Sekitar 2006, Orang Rimba, Kelompok Pematang Kabau, Air Hitam, marah. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi serampangan menebang karet di kebun-kebun Orang Rimba. Melayar, Helmi dan beberapa Orang Rimba tak terima kebun karet dibabat. Ribut.
Willy Azan, mengingat waktu itu ada program reboisasi di pinggiran Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)—namun kebun di ikut ditebang. Willy menganggap BKSDA tak tahu batas TNBD yang baru disahkan pada 2000.
“Kawan-kawan Walhi, kita (KKI Warsi), langsung ke Jakarta paparan ke Komnas HAM,” kata Willy. Saat kejadian, dia jadi fasilitator lapangan KKI Warsi.
Medio 2006-2007, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi, pemerintah harus menghormati kultur budaya Orang Rimba di TNBD.
Mijak Tampung, Orang Rimba, Kelompok Tumenggung Celitai, Makekal Ulu cerita. Perselisihan antara Orang Rimba di dalam kawasan dengan Balai TNBD kerap terjadi. Anak didik Saur Marlina ini menganggap, pemicunya pembagian ruang TNBD yang tak selaras dengan adat Orang Rimba.
Jauh sebelum TNBD ada, Orang Rimba telah mengenal pembagian ruang lewat aturan adat. Ada tanoh terban, Orang Rimba percaya tanoh toban menjadi tempat para dewa, dan dilarang dibuka. Wilayah sakral lain, Susupon. Kawasan sumber air bagi Orang Rimba.
Benteng, merupakah wilayah pertahanan Orang Rimba. Di TNBD wilayah Benteng berada di Ketemenggungan Celiati di Makekal Ulu berbatasan dengan wilayah Tumenggung Nggrib. Sepanjang kawasan itu dikeramatkan seluruh orang Rimba di Jambi.
“Tepat ini (benteng) dilindungi karena tempat kerjaan-kerjaan Orang Rimba dulu.” “Tidak boleh ditebang sembarangan, tidak boleh dibuka, kecuali untuk upacara adat.”
Tanah yang bei’ untuk behuma, artinya tanah baik untuk bercocok tanam. Lokasi, cenderung datar dan berpasir. Tanoh prana’on (tempat melahirkan), pasoron (rumah orang meninggal), tanoh templanai (tanah berbuit), tali bukit (wiayah perbukitan) dan lain-lain.
Balai membagi TNBD jadi tujuh bagian zonasi. Ada zona inti, zona religi, zona pemanfaatan, zona khusus, rehabilitasi, rimba, zona tradisional.
M.Zuhdi, Direkur Cappa Keadilan Ekologi, menganggap ada yang bertolak belakang antara aturan negara dengan adat Orang Rimba dalam menata wilayah kelola TNBD. Bukan soal penyebutan nama, tetapi letak zonasi dan pemahaman fungsi yang bertubrukan. Dia khawatir masalah itu akan memantik konflik besar.
Dia contohkan, zona inti ditetapkan TNBD ternyata dalam aturan adat Orang Rimba tak sepenuhnya wilayah dilindungi, ada baumo atau yang lain yang boleh dibuka untuk kebun.
“Ini kan jadi soal. Jadi kalau aturan ini dikawinkan—aturan adat dan aturan TNBD—akan diketahui apa yang boleh dilakukan dan di mana tempatnya. Kalau ini tidak dilakukan, yang terjadi konflik,” katanya.
‘Pengawinan’ aturan Balai TNBD dengan adat Orang Rimba adalah bagian dari resolusi konflik.
Zuhdi juga bilang, jika budaya Orang Rimba seperti pranaon (tempat melahirkan), tempat madu sialang, bebalai, tak bisa dibuat dalam satu zonasi.
“Itu ada di semua zonasi. Pranaon itu bisa di wilayah rimba, bisa di inti, termasuk pemanfaatan madu sialang.”
Di Makekal Ulu, ada sekitar 500 hektar wilayah adat dilindungi dan dilarang dibuka. Namun, belum diketahui apakah wilayah adat itu masuk zona dilindungi aturan pemerintah.
Edi mengusulkan, agar pembagian zonasi di TNBD sesuai aturan adat Orang Rimba.
“Orang Rimba juga kita minta menyesuaikan diri, karena ada aturan pemerintah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mak aturan itu harus dikawinkan.”
Perjanjian kerjasama
Pada Jumat, (7/9/18), Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datang ke Bukit Suban, untuk menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Sarolangun.
Haidir, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, mengatakan, penandatanganan yang dibuat prasasti itu sebagai tanda komitmen balai mewakili pemerintah untuk memadukan aturan adat Orang Rimba dengan aturan pemerintah dalam pengelolaan TNBD.
“Ini sangat penting. Karena merekalah sejatinya pemilik hutan karena mereka yang tinggal di situ. Kalau kita masukkan aturan pemerintah yang tak sesuai aturan mereka, akan kontra nanti.”
Penandatanganan itu disaksikan 13 tumenggung, Warsi, Cappa, Sokola Rimba, TNBD, Bupati Sarolangun, Cek Endra dan Dirjen KSDAE, Wiratno.
Haidir bilang, pemaduan aturan ini dikelompokkan pada dua hal. Pertama, perpaduan pada pengaturan ruang. Balai TNBD membagi kawasan jadi tujuh zonasi, begitu juga dengan Orang Rimba yang membagi wilayah sesuai adat.
“Di aturan adat mereka juga ada tali bukit, itu kriteria dan fungsi sama dengan zona inti di taman nasional.”
Dia sudah survei di 13 wilayah ketemenggungan di dalam TNBD. Data survei sebagai dasar memadukan aturan adat dengan aturan pemerintah.
Dengan perpaduan aturan ini, katanyam akan membuat kawasan TNBD yang rawan perambahan, ilegal logging, hingga ekspansi sawit, bisa terjaga.
“Karena harus melewati aturan adat dan aturan formal. Kalau aturan adat tidak sanggup, kita pakai aturan formal, atau sebaliknya. Jadi kawasan akan lebih aman.”
Kedua, pengelolaan sumber daya di masing-masing ruang. Haidir ingin, Orang Rimba jadi pemilik hutan TNBD bisa memanfaatkan hasil hutan dengan lestari.
“Nanti, Suku Anak Dalam (Orang Rimba) sebagai subyek pengelola.”
Untuk mewujudkan, masalah pendidikan jadi penting. Haidir merencanakan, membangun 13 sekolah informal di semua wilayah ketemenggungan.
Saat ini, dua sekolah dibangun di Tumenggung Jelitai di Kejasung, Batanghari, dan di Sungai Kuning, Sarolangun, wilayah Tumenggung Bepayung.
Kepala Balai juga merekomendasikan tujuh anak rimba: Jupri, Betulus, Kurniati, Desi Astuti, Ninting, Nyangkup, masuk SMK Kehutanan di Pekan Baru. Usulan Haidir didukung Dirjen KSDAE.
Hasil pendataan Balai TNBD pada April 2018, tercatat ada 718 keluarga Orang Rimba dengan 2.960 jiwa. Jumlah ini meningkat jauh dalam kurun lima tahun terakhir. Pada 2013, jumlah orang rimba di TNBD tercatat 218 keluarga, total 1775 jiwa.
Pada 2013, Warsi juga mendata populasi orang Rimba di lintas 1.373 jiwa dan 474 jiwa tinggal di selatan TNBD. Di Bukit Tigapuluh, terdapat 434 jiwa Orang Rimba.
Menurut Antropolog Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo, langkah tepat dilakukan Balai TNBD, untuk menjaga wilayah adat Orang Rimba dan TNBD.
Namun, tantangan hidup bagi Orang Rimba terus berlanjut, terutama mereka yang hidup di luar kawasan yang tak lagi memiliki wilayah adat.
Pemerintah, kata Adi, harus berpikir bagaimana hidup Orang Rimba di luar kawasan.“Mereka perlu hidup berkelanjutan, tapi dari mana?” “Pemerintah harus bisa memastikan sumber penghidupan Orang Rimba secara kesinambungan,” katanya.
Keterangan foto utama: Rumah Orang Rimba di Makekal Ulu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia