Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih banyak belum teraliri listrik. Dari 43 desa di Kabupaten Kepulauan Mentawai, 23 desa belum ada listrik PLN. Rasio elektrifikasi Mentawai paling rendah daripada semua daerah di Sumbar alias baru 29,80%. Pemerintah baik pusat maupun daerah berupaya memenuhi listrik warga dengan energi terbarukan.
Data PLN menyebutkan, di Pulau Siberut, delapan desa terlistriki, 12 desa lain belum ada listrik. Lalu, sembilan desa di Pulau Sipora, sudah berlistrik, ada empat desa lagi belum peroleh listrik PLN. Di pulau-pulau lain, seperti Pagai (Sikakap), tujuh desa belum ada jaringan listrik PLN, tiga desa belum ada jaringan listrik.
Baca juga: Antara Bambu dan Kaliandra, Rabutan Proyek Energi di Tanah Orang Mentawai? (Bagian 3)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, beberapa kali sudah membangun pembangkit listrik tenaga surya di desa-desa yang belum teraliri listrik PLN. Pemerintah Kabupaten Mentawai, juga lakukan hal serupa, hingga kini total ada 37 pembangkit listrik tenaga surta (PLTS), lumayan mendongkrak rasio elektrifikasi Mentawai jadi 43.6%, tetapi masih di bawah 50%.
Belakangan, Pemerintah Mentawai, menggagas listrik energi (biomassa) bambu. Dari website Bappeda Mentawai ada informasi tertulis,”Mentawai akan menjadi daerah percontohan energi berbasis masyarakat pertama di dunia.” Ada tiga desa jadi proyek percontohan, yakni Desa Malepet, Madobak dan Matotonan.
Dalam laman itu disebutkan kalau bambu untuk proyek ini hasil penelitian Universitas Andalas, Padang, bekerjasama dengan Amerika Serikat.
Dalam perjalanan, proyek ini peroleh pendanaan hibah lewat Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, senilai US$12,4 juta dengan pengembang PT.Charta Putra Indonesia (CPI).
Kesepakatan ditandatangani 20 Maret 2017, sebulan kemudian pembangunan konstruksi mulai. MCA Indonesia mengalirkan dana US$973.000 untuk bantuan teknis persiapan proyek.
Sejak pertengahan 2017, sudah dibangun satu dari tiga pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBM) bambu dari CPI.
Yudas Sabaggalet, Bupati Mentawai, pertengahan Februari lalu bercerita kepada Mongabay, soal awal mula memilih energi terbarukan, biomassa bambu di Mentawai.
Bupati yang juga pendiri Yayasan Citra Mandiri ini bilang, bersama Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake, punya komitmen sama. Mereka menolak industri ekstraktif seperti sawit, HTI dan lain-lain masuk Mentawai.
Menurut dia, ada tiga konsep dalam membangun Mentawai. Pertama, pendekatan ekologi, kedua, sosial kemasyarakatan, ketiga, baru ekonomi.
“Artinya, orang Mentawai dibangun mereka harus makmur secara ekonomi, bukan berarti lingkungannya rusak. Juga bukan berarti sosial rusak,” katanya.
Mentawai itu, ucap Yudas, kepulauan dengan budaya dan adat istiadat masih kental. Jadi, hal-hal yang berhubungan dengan merusak lingkungan skala besar, tak bisa dilakukan di Mentawai.
Di samping itu, katanya, masyarakat, harus berkembang, maju, dan bisa memenuhi keperluan ekonomi dengan lingkungan dan sosial terjaga.
Saat ada tawaran konsep pengembangan energi terbarukan dari bambu dengan melibatkan masyarakat, Yudas pun tertarik. Diapun setuju konsep biomassa bambu untuk pemenuhan listrik di Mentawai.
“Kita mendukung konsep bambu biomassa itu dasarnya,” kata Yudas.
Bambu, katanya, sudah jadi budaya orang Mentawai. Berbagai keperluan kehidupan mereka mulai dari rumah, masak air, masak ikan, masak sagu, pakai bambu. Meskipun begitu, selama ini nilai bambu baru seputar itu.
“Sekarang kita mau naikkan value-nya. Tidak hanya soal memasak, tetapi juga ada listrik,” kata Yudas.
Pola ini, tak ada penguasaan lahan-lahan warga oleh perusahaan. Warga langsung memanfaatkan lahan-lahan mereka untuk menanam bambu. “Bibit bisa bantuan dari kita juga,” katanya.
Selain itu, katanya, bambu juga tumbuhan yang biasa hidup di Mentawai alias bukan tanaman dari luar.
“Bambu ini tidak didatangkan dari luar. Karena sudah ada di sana. Bagaimana aspek lingkungan? Bambu kita tanam, tumbuh, diambil dan tumbuh lagi. Kita sudah hitung sampai ke sana. Merestorasi lingkungan. Maka kita pilih bambu, tidak kayu.”
Aspek sosial masyarakat, katanya juga jadi pertimbangan. Bambu, ditanam di lahan masyarakat. Warga yang punya bambu, dibeli CPI untuk produksi energi biomassa. Listrik mengalir kembali ke masyarakat.
“Jadi masyarakat punya bambu, dibeli CPI. Kita pasti beli. Mereka (warga) jual ke kita, kita kasih duit, duit itu untuk beli lampu. Artinya, ada kepastian. Ada nilai ekonomi dari menanam bambu.”
Dalam pelaksanaan nanti, katanya, bisa jadi kerjasama dengan PT PLN–listrik dibeli dan didistribusikan PLN–hingga ada subsidi tarif listrik. “Sosial kemasyarakat terpenuhi. Aspek ekonomi, dan ekologi terpenuhi,” katanya.
Berbeda ketika mengambil sumber energi dari kayu. “ Kayu kita tebang, lalu habis, pindah lagi ke lokasi lain. Maka, kita memilih konsep ini (biomassa bambu-red).”
Untuk mengelola listrik, katanya, dibentuk BUMD, Mentawai Pembangunan Hijau. “Itu orang Mentawai. Yang akan mengelola orang Mentawai semua. Konsep ini kita padukan. Ada pengusaha, Pak Jaya (Jaya Wahono dari CPI-red). Ada Bappeda. Saya hanya memberikan ide, itu dipoles lebih konkrit, lebih nyata oleh staf-staf kita. Maka, kita konsep ini. Tidak memilih konsep lain.”
Nanti, katanya, bambu ini tak hanya untuk pemenuhan listrik tetapi buat keperluan lain yang dapat mendongkrak ekonomi warga. Dia contohkan, bambu untuk bahan kerajinan.
Bupati berencana mengirimkan orang Mentawai ke Yogyakarta untuk belajar konstruksi atau kerajinan bambu. Bagi dia, bambu sebagai energi listrik hanya salah satu, banyak manfaat lain.
“Kalau hanya listrik, ya kecil. Banyak fungsinya. Termasuk pariwisata. Kita tanam bambu di sana, kan oksigen bagus. Kira-kira begitu. Jadi nilai historis kebijakannya seperti itu.”
Dalam presentasi Jaya Wahono, Presiden Direktur PT.Charta Putra Indonesia (CPI), pengembang biomassa bambu, menyebutkan, untuk proyek biomassa bambu ini, setiap keluarga mendapat plot satu sampai dua hektar untuk menanam bambu sebagai sumber energi. Dalam dua batang bambu setara dengan kebutuhan energi per keluarga selama satu bulan.
Setiap hektar akan menghasilkan bambu sekitar 10-20 ton atau 5.000-10.000 batang bambu per tahun.
Investasi pembangkit biomassa di desa-desa Mentawai ini bernilai Rp100 juta per keluarga, bisa menambah pendapatan sekitar Rp1-Rp2 juta per bulan per keluarga. Juga membantu restorasi lahan non produktif dua sampai tiga hektar per keluarga dan meningkatkan umur produktivitas hingga 10 tahun bagi setiap orang Mentawai.
Mengapa libatkan PLN?
Pada berita Mongabay sebelumnya, ada menyebutkan, soal Jaya menawarkan listrik ke PLN dan bikin Farouk, Koordinator MCA Sumbar, kesal. Farouk merasa kalau jual ke PLN, berarti membisniskan energi bambu yang dapatkan pendanaan MCA.
Jaya menilai, Farouk, salah mengerti. “Farouk itu mengatakan saya mau enaknya, menurut saya, dia nggak ngerti jalan ceritanya. Gitu loh. Dia nggak pernah menemui PLN. Saya yang menemui PLN.”
Kepada Mongabay Jaya menjelaskan soal kepemilikan pembangkit dan peran PLN. Dia bilang, pembangkit listrik biomassa bambu itu milik negara, dalam hal ini Pemerintah Mentawai, bukan punya swasta.
CPI, katanya, hanya membangun. “Jadi Ide, merangkai, kemudian mencari pendanaan, akhirnya dapat. Barangnya nanti milik negara,” katanya.
Soal usaha Jaya menjual energi kepada PLN, katanya, bukan dalam upaya mengambil manfaat dari proyek ini. Di seluruh penjuru Indonesia, kata Jaya, merupakan wilayah kelistrikan PLN.
“Jadi kita tak bisa mengambil alih begitu saja. Ini orang banyak yang nggak tahu. Produksi listrik boleh swasta murni, tapi menguasai wilayah usaha, itu nggak boleh. Negara harus hadir. Bisa PLN, bisa juga pemda,” katanya.
Dengan pertimbangan aspek teknik dan keekonomian, ucap Jaya, pemerintah daerah bakal berat kalau mengurus wilayah usaha kelistrikan. Jadi, daerah produksi listrik, jual ke PLN. PLN bertindak sebagai penyedia jaringan dan distribusi. Setelah jual ke PLN, listrik mengalir ke warga Mentawai dengan tarif bersubsidi.
“Kalau swasta atau pemda yang memegang wilayah usaha yang sekecil itu, subsidinya dari mana? Kan harus mencari dari APBD, dari sumber lain. Atau masyarakat harus dibebani untuk membayar lebih. Kan tidak fair.”
PLN itu, kata Jaya, mendapat mandat melistriki seluruh wilayah di Indonesia tanpa terkecuali. “Tidak boleh mendiskriminasi orang Mentawai, nggak usah dikasih listrik dulu. Kewajiban PLN harus memberikan listrik kepada orang Mentawai karena itu wilayah usaha mereka,” katanya.
Kabupaten Kepulauan Mentawai, masuk kategori daerah tertinggal. Indikator daerah tertinggal, antara lain, masih minim dari sisi perekonomian masyarakat, sumber daya manusia (pendidikan), kemampuan keuangan daerah, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, sampai aksesibilitas.
Kini, pembangunan biomassa bambu sudah jalan, tetapi proyek MCA bakal berakhir 2 April 2018. Bagaimana kelanjutannya, Jaya bilang, sudah bertemu dengan Bappenas dan membahas soal ini. Menurut Jaya, MCA ada di bawah Bappenas. “Bukan berdiri sendiri. Penanggungajwab dari program ini adalah Menteri Bappenas.”
Ketika mereka berdiskusi dengan Menteri Bappenas, Jaya mendapatkan jawaban agar pemerintah daerah bekerjasama dengan PLN jadi tak perlu mengambil alih wilayah usaha.
Dengan begitu, katanya, ada subsidi negara (pemerintah pusat) yang bisa tersalurkan kepada masyarakat. PLN menerapkan level penarifan. Ada yang bersubsidi, ada yang tidak, tergantung besaran daya listrik.
“Karena listrik kalau disalurkan PLN, masyarakat membayar Rp415 per Kwh. Itu namanya R1.”
Kalau penyaluran tak lewat PLN, langsung dari CPI, katanya, masyarakat harus membayar Rp1.467 per Kwh alias tanpa subsidi. “Adil gak? Padahal masyarakat (Mentawai) miskin,” katanya, seraya bilang, jauh lebih baik bagi masyarakat kalau kerjasama dengan PLN.
Kepastian proyek jalan
Naslindo Sirait, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Mentawai menegaskan, perlu kepastian agar proyek ini tak mangkrak ketika MCA tak lagi mendanai. Kalau PLN membeli listrik dan salur ke warga, katanya, tentu bagus tetapi perlu ada kepastian.
“Itu menarik. Tapi harus dilihat juga proposal (CPI-red) dengan MCA. Kalau PLN mau, itu benar, tidak masalah. Sekarang kalau PLN gak mau, beliau (Jaya Wahono-red) harus bertanggungjawab,” katanya.
Dia ingin memastikan isi proposal MCA dan CPI. “Kita lihat dulu proposal bapak (Jaya Wahono-red). Makanya bapak diberikan dana dari MCA sampai sejauh mana? Apakah hanya untuk membangun? Ya, nggak apa-apa. Tapi kalau di proposal bapak, dikatakan bahwa kegiatan yang bapak lakukan itu membangun, mengutip sampai menyalurkan, ya harus dijalankan. Itu konsekuensinya.”
Menurut Sirait, kalau hanya membangun, banyak yang bisa melakukan. “Berarti hanya kontraktor. Bapak bilang, proyek ini satu-satunya di dunia maka kita tertarik. Kita ikuti.”
Jaya menjelaskan, dalam rapat koordinasi daerah (rakorda), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Barat, sudah menyatakan wilayah usaha kelistrikan di Mentawai ini tidak mungkin lepas kepada swasta karena PLN sudah mau membeli. “Itu [pernyataan] ESDM [Sumbar],” katanya.
Sirait menimpali. Bagi Pemerintah Mentawai, katanya, tak mau hanya di mulut tetapi harus ada komitmen. “Hitam di atas putih di depan bupati, kita buat MoU (memorandum of understanding-red),” katanya.
Dia khawatir, jangan sampai, ketika proyek MCA selesai, pada Mei nanti tidak ada yang mengelola. “Lalu kita berdebat di sana. Ini yang mau kita pastikan.”
Jaya bilang, CPI sudah menandatangani MoU dengan PLN sejak Maret 2017, lalu diperkuat lagi dengan surat Direksi PLN yang menyatakan akan membeli listrik dari pembangkit biomassa itu pada Mei 2017.
“Kemudian ada pernyataan PLN Sumbar Oktober, akan membeli. Menguatkan direksi dari Jakarta. Jadi bukan angan-angan.”
Saat ini, katanya, yang harus disiapkan, Bappenas mengambil alih proyek itu. “Karena MCA sudah bubar. ESDM provinsi tidak mau memberikan kepada swasta.”
Jaya mengakui, pembahasan proyek ini jadi terkesan agak membingungkan. Dia juga memaklumi pernyataan Sirait yang meminta kepastian proyek tak mangkrak.
“Sebenarnya kita sejalan. Dana atau proyek hibah ini, harus sampai selesai. Gak bisa ditinggal. Harus berkesinambungan. Problemnya, MCA ini April, sudah bubar. Sudah hilang. Ini lembaga adhock, bukan lembaga permanen.”
Dia membenarkan, proyek ini seharusnya selesai tak hanya fisik tetapi semua izin-izin termasuk pengoperasian.
“Jadi sudah jelas berapa masyarakat yang di-hire, dilatih dan sebagainya. Penanaman bambu sudah harus disebar. Cuma kan waktu terbatas. Banyak hal belum bisa diselesaikan sebelum April. Nah, itu yang akan di-take over Bappenas.”
Dia bilang, awal proyek ini MoU antara Bappenas—mewakili Indonesia—dan Millennium Challenge Corporation (MCC)—mewakili pemerintah Amerika.
Jaya bilang, tak akan lepas tanggung jawab sebagai pelaksana proyek tetapi semua harus jalan sesuai aturan, baik di pemerintah kabupaten, provinsi maupun pusat.
Aturan pusat, katanya, menyatakan, wilayah usaha kelistrikan di seluruh Indonesia, milik PLN. Ketika ada swasta mau punya wilayah usaha memungkinkan tetapi harus meminta izin PLN.
“Itu yang tidak dibahas sejak awal oleh MCA. Muncul belakangan. Yang menjadi persoalan di antara kami, siapa sih yang berhak mengusahakan kelistrikan di wilayah itu? Itu dulunya, kita pikir tak bertuan. Kenyataan milik PLN.”
Kemudian, ada kontrak dengan PLN selama 25 tahun dengan pemilik pembangkit pemerintah daerah. “Operatornya kami.”
Kini, katanya, dia harus berkoordinasi dengan Bappenas dan pemda. Pemda, sebagai pemilik aset, dan Bappenas yang akan menggantikan MCA.
“Ada sisa pendanaan, maupun masalah izin dan transfer aset. Aset ini kan tadinya di Bappenas, harus dikasih ke pemda. Itu kan ada prosesnya. Tak bisa diambil begitu saja. Ada proses harus diperiksa nilai berapa, barang seperti apa, mekanisme segala macamnya. Itu Bappenas yang menangani.”
“Ini harus dilaksanakan sebelum 2 April. Tapi sebenarnya itu otomatis tanggungjawab Bappenas,” ucap Jaya.
Apakah sudah membahas soal ini ke Bappenas? “Dari tahun lalu,” katanya.
Konstruksi proyek biomassa bambu ini, katanya, sudah jalan 80%. Paling lambat Mei 2018 sudah beroperasi. Yudas juga bilang, target peresmian pembangkit listrik bambu ini Mei 2018.
Mongabay berupaya menghubungi MCA Indonesia dan MCA Sumbar untuk mendapatkan penjelasan tetapi tak berbalas. Permintaan wawancana via telepon sampai email tak mendapatkan jawaban.
Pada wawancara sebelumnya, Bonaria Siahaan, Direktur Eksekutif MCA-Indonesia mengatakan, jika tidak tercapai target sampai operasi, maka CPI wajib menyiapkan sumber pendanaan tambahan untuk membiayai kegiatan yang belum selesai setelah proyek compact berakhir 2 April 2018.
Menurut dia, skema proyek biomassa bambu ini berbasis masyarakat dan tak terkoneksi dengan PLN (off-grid). Saat ini, katanya, PLN belum menjangkau wilayah kerja proyek jadi operasional pembangkit listrik sepenuhnya dikelola lembaga yang dibentuk masyarakat dan CPI sesuai syarat yang diwajibkan dalam perjanjian hibah antara CPI dan MCA-Indonesia. Bonaria tak menjelaskan lebih detil soal isi perjanjian hibah itu.
Energi terbarukan dan lingkungan
Ahmad Redi, Pakar Kebijakan Energi dan Sumber Daya Alam, mengatakan, energi biomassa bambu yang dikembangkan CPI di Rogdok, Saliguma dan Matotonan di Siberut Selatan dan Tengah, jadi salah satu pengganti energi fosil.
Bambu yang ditanam di ladang masyarakat, katanya, tak akan menimbulkan dampak lingkungan, karena tak membuka lahan alami.
Untuk proyek PLTBM di Saliguma, tersangkut masalah lingkungan. Banyak mangrove tertimbun tanah bukit saat pemindahan rumah turbin. Pemindahan rumah turbin juga belum mengantongi UKL-UPL.
MCA-Indonesia, meminta konstruksi di Saliguma, setop sementara. CPI juga dituntut kaji mendalam tentang dampak kerusakan mangrove.
Alasan CPI memindahkan power plant di Saliguma karena lokasi terlalu dekat dengan pemukiman dan sekolah, khawatir mengganggu.
Menurut Redi, masalah di Saliguma, bukan hanya soal lingkungan juga ada masalah hukum, meskipun pembangunan proyek listrik biomassa ini mendapat dukungan Pemerintah Mentawai. “Dukungan itu bukan hanya kebijakan, tetapi bagaimana supervisi, pengawasan itu harus dilakukan.”
Pengembangan proyek listrik harus memperhatikan dampak lingkungan. Perbaikan proyek, katanya, harus dilakukan guna memastikan dampak kerusakan itu bisa tertangani.
“Kalau proyek asal bangun tidak mempertimbangkan manfaat ekologi dan lingkungan hidup, ya sama saja. Sebab kerusakan yang ditimbulkan bisa lebih mahal dibanding nilai ekonomi yang dihasilkan,” katanya.
Dia bilang, energi terbarukan penting untuk menggantikan energi fosil, yang cadangan makin menipis. “Secara alamiah energi fosil dari minyak, gas bumi dan batubara ini berlahan akan habis,” katanya.
Saat ini, 60% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan energi fosil, salah satu batubara.
Pemerintah Indonesia, menargetkan sumber energi terbarukan sebesar 23% sampai 2020. Ahli Kebijakan Energi ini menyatakan, perlu keberpihakan pemerintah dengan mempermudah pengurusan izin, dan memanfaatkan kawasan hutan rusak untuk pengembangan listrik biomassa. Selain itu, pengembangan proyek listrik juga perlu dukungan masyarakat.
Kepulauan Mentawai, memiliki banyak laut, cocok pengembangan energi air dengan memanfaatkan arus bawah laut untuk menggerakkan turbin. Masyarakat atau pengembang juga bisa memanfaatkan air terjun jadi sumber energi skala kecil yang dapat menerangi pemukiman dua, atau tiga desa.
“Kalau ada pilihan energi biomassa dan air, menurut saya sumber energi air jadi pilihan cukup relevan untuk dikembangkan.”
Foto utama: Pembangkit listrik biomassa dari bambu di Mentawai. Foto: dari presentasi Jaya Wahono/ Mongabay Indonesia