelola lingkungan yang baik, selain untuk Indonesia juga dunia.”

Perlu usaha dua tahun agar Sumatera Selatan dipercaya menjadi tuan rumah. “Tidak mungkin kita menyiakan begitu saja, khususnya kepentingan masyarakat terkait lingkungan hidup,” ujarnya.

 

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera beberapa tahun lalu, tampak dari udara. Foto: Rhett A. Butler

 

Keadilan ekonomi

Sebelumnya, di hadapan Presiden IUCN, Zhang Xinsheng, dan pejabat IUCN lainnya, serta perwakilan Mongolia, Bangladesh, Thailand, Bhutan, Kamboja, Vietnam, China, India, Myanmar, Pakistan, Sri Lanka, serta pejabat dari Jerman, Belanda, Norwegia, dan berbagai organisasi internasional, Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan, Indonesia berkeinginan berkolaborasi dengan Bonn Challenge.

“Program yang dijalankan Bonn Challenge sejalan dengan program Pemerintah Indonesia dalam kegiatan konservasi, rehabilitasi, dan ekosistem di hutan atau lahan gambut terdegradasi.”

Dikatakannya, konservasi ekosistem sangat penting bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang sangat menekankan pentingnya keadilan ekonomi. Tentunya dengan kebijakan pilar kepemilikan lahan, pengembangan usaha sosial, dan pengembangan sumber daya manusia.

Sebagai informasi, pertemuan negara-negara Asia Pasifik Bonn Challenge di Palembang berlangsung pada 9-10 Mei 2017. Selain melakukan pertemuan, dilakukan juga aksi penanaman pohon di lokasi restorasi gambut di Sepucuk, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, Selasa (09/05/2017) pagi.

Para peserta melakukan penanaman pohon ramin (Gonystylus bancanus), yang merupakan tanaman khas lahan gambut. Di Indonesia, tanaman yang tingginya mencapai 45 meter ini didapatkan di Kalimantan dan Sumatera. Ramin merupakan pohon yang masuk daftar merah IUCN atau tanaman dalam kategori berisiko punah karena maraknya pembalakan dan penebangan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,