Bongkahan es raksasa seluas 6.000 kilometer persegi atau setara luasnya Pulau Bali, runtuh, terlepas dari daratan utama Antartika (Kutub Selatan). Ini merupakan iceberg paling besar yang tercatat dalam sejarah, beratnya diperkirakan lebih dari 1 triliun ton, dan menjadi ancaman kapal-kapal yang berlayar di sekitar kawasan tersebut.
Para ilmuwan dari Project MIDAS telah memonitor retakan di lapisan es Larsen C, terbesar ke-4 di Kutub Selatan, menyusul runtuhnya lapisan es Larsen A pada 1995. Sejak 12 bulan terakhir, lapisan itu memang telah diamati dan diyakini akan runtuh dan terlepas. Hal tersebut terjadi, antara 10 Juli dan 12 Juli, seperti dilaporkan CNN, mengutip keterangan para ilmuwan dari University of Swansea dan The British Antarctic Survey.
Awal 2017, Mongabay Indonesia juga pernah menulis bahwa retakan ini semakin melebar, diambang pecah.
Baca: Salah Satu Gunung Es Terbesar di Dunia Ini Diambang Pecah
Meskipun semenanjung, tempat kejadian ini berlangsung berada di luar rute perdagangan utama pelayaran, namun jalur ini tujuan utama dan terpopuler bagi kapal-kapal pesiar yang mengunjungi Amerika Selatan bagian selatan.
Di tahun 2009, lebih dari 150 penumpang dan kru dievakuasi dari kapal MTV Explorer yang tenggelam, setelah menabrak bongkahan es di kawasan tersebut.
Lapisan es Larsen A dan B, yang terletak di bagian utara Semenanjung Antartika, runtuh dan terlepas pada 1995 dan 2002. “Kejadian ini mengakibatkan percepatan dramatis gletser di belakang mereka, dengan volume es yang lebih besar masuk ke laut dan berkontribusi pada kenaikan permukaan air laut,” kata David Vaughan, glaciologist dan Direktur Sains British Antarctic Survey.
“Dan Larsen C yang runtuh inipun akan berkontribusi pada kenaikan air laut” tambahnya.
Bongkahan es yang runtuh di Kutub Selatan ini terjadi secara alami, dan beberapa ilmuwan tidak menghubungkannya dengan perubahan iklim akibat ulah manusia. Meski begitu, kawasan di sekitar semenanjung Antartika telah menghangat selama beberapa dekade terakhir.
Meski begitu, tidak semua ilmuwan setuju dengan pendapat tersebut, terutama dalam konteks perubahan iklim. “Jelas bahwa pemanasan global, yang disebabkan terutama oleh penggunakan bahan bakar fosil dan praktik-praktik agrikultur, berkontribusi pada destabilisasi Kutub Selatan secara lebih luas,” ujar Eric Rignot, profesor dari Univesity of California, Irvine, dan periset senior di NASA.
Menurut Rignot, runtuh dan lepasnya kawasan yang luas ini karena lapisan esnya sudah begitu tipis. “Makin menipis karena iklim bertambah hangat, dan dalam beberapa dekade, pasti akan runtuh. Dan terjadi. Ini benar-benar terkait perubahan iklim. Iklim di Kutub Selatan makin menghangat, dan ini peringatan bagi umat manusia terkait dengan naiknya permukaan laut,” pungkasnya. (Berbagai sumber)