Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) membuat aturan yang memudahkan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik mandiri pada ribuan desa yang belum mendapat akses listrik.
Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, mengatakan, dengan aturan ini akan membolehkan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik kurang dari lima megawatt. Tujuannya, penyediaan listrik dan pengembangan program elektrifikasi desa, kawasan perdesaan, daerah tertinggal dan transmigrasi.
“Salah satu yang menyambut ini adalah GE (PT.General Electric Operations Indonesia). Ini karena potensi sangat besar. Tahun ini ada tiga model percontohan, masing-masing di (kabupaten) Dompu, Sumba Timur dan Lampung,” katanya setelah menandatangani nota kesepahaman bersama Kemendes PDTT dengan GE di Jakarta, minggu lalu.
Dalam kerjasama ini, katanya, GE akan mendukung penyediaan portofolio teknologi pembangkit listrik, termasuk solusi hibrida, perpaduan bahan bakar gas atau solar dengan tenaga surya (photovoltaic), pembangkit listrik energi terbarukan, dan solusi kelistrikan digital atau microgrid.
Data kementerian, dari total 82.190 desa masuk kategori elektrifikasi, 69.531 desa sudah teraliri listrik.
Dengan sistem ini, diharapkan dapat menjawab kebutuhan listrik di 13.000 desa belum berlistrik yang tersebar di transmigrasi, perbatasan, bagian terluar dan tertinggal di Indonesia.
Kemendes PDTT menjadwalkan aplikasi pertama kerjasama ini terlaksana pada 2018.
Eko menyebut kebutuhan listrik tiap desa sekitar 200 kilowatt. Dalam penerapannya, program ini tak menggunakan dana desa, namun diarahkan pada kerjasama perusahaan pembangkit dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Nanti yang membeli BUMDes. BUMDes yang datang ke rumah-rumah jadi kolektor. Ini kesempatan besar karena perusahaan mau taruh power plant gratis di desa-desa. Perusahaan untung, desa dapat listrik, warga desa bertambah maju,” ucap Eko.
Proyek pertama, tahun ini di Kabupaten Dompu berkapasitas 30 kilowatt yang akan bisa dimanfaatkan sekitar 60 rumah tangga.
Dalam kesempatan sama, Ignasius Jonan, Menteri ESDM mengatakan, pemerintah tetap akan melanjutkan program elektrifikasi nasional 35.000 megawatt meski tak sesuai target- semula rampung 2019 mundur hingga 2024-2025. Dalam pemenuhannya, sesuai perintah presiden, elektrifikasi harus ekspansi ke semua pulau di Indonesia.
“Karena itu kami mendukung smart grid atau ada yang menyebut on/independent grid untuk area pedesaan di mana kalau kita butuh kita bisa pasang, tapi kalau pakai transmisi biaya akan lebih besar,” katanya.
Jonan menegaskan, pemerintah selalu berharap tarif terjangkau bagi publik. “Pemenuhan penting, namun lebih penting penambahan kapasitas adalah harga wajar.”
Atas dasar ini, KESDM tak memprioritaskan pembangkit kecil, umumnya menggunakan energi terbarukan di wilayah luas seperti Kalimantan dan Papua.
Jonan meyakinkan, ke depan penggunaan energi terbarukan akan fokus pemerintah dalam menurunkan tarif listrik.
“Renewable energy pasti akan kita terapkan. Pemerintah akan mengatur tarif batas atas energi fosil dan renewable. Kalau tidak (diatur) pemerintah akan sulit bikin traif listrik turun. Pemerintah juga tak senang kalau tarif listrik naik.”
Handry Satriago, CEO GE Indonesia mengatakan, baik pemerintah maupun IPP perlu menyadari, indsutri energi Indonesia sedang mangalami transformasi terkait lanskap energi yang terus berubah.
“Perubahan ini didorong perkembangan teknologi, keprihatinan meningkat terhadap dampak lingkungan, perilaku konsumen, kebijakan-kebijakan baru, naik turun harga bahan bakar dan keterbatasan sumber daya,” katanya.
Tantangan investasi energi terbarukan
Thomas Wagner, Head of Energy Working Group, EuroChamp Jakarta mengatakan, tantangan utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia salah satu kebijakan pemerintah.
“Negara-negara di ASEAN punya potensi energi terbaarukan sangat besar. Namun ada ketidakstabilan kebijakan, misal di Indonesia, ada perubahan tarif atau Filipina mengumumkan akan menghentikan beberapa program yang ada,” kata perwakilan EnviTec Biogas AG Asia Tenggara ini.
Selain itu, dalam membuat keputusan politik terkait investasi terbarukan, masih pada biaya jangka pendek yang seringkali menafikan manfaat jangka panjang. Selain itu, tekanan publik menggunakan energi terbarukan juga masih rendah.
Untuk itu, Direktur Austindo Aufwind New Energy ini meminta pemerintah dan pengambil kebijakan untuk menjadikan nilai keberlanjutan sebagai nilai utama investasi.
“Perlu dukungan politik, diikuti regulasi yang jelas untuk pembangunan pembangkit ongrid. Para pemimpin politik mesti membangun opini publik, bukan malah mengikutinya. Jadikan ekspansi energi terbarukan sebagai political will meski ada biaya jangka pendek.”
Para investor, kata Wagner, sudah siap sedia asal dalam menentukan harga, ada pertimbangan keunikan pembangkit energi terbarukan seperti stabilitas harga, skala kecil, sesuai potensi lokal, dan nilai keberlanjutan.
“Price is only one factor. Simplicity and transparency are key.”