Pembangunan Ramah Lingkungan Harus Melibatkan Masyarakat Adat, Begini Penjelasannya

 

 

Masyarakat adat dan kearifan lokalnya, dipercaya mampu membentuk pembangunan yang ramah lingkungan. Hal itu diungkapkan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, pada pertemuan Satuan Tugas Gubernur untuk Hutan dan Iklim atau Governor’s Climate and Forests Task Force (GCF) 2017, di Balikpapan, Kalimantan Timur, akhir September 2017.

Menurut Awang, masyarakat adat merupakan masyarakat yang gigih dalam hal menjaga hutan dan lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan sebagai modal pembangunan daerah. “Pemerintah Kaltim memerlukan bantuan masyarakat adat, untuk menjaga hutan dan lingkungan. Semua pejabat pemerintahan di tingkat kabupaten dan kota, akan diinstruksikan melibatkan masyarakat adat dalam proses pembangunan daerah,” tuturnya.

Instruksi itu, lanjut Awang, bukan tanpa alasan. Bentuk kemitraan antara pemerintah daerah dengan kelompok masyarakat adat, dapat menciptakan pembangunan hijau ramah lingkungan. Untuk itu, pemerintah perlu memberi pengakuan pada hak masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka.

“Pengakuan itu membuat kelompok masyarakat dihargai, bukan disingkirkan. Pemerintah Kaltim wajib menyejahterakan dan memberi perlidungan beserta hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.

 

Baca: Perubahan Iklim Harus Dihadapi Dengan Aksi Nyata Bersama, Mengapa?

 

Dijelaskan Awang, masyarakat adat mayoritas tinggal di desa-desa dan hidupnya bersentuhan langsung dengan hutan. Dengan memberdayakan masyarakat adat, kerusakan hutan dan tekanan degradasi dapat diminimalisir, bahkan ditanggulangi bersama. “Bentuk kemitraan yang baik akan melahirkan hasil yang sempurna, sama-sama menjaga hutan dan lingkungan.”

Untuk itu, GCF sangat berperan mempercepat terwujudnya kebutuhan fundamental yang menyangkut eksistensi masyarakat adat. Seperti pengakuan wilayah adat dan partisipasi konsultasi yang efektif. “Mekanisme pembagian manfaat dari berbagai pendanaan iklim akan dilakukan juga,” terangnya.

Masyarakat adat yang diwakili tiga organisasi besar – AMAN dari Indonesia, AMPB dari Amerika Tengah, dan COICA dari Lembah Amazon – menyatakan kesiapannya mendukung agenda-agenda yang disampaikan para Gubernur/Wakil Gubernur untuk menanggulangi deforestasi dan pembangunan rendah emisi karbon.

Rukka Sombolingi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjelaskan, masyarakat adat tidak hanya berhenti pada upaya mendorong pilar atau prinsip, namun lebih pada mengerjakan kerangka kerja yang aksional dan berdampak nyata terhadap masyarakat adat.

“Kami tidak hanya bisa memetakan apa-apa saja yang akan dilakukan. Kami langsung bekerja dan membentuk lingkungan hijau yang bersih. Kami telah memiliki rencana aksi yang konkrit dan akan disampaikan kepada para Gubernur anggota GCF,” tegasnya.

Alfonso Chavez dari COICA (Coordinadora de las Organizaciones Indígenas de la Cuenca), organisasi masyarakat adat yang mengkoordinir masyarakat adat dari 9 negara di lembah Amazon juga mengharapkan GCF tidak hanya menjadi forum tukar pikiran. “Kami ingin aksi nyata untuk perlindungan hutan dan masyarakat adat di berbagai belahan dunia,” tuturnya.

 

Hutan Lindung Wehea yang begitu dijaga oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Hutan adalah sumber kehidupan dan bagian penting bagi mereka. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Komitmen

Pada konferensi Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) ini, Pemerintah Norwegia berkomitmen memberikan dana sekitar Rp337,2 miliar atau USD 25 juta kepada anggota Satuan Tugas Gubernur untuk Hutan dan Iklim. Pemerintah Norwegia bahkan telah menunjuk Badan Pembangunan Dunia UNDP sebagai mitra keuangan guna mengelola dana tersebut.

Melalui keterangan tertulis, Head Project of GCF Wiliam Boyd menyampaikan, dana bisa diakses semua provinsi atau negara bagian yang merupakan anggota GCF untuk mewujudkan pembangunan rendah emisi di setiap yurisdiksi. “Semua anggota dapat mengakses dana tersebut, sehingga kelak digunakan untuk strategi aksi deforestasi. Para Gubernur yang menjadi anggota harus berinovasi dan membentuk strategi regional,” sebutnya.

Selain komitmen dana dari Norwegia, konferensi GCF juga membuahkan kerja sama dengan sektor swasta. Antara lain, dengan perusahaan yang tergabung dalam The Forest Alliance (TFA), karena agenda-agenda yang dibahas di pertemuan ini selaras dengan tujuan TFA 2020.

 

Alam adalah bagian tidak terpisahkan bagi masyarakat adat Dayak Wehea. Secara arif mereka menjaga lingkungan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Tidak layak

Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Kalimantan Timur, menyebut apa yang disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak terkait Kaltim sebagai Provinsi Hijau merupakan kebohongan. Mereka menilai, hutan yang gundul karena degradasi dan tambang batubara yang merajalela adalah kondisi yang tidak sesuai syarat untuk Provinsi Hijau.

“Kaltim sama sekali tidak layak jadi tuan rumah konferensi tahunan GCF. Kondisi Kaltim jauh dari harapan,” kata Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Topan Wamustofa Hamzah.

Program Kaltim Hijau atau Kaltim Green adalah komitmen Pemerintah Provinsi Kaltim untuk melaksanakan pembangunan hijau berwawasan lingkungan. Tujuannya, mendorong pembangunan hijau guna menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.

Namun faktanya, menurut Topan, kerja nyata untuk penyelamatan lingkungan yang ada belum menjadikan Kaltim bebas sawit dan tambang. “Masyarakat yang melindungi hutan adat malah dikriminalisasi atas tuduhan tidak benar. Belum lagi korban yang berjatuhan akibat tambang, tapi Pemerintah Kaltim tidak juga mau menghentikan segala bencana,” paparnya.

Sebaiknya, langkah pemerintah yang diambil adalah mengatur kebijakan dan regulasinya. “Pemerintah Kaltim harus tegas dengan aturan yang ada, jangan sampai aturan dibuat hanya untuk dilanggar sendiri,” sebutnya.

Sekretaris Pokja 30, Buyung, juga mempertanyakan pelaksanaan GCF di Kaltim. Menurutnya, Kaltim belum berhasil mengelola lingkungan dengan baik. Wajar, jika aktivis menyebut Gubernur Kaltim dengan program Kaltim Green adalah berita bohong.

“Menjadi tuan rumah GCF, menunjukkan Kaltim berhasil dalam pengelolaan lingkungan. Itu disebut hoax, karena kita tahu dalam Pergub No 1 tahun 2016 tentang RTRW, ada penambahan luasan lahan untuk pertambangan batubara dan sawit,” jelasnya.

Menurut Buyung, pertemuan GCF yang membahas masalah lingkungan dan perubahan iklim akan menjadi sia-sia karena fakta yang ada tidak sesuai dengan yang dibicarakan. “Pembicaraan perubahan iklim terus dilakukan sementara perusakan lingkungan tetap dibiarkan,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,