Kemarau masih berlangsung, perkiraan puncak pada September mendatang. Meskipun kini beberapa wilayah hujan, malah sebagian banjir seperti di Kalimantan, Sulawesi, lalu sebagian Sumatera, kebakaran hutan dan lahan masih harus diwaspadai di beberapa daerah. Pantauan titik panas masih terlihat tinggi terutama di Kalimantan Barat dan Papua.
”Hotspot terus meningkat di Kalimantan Barat dan Papua. Ada 193 hotspot terdeteksi di Kalimantan Barat dan 143 hotspot di Papua dengan kepercayaan sedang hingga tinggi, lebih 30%,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, saat dihubungi Mongabay, Selasa (22/8/17).
KLHK juga merilis dengan satelit sama, Terra/ Aqua dengan tingkat kepercayaan tinggi, lebih 80%, ada di Kalimantan Barat 32 hotspot dan 27 di Papua.
Berdasarkan pantauan satelit Terra, Aqua dan SNPP, Selasa terdeteksi 538 titik panas dengan tingkat kepercayaan lebih 30%.
Dia bilang, kemungkinan hotspot di lapangan lebih banyak, karena beberapa wilayah tak terlintasi satelit Terra dan Aqua, seperti Aceh, Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur.
Hingga kini, ada enam provinsi menetapkan status darurat dan satu kabupaten siaga darurat karhutla. Riau dan Kalimantan Selatan tetapkan status itu hingga 30 November, sedangkan Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat hingga 31 Oktober 2017. Lalu, Kalimantan Tengah 14 Oktober, Kabupaten Aceh Barat menetapkan status 10 Juli-30 September 2017.
Indikasi buka lahan luas
BNPB menyatakan, ada indikasi pembukaan lahan untuk perkebunan dan terkonsentrasi di Kabupaten Merauke, Papua. ”Ini diduga terkait pembukaan kebun besar-besaran di Merauke,” ucap Sutopo.
Dari pantauan, katanya, hotspot pada bentang lahan terstruktur, rapi dan area luas.
Kebakaran Papua terjadi sejak 2015, mulai meningkat kembali tahun ini. Sejak pekan pertama Agustus, di Papua ada 93 titik api dari 158 titik di seluruh Indonesia. Titik api di wilayah lain, seperti Jawa Timur 17, Sulteng (1), Kaltim (1), Kalsel (1), Kalteng (3), Jabar (3), Jateng (2), NTT (13), NTB (11), Kaltara (3), Sulsel (1), Sumbar (3), Riau (1), Bengkulu (1), Aceh (1), Sumsel (2), dan Sumut (1).
Menurut Sutopo, dari 93 titik api, 83 beresolusi sedang, sedangkan 10 titik resolusi tinggi. ”Titik yang beresolusi tinggi ada di Merauke,”katanya, seraya bilang, belum tahu pasti luas kebakaran di sana.
Seperti kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, terutama Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalsel dan Kalteng, secara rutin jadi langganan saat kemarau tiba. Sedangkan, Papua, terlihat masif sejak 2015.
Pantauan citra satelit, perubahan penggunaan lahan dari hutan jadi perkebunan berlangsung cukup cepat dan luas di Papua. Aktivitas pembersihan lahan ini disertai peningkatan karhutla.
Hasil analisa satelit LAPAN dari pernginderaan jauh 1 Juli 2015- 20 Oktober 2015, luas lahan dan hutan terbakar mencapai 354.191 hektar, mayoritas berada di Merauke dan Mappi.
”Kebakaran di Papua harus diwaspadai. Hutan dan keragaman hayati Papua perlu dipertahankan agar tak mudah dikonversi jadi penggunaan lain dan tak terbakar,” katanya.
Sutopo bilang, kesulitan pemadaman api di Papua karena sarana prasarana terbatas, kesulitan akses dan belum ada Badan Pananggulangan Bencana Daerah di Merauke.
Dia berharap, karhutla tak meluas, karena puncak kemarau masih September. ”Potensi kekeringan dan karhutla akan meningkat.”
Yunus Subagyo, Deputi Meteorologi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, di Papua, karhutla memang terjadi di sekitar Merauke.
Pada lokasi itu, Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) juga mendapatkan laporan. ”Hingga 6 Agustus, ada satu hotspot di gambut Merauke,” katanya, pekan pertama Agustus.
Papua, masuk provinsi prioritas BRG. Hingga tahun ini, BRG baru perencanaan dan koordinasi ke pemerintah provinsi.
Koordinasi
Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK mengatakan, penanganan dan pencegahan karhutla, KLHK mengintensifkan koordinasi dan upaya lapangan, dengan menyediakan informasi dan menindaklanjuti data di lapangan.
Upaya pencegahan oleh Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Manggala Agni makin gencar. “Patroli terpadu sebagai program KLHK sangat efektif mencegah karhutla meluas di wilayah-wilayah rawan,” kata Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK.
Senada dikatakan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pekan lalu dia mengatakan, terus berkomunikasi dengan pemerintah daerah guna meningkatkan kinerja dalam penanganan pencegahan dan mengatasi karhutla pada masing-masing wilayah. ”Harapannya, ini mampu memberikan efek positif bagi pengurangan risiko kebakaran hutan.”
Pencegahan pun, katanya, dilakukan dalam bentuk patroli dan sosialisasi, cek ke lapangan serta pemantauan informasi titik api.
Hingga kini, ada lima provinsi rawan karhutla sebagai sasaran patroli, yaitu di Riau (Daops Pekanbaru, Siak, Rengat, dan Dumai), dan Sumatera Selatan (Daops Banyuasin, Musi Banyuasin, Lahat, dan OKI). Juga, Kalimantan Barat (Daops Pontianak, Singkawang, Sintang, Semitau dan Ketapang, Kalimantan Tengah (Daops Palangkaraya, Pangkalan Bun, Kapuas, dan Muara Teweh), serta Kalimantan Selatan (Daops Banjar, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut).
KLHK khusus Ditjen Penegakan Hukum juga tandatangan kerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 16 Agustus 2017. Kerjasama ini untuk penyediaan dan pemanfaatan hasil penginderaan jauh dalam mendukung pengembangan sistem deteksi kejahatan lingkungan, tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Siti bilang, KLHK kesulitan pengawasan dan pemantauan ke lapangan, luas wilayah hutan, jumlah sumber daya manusia dan infrasturktur minim jadi kendala.
”Sedangkan, perkembangan kejahatan lingkungan dan kehutanan, sangat cepat. Kerjasama ini guna mengurangi gap antara kejadian dan upaya tindakan hukum.”
Dari satelit Terra dan Aqua di Global Forest Watch, terdapat peringatan titik panas, dari 1 Juli 2017-11 Agustus 2017 sebanyak 5.974 titik di seluruh Indonesia, dengan keyakinan 30%. Angka ini, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya periode sama.
Untuk peringatan titik api sebanyak 29% terindikasi di area moratorium hutan. Berdasarkan jenis tanah, ada 84% di lahan mineral dan 16% lahan gambut. Sedangkan, dari penggunaan lahan 81% di luar konsesi, tertinggi konsesi pulp and paper (12%.)
BNPB menilai secara umum penanganan karhutla menunjukkan kemajuan, meski tak memungkinkan menihilkan titik api dari seluruh Indonesia sepanjang tahun.
Berdasarkan catatan BNPB, luas kebakaran 2015-2017, berturut-turut menurun, yakni 2,61 juta hektar, 438.000 hektar, dan sekitar 20.000 hektar. Berdasarkan data sipongi.menlhk.go.id luas kebakaran 261.060,44 hektar (2015) dan 14.604,84 hektar (2016).
Transparansi dan penegakan hukum
Fatilda, Manajer Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi mengatakan, ada indikasi pembakaran hutan dan lahan di konsesi kebanyakan oleh pemain lama. Beberapa muncul pemain baru.
Data Walhi Sumatera Selatan, sejak 24-30 Juli 2016 terdapat 168 titik panas. Adapun terdeteksi titik api berada di konsesi IUPHHK (izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu) sebanyak 18 titik, izin usaha perkebunan 32 titik, dan IUP 22 titik. Luas terbakar mencapai 6.459 hektar, sedangkan di Jambi 500 hektar.
Indikasi di lahan konsesi pun ditemukan di Kalimantan Selatan, katanya, ada 10 titik panas berada di HGU, 12 titik di kawasan hutan dan 26 di ekosistem gambut.
Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi, menilai, selain banyak konsesi di gambut, penegakan hukum juga minim.
Dia contohkan, sidang praperadilan SP3 Polda Riau terhadap tiga perusahaan terindikasi membakar lahan 2015. “PN Riau menolak menjalani permohonan praperadilan ini.”
Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, kesiapsiagaan menghadapi karhutla ini tak menyeluruh di Indonesia. ”Seharusnya, memasuki kemarau, sudah jadi warning seluruh daerah. Hanya Riau dan Sumsel yang terlihat siap.”
Efek jera bagi pelaku kebakaran juga masih belum terlihat, misal, perusahaan pada 2015 berhasil proses hukum tetapi banyak lanjut lolos karena masalah administrasi penyidikan.
Untuk itu, katanya, perlu ada koordinasi menyeluruh, tak hanya kementerian yang ambil bagian dalam proses hukum, juga Polda, Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN dan lain-lain. Pengenaan hukum pun, tak hanya UU Kehutanan dan Lingkungan Hidup saj, tetapi UU lain.
”Ini persoalan, ada yang offensif dan progresif, hingga tak imbang dan menyebabkan penjatuhan hukuman tak maksimal,” katanya.