Kala Kolektor Banyak Berburu Fosil Grobogan (Bagian 3)

 

 

Budi Setyo Utomo, warga Banjarejo, Gabus, Grobogan, Jawa Tengah, sedang mencari ikan di Sungai Lusi, dekat rumah. Tanpa sengaja kaki menginjak benda keras di dasar sungai. Penasaran, dia lalu menggali benda itu. Setelah ditelusuri, ternyata tanduk kerbau berukuran raksasa.

Dengan bantuan warga, tanduk kerbau itupun berhasil dikeluarkan dari dasar sungai. Ukuran panjang tanduk dari ujung ke ujung sampai 170 sentimeter. Panjang kepalanya 60 sentimeter selebar 25 sentimeter. Dengan ukuran itu, diperkirakan besar kerbau purba tiga kali kerbau hidup sekarang. Tanduk kerbau purba itu sempat pula diperlihatkan ke Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo di Semarang, 16 September 2015.

“Karena ada temuan ini lalu banyak orang datang ke Dusun Medang, lalu ke sini. Dari situ ada pemikiran, lho ternyata benda-benda ini banyak juga peminatnya. Kami membentuk Komunitas Peduli Fosil Banjarejo. Tanah-tanah yang berpotensi mengandung fosil kita survei. Sisa-sisa fosil kita kumpulkan,” kata Achmad Taufik, Kepala Desa Banjarejo, Gabus, Grobogan, akhir Juli lalu.

Berdiri sejak 30 November 2015, sebagian anggota adalah bekas pedagang fosil. KPF Banjarejo kini beranggotakan 14 orang. Selain dilibatkan dalam ekskavasi dan penjagaan situs penemuan fosil, kegiatan KPF antara lain mengikuti pameran kepurbakalaan di beberapa kota. Mereka juga memandu wisatawan yang datang ke desa.

Achmad bilang, banyak fosil temuan warga akhirnya dimiliki kolektor dan diperjualbelikan di pasar gelap. Fosil tanduk kerbau purba itu bernasib baik. Kini disimpan dan jadi maskot rumah fosil. Sang penemu fosil oleh kepala desa diberi kompensasi Rp2,5 juta. Budi kini menjadi Ketua KPF.

Dia tak membantah banya fosil jatuh ke tangan kolektor. Apalagi dia pernah terlibat dalam perdagangan fosil.

“Memang,  dulu ada fosil yang keluar, sudah tak rahasia lagi. Ada orang luar ke Banjarejo, terjadilah jual beli fosil. Dari situ akhirnya terketuk hati. Kok justru orang luar yang memiliki,” kata Budi.

 

Lokasi temuan fosil gajah purba di Grobogan/. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Fosil-fosil itu banyak ditemukan tanpa sengaja di sawah dan tegalan. Dulu dibiarkan, dipakai buat trisik atau ganjal dinding rumah. Saat ada orang mau membayar fosil dengan harga tinggi, fosil-fosil bernilai ilmu pengetahuan itupun berpindah tangan. Dari mulai kerang, kepala buaya, hingga gading gajah. Harga menggiurkan.

“Gading gajah purba bisa laku Rp20 juta-Rp25 juta,” katanya.

Menurut Achmad, warga banyak menemukan fosil bahkan sebelum 2010. Biasa mereka menemukan ketika menggali di pematang.

“Lama-lama datang orang dari luar Banjarejo. Fosil-fosil itu diambili dari lokasi temuan, yang semula disingkirkan warga. Lalu warga disuruh mencari, terus dijual ke mereka.”

Kata Achmad, mereka datang dari Sragen dan Solo. Benda-benda itu kabarnya diminati kolektor luar negeri.

“Dibanding yang kita koleksi, jauh lebih banyak yang terjual. Sekitar 2010-2015, masih sering terjadi. Jadi mereka datang, membayar warga untuk menggali. Mereka sudah tahu, langsung dibeli di lokasi.”

Selain fosil, ada harta terpendam lain yang dimiliki Banjarejo. Ada temuan struktur batu bata memanjang kurang lebih 220 meter, yang diperkirakan bagian dari bangunan Kerajaan Medang. Ditemukan pula lesung kuno, koin kepeng Tiongkok, dan beberapa perhiasan emas. Dari mulai gelang, kalung, kelat bahu, hingga hiasan kepala.

Rupanya,  pemburu harta sejarah dari luar Banjarejo,  tak hanya menyasar fosil. Mereka juga mencari emas.

Nur Solikin, anggota KPF Banjarejo bercerita, dulu banyak warga Banjarejo yang belum sadar arti penting benda bersejarah. Mereka ikut berburu emas dan menjarah kuburan kuno. Mereka menyasar bagian gigi, leher, dan lengan kerangka yang ditemukan. Di bagian itulah biasa ditemukan perhiasan emas yang ikut terkubur bersama jasad.

Ada istilah di kalangan mereka, yaitu nambang, tetapi bukan di tanah terbuka, tepian sungai atau dalam perut bumi lazimnya menambang. Ini mencari emas di persawahan, saat musim penghujan, saat itu lebih mudah digali. Dari mereka ada yang berhasil dapat perhiasan emas kuno.

Beberapa kali komunitas ini harus menghadapi pengepul dari luar. Meski tak sempat bentrok, namun bisa membuat jera para pengepul untuk tak lagi datang ke Banjarejo.

“Suatu ketika ada orang yang mau membeli, datang ke rumah warga. Lalu kami mendatangi warga, menyadarkan. Kini tak ada yang berani datang lagi ke Banjarejo. Kalau di daerah lain saya kurang tahu,” kata Nur, ditemui di situs penemuan.

 

Budi-Setyo Utomo, Ketua KPF Banjarejo (kiri) dan Nur Solikin, anggota KPF. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

* * *

Minggu pagi, 30 Juli, beberapa anak dari Dusun Peting, dengan bersepeda mengunjungi rumah fosil. Sehari sebelumnya, beberapa mahasiswa Undip, Semarang, datang ke Rumah Fosil. Dari buku tamu terlihat banyak pengunjung berminat melihat berbagai benda bersejarah. Merek menyampaikan kesan baik atas keberadaan museum.

Rumah Fosil ini berdiri dengan dukungan BPSMP Sangiran, pada 25 November 2015. Bangunan memanfaatkan rumah pribadi Achmad Taufik di bagian depan. Pemeliharaan fosil juga melibatkan lembaga ini, misal, melapisi fosil dengan cairan khusus setahun sekali.

Belum ada papan nama yang menunjukkan, tempat ini menyimpan koleksi purbakala begitu penting. Hanya ada banner sederhana bertuliskan Rumah Fosil, Desa Banjarejo. Beberapa artefak tergeletak begitu saja di luar rumah.

Masuk ke dalam ada beberapa meja yang dipakai untuk meletakkan fosil-fosil, keris, guci, dan uang kepeng. Sebagian fosil nempel di dinding, sebagian di lemari kaca. Di pojok ruangan, tanduk kerbau purba yang menempel di dinding disandingkan dengan tanduk kerbau era kini itu sangat mencolok. Beberapa pengunjung antusias swafoto di depannya.

Achmad bilang, bukan perkara gampang mengubah perilaku warga yang menjual fosil-fosil itu. Apalagi sebagian besar adalah petani tadah hujan dengan pendapatan tak seberapa. Dia terpaksa mengambil langkah kompromi.

“Pelan-pelan kita menyadarkan mereka. Kalau mau jual gading gajah misal,  silakan, tapi kalau di sini (Rumah Fosil) belum ada fosilnya. Atau kalau ditemukan fosil kuda nil, di sini belum ada, saya bilang jangan. Lama kelamaan, ketika ada orang memburu fosil, mereka sangat membenci.”

Sukronedi, Kepala BPSMP menjelaskan, sejak 2015 telah meneliti temuan fosil di Banjarejo. Dia memastikan, fosil-fosil temuan itu akan dimiliki publik.

“Kita menyelamatkan fosil bukan untuk dibawa ke Sangiran tapi untuk kekayaan Grobogan sendiri. Saya sudah audiensi dengan bupati, dinas pemprov untuk bisa membuatkan semacam museum di sana (Banjarejo), rupanya direspon. Nanti bisa jadi tempat wisata,” katanya, awal Agustus lalu.

Kini,  koleksi Rumah Fosil,  kurang lebih 1.020 Yang ada di rumah penduduk, kata Achmad, banyak diserahkan kecuali fosil ganjal bangunan rumah dan perhiasan emas.

“Masih ada yang enggan melapor karena mungkin takut, selain karena punya nilai jual. Tengkulak lebih cepat dan lebih siap membeli emas temuan.”

Banyaknya kunjungan ke Banjarejo,  ternyata juga meningkatkan kesadaran warga untuk menyerahkan fosil-fosil ke Rumah Fosil.

“Pemikiran kami, kalau fosil dibawa keluar akan berkurang maknanya. Berbeda jika berada di lokasi asli.”

Desa Banjarejo,  menyimpan peninggalan dari masa prasejarah, Hindu Buddha, Islam, hingga masa kolonial. Achmad berharap,  ada museum yang lebih representatif.

“Harapan kami ada museum yang bisa merangkai itu semua. Jadi kalau ada yang datang ke Banjarejo, mereka bisa seperti melihat lorong waktu. Dari prasejarah hingga masa kolonial.”

Gayung bersambut. Dalam kunjungan ke situs Banjarejo, Gubernur Jawa Tengah,  Gandjar Pranowo, 2 Agustus lalu, menyatakan perlu berdiri museum.

Dia akan membantu sambil menunggu kesiapan pemerintah daerah menyusun tata ruang dan lahan.

Dari hari ke hari, koleksi rumah fosil makin bertambah. Penemuan fosil gajah purba, beserta individu lain itupun bakal melengkapi koleksi rumah fosil. (Habis)

 

Kala temuan fosil gajah di Grobogan ternyata juga menemukan satwa-satwa purba lain. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,