Lamongan merupakan kabupaten yang berada di kawasan pantai utara Jawa Timur. Memiliki garis pantai sepanjang 47 km, Lamongan merupakan salah satu pusat perikanan terbesar di Indonesia. Untuk memperjualbelikan hasil laut itu di Lamongan terdapat beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
TPI terbesar di Lamongan ada di Dusun Brondong, Kecamatan Brondong. Tempat Pelelangan Ikan ini berjarak sekitar 50 km dari pusat kota Lamongan, atau sekitar 90 km dari Surabaya.
TPI Brondong berada di Jalan Raya Deandels, jalan raya yang menghubungkan beberapa kota besar di pulau Jawa, sekaligus saksi sejarah penjajahan kolonial di zaman Gubernur Herman Willem Daendels. TPI Brondong sangat besar dan mencolok sehingga akan mudah ditemukan.
baca : Foto : Beginilah Aktivitas Nelayan Indonesia
Saksi Sejarah
Tidak banyak yang tahu Tempat Pelelangan Ikan di Brondong adalah saksi bisu sebuah peristiwa sejarah, yakni tenggelamnya kapal Belanda Van Der Wijck. Kapal itu tenggelam di perairan Brondong pada 28 Oktober 1936 ketika hendak berlayar dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta.
Peristiwa ini kemudian mengilhami lahirnya novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka dan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama pada 2013.
Tepat di sebelah timur halaman kantor Dinas Kelautan dan Perikanan TPI Brondong berdiri monumen peringatan tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Monumen peringatan yang menjulang dengan tinggi sekitar 5 meter dan berbentuk persegi ini didedikasikan untuk para nelayan setempat yang menolong saat terjadinya peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Sayangnya baik di novel maupun film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” jasa nelayan-nelayan ini sama sekali tidak disinggung sedikit pun.
baca juga : Mengapa Cuaca Ekstrem Terjadi di Samudra Hindia Selatan Jawa?
Jantung Perekonomian
TPI Brondong adalah jantung perekonomian masyarakat Lamongan pantura. Sekira 20.000 jiwa menggantungkan hidupnya di sana. Mereka tidak hanya warga Dusun Brondong, namun juga warga dusun sekitarnya: Jompong, Sedayulawas, Dengok, dan masih banyak lagi.
Profesi yang mereka jalani di TPI ikan beragam. Mulai dari nelayan, supir truk atau becak, buruh, hingga karyawan swasta.
Aktivitas di TPI mulai berdenyut dini hari sekitar menjelang pagi dan berakhir sore hari. Saat langit masih gelap gulita para nelayan yang berminggu-minggu melaut tiba mendarat. Kapal terebut kemudian dibongkar muatannya. Ikan-ikan yang ditangkap diturunkan ke dermaga. Kemudian dilakukan, penyortiran, penimbangan, pelelangan, dan pengiriman.
Aktivitas pembongkaran dan penyortiran berlangsung di sekitar dermaga. Sementara aktivitas penimbangan, pelelangan, dan pengiriman berlangsung di dalam Tempat Pelelangan Ikan.
Pusat Ikan Segar
Setiap tahunnya kapal nelayan tradisional yang mendarat di TPI Brondong mencapai 22.300. Di dermaga setiap harinya kapal yang sedang bongkar muatan bisa mencapai puluhan kapal.
Ikan-ikan di tempat pelelangan ini merupakan hasil tangkapan nelayan yang baru saja mendarat. Ikan-ikan tersebut jelas terjamin kesegarannya. Selain itu harga ikan yang ditawarkan jauh lebih murah dibanding harga di pasar atau supermarket.
Di TPI Brondong hasil laut yang didapatkan bervariasi. Di antaranya adalah cumi-cumi, kepiting, ikan kakap merah, ikan layang, dan ikan alu-alu.
Ikan yang ditangkap di TPI Brondong dijual untuk memenuhi permintaan pasar ikan sejumlah kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Semarang, Jakarta hingga negara-negara mancanegara, seperti Singapura, Malasyia, dan Thailand.