Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyampaikan pentingnya harmonisasi alam dan budaya untuk menunjang sistem kehidupan. Sebab, rusaknya salah satu unsur, baik budaya maupun alam, akan berdampak buruk pada alam dan manusia.
Keterkaitan antara alam dan budaya diyakini telah dikenal sejak lama oleh masyarakat di berbagai tempat di Indonesia. Contohnya melalui cerita maupun larangan, sesuai konsep kearifan lokal di masing-masing tempat.
“Saya waktu kecil dilarang oleh nenek saya untuk membakar lahan, membakar tanah. Jadi kalau main api, tanahnya terbakar, itu katanya nanti telinganya bisa tuli. Jadi enggak boleh main-main api di halaman rumah,” ujar Siti Nurbaya dalam puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN), yang digelar di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara, Kamis (30/8/2018).
Karenanya, dia mengajak peserta yang hadir dalam kegiatan itu untuk mengingat kembali unsur-unsur budaya yaitu, bahasa, pengetahuan, sistem organisasi sosial, mata pencaharian dan kesenian, serta teknologi.
Di samping itu, Siti menyebutkan bahwa konservasi memiliki 3 unsur penting. Pertama, melindungi sistem penopang kehidupan, rantai makanan dan energi. Unsur kedua adalah pengawetan sumberdaya genetik, dan yang ketiga, pemanfaatan alam secara lestari.
“Rusaknya salah satu bagian dari unsur-unsur tadi akan berdampak pada rusaknya seluruh sistem kehidupan, maka alam akan terganggu dan manusia juga akan terganggu,” terangnya.
baca : Sinergi dan Kerja Nyata Konservasi Alam Diusung Dalam Hari Konservasi Alam Nasional
Dalam kesempatan itu, Siti sambil mengutip catatan LIPI, memaparkan bahwa terdapat 720 mamalia yang tersebar di wilayah Indonesia atau diperkirakan 13 persen dari sebaran di seluruh dunia. Kemudian, 1605 jenis burung atau sekitar 16 persen jenis di seluruh dunia, 723 jenis reptilia, 1900 jenis kupu-kupu, 1248 ikan air tawar dan 3476 jenis ikan air laut. Belum terhitung udang, kepiting, laba-laba dan serangga lainnya.
Angka-angka tadi menempatkan Indonesia sebagai negara megabiodiversitas dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Meski demikian, ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia terbilang besar. Contohnya, kebutuhan lahan untuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, serta penurunan beberapa populasi satwa di alam yang mencapai angka 40 persen.
Karena itu, dalam 2 tahun belakangan KLHK berupaya memperkuat konservasi dengan penegakkan hukum, melibatkan berbagai komunitas masyarakat dalam mendukung aturan dan kebijakan, serta mengajak masyarakat untuk menjaga kearifan di berbagai tempat di Indonesia.
“Dan untuk itulah, maka harmonisasinya itu kami lakukan antara lain menjaga kelestarian tapi sekaligus juga pertumbuhan ekonomi bisa dijalankan,” katanya..
Pada kesempatan itu, Pemprov Sulut juga menyampaikan dukungan terhadap agenda-agenda konservasi. Olly Dondokambey, Gubernur Sulut mengatakan, indikator dukungan itu bisa dilihat dari ditutupnya 42 tambang emas di provinsi ini.
“Kami sudah menutup 42 tambang emas, agar pelestarian alam dan peningkatan ekonomi masyarakat juga membaik,” terangnya.
Pencabutan izin tambang itu juga merupakan bagian dari komitmen untuk mendorong peningkatan ekonomi dari sektor pariwisata. “Sebab, saat ini Sulut telah menjadi salah satu destinasi wisata berbagai turis mancanegara. Sekarang tiap minggunya ada 18 trip wisatawan mancanegara ke Sulut. Karenanya, kami menggalang ekowisata,” tambahnya.
baca : Kepedulian Tiada Pudar Kaka Slank untuk Pulau Bangka
PR yang Belum Selesai
Dalam peringatan HKAN 2018, sejumlah pegiat konservasi menilai masih terdapat sejumlah ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus diselesaikan untuk menciptakan harmonisasi antara alam dan manusia.
Stephan Lentey, Field Station Manager Macaca Nigra Project menyebut, fenomena konsumsi satwa dilindungi menjadi salah satu perdebatan yang belum berakhir di Sulut. Padahal upaya menjaga harmonisasi alam dengan budaya bisa dilihat dari lestarinya kehidupan satwa liar.
Stephan berharap, kedepannya pemerintah mau menjalin komunikasi maupun koordinasi yang terbuka. Serta menindak tegas praktik-praktik yang tidak sesuai dengan konsep harmonisasi alam dan budaya. “Sebagian menganggap satwa liar bisa jadi jualan wisata, yang belum selesai-selesai sampai sekarang. Contohnya pasar ekstrim, makanan ekstrim,” ujarnya.
baca : Begini Nasib Satwa-satwa Ini di Pasar Ekstrem…
Billy Gustafianto Lolowang, Manajer Wildlife Rescue & Endangered Species Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) menambahkan, HKAN 2018 dapat menjadi momentum untuk meminimalisir masalah-masalah menyangkut kerusakan alam, hutan, illegal logging, hingga perburuan satwa liar. “Masih ada laporan konsumsi satwa liar di pasar. Harapannya, hari konservasi bisa menyadarkan masyarakat agar turut peduli, khususnya pelestarian alam di daerah,” kata Billy kepada Mongabay.
Sedangkan Michael Wangko, ketua Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak) berharap, HKAN 2018 dapat mendorong keterlibatan pemerintah daerah, khususnya di wilayah kepualauan. Sebab, meski Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud telah terlibat dalam pencanangan 6 desa konservasi dan penetapan nuri talaud (Eos histrio talautensis atau Sampiri dalam sebutan lokal) sebagai maskot kabupaten, namun sampai hari ini belum terdapat legalitas dari dua program konservasi itu.
“Kami berharap Perda perlindungan Sampiri, yang (prosesnya) sudah di tingkat provinsi segera terbit, segera ada masukan ke lembaran daerah, kemudian segera disosialisasikan. Lalu, dibuatkan regulasinya. Paling tidak ada SK Bupati yang disebar ke kepala-kepala desa untuk diketahui. (Karena) Sampai hari ini baru pencanangan dan seremoni, belum ada legalitasnya,” kata Michael berharap.
baca juga : Kisah Opa Zaka, Dari Penangkap Jadi Pelindung Nuri Talaud
Di Luar Lokasi HKAN 2018
Di luar Camping Ground TWA Batuputih yang jadi lokasi perayaan HKAN 2018, terdapat stan-stan yang didirikan warga, serta sejumlah pegiat konservasi dan pecinta alam Sulut. Di sana, mereka mereka membentangkan spanduk, memamerkan kerajinan tangan, produk pertanian hidroponik, pertunjukan akustik serta mengajak masyarakat dan pengunjung untuk memanfaatkan fasilitas flying fox.
Meski, latar belakang yang mendorong kegiatan itu adalah ketidakmampuan menjangkau biaya untuk membuka stan di lokasi perayaan HKAN 2018, namun mereka tetap berkomitmen memeriahkan dan mendukung kegiatan ini. Seperti dikatakan Alfons Wodi, ketua Lembaga Konservasi Kelurahan (LKK) Batuputih bawah, dalam kurun 3 hari, mereka perlu menyediakan Rp18 juta jika ingin membuka stan di lokasi HKAN 2018.
“Kami tidak ada uang sebesar itu, terpaksa cari alternatif lain. Karena ini bagian dari kegiatan nasional, sayang kalau tidak mendukung, jadi kami mendukung dari luar,” terangnya kepada Mongabay.
Tingginya biaya diyakini menyebabkan tidak banyak warga kelurahan Batuputih bawah yang dapat berpartisipasi di lokasi perayaan HKAN 2018, selain beberapa warga yang terlibat dalam bentuk jual makanan, pengamanan atau mengatur parkir.
Padahal, keterlibatan warga diyakini menjadi wujud nyata realisasi tema kegiatan tersebut. “Di kelurahan Batuputih bawah sebenarnya sudah ada LKK. Itupun tidak dilibatkan,” kata Alfons. “Bagaimana mau tercipta harmonisasi (alam dan budaya) kalau masyarakat tidak dilibatkan.”
Tahun ini HKAN mengusung tema “Harmonisasi Alam dan Budaya” yang dihadiri sekitar 400 peserta Jambore, juga 42 stan lembaga pemerintah maupun LSM dari berbagai daerah di Indonesia.