Dari skala 0 sampai 100, nilai Indeks Kesehatan Laut (IKL) atau Ocean Health Index (OHI) mendapatkan nilai 51. Hal itu menunjukkan secara umum kualitas kesehatan laut Bali hanya separuh dari nilai tertinggi. Di sisi lain upaya memperbaiki indeks tersebut justru mendapat banyak tantangan saat ini.
Peluncuran laporan IKL Bali yang disebut OHI+ dilaksanakan pada akhir bulan lalu dalam Our Ocean Conference (OOC) di Nusa Dua, Bali. Hadir tiga pembicara mewakili pemerintah, lembaga riset, dan organisasi non-pemerintah yaitu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali I Made Gunaja, Kepala Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) I Nyoman Radiarta, dan Manajer Perlindungan Kawasan Laut Conservation International (CI) Indonesia Iwan Dewantama.
Menurut I Made Gunaja indeks kesehatan laut menjadi hal penting bagi Bali karena selama ini Bali sangat tergantung sekali pada kesehatan laut baik secara fisik maupun spiritual. “Bali memiliki konsep nyegara gunung, di mana laut tergantung sekali sama daratan. Masyarakat Bali menyadari ketergantungan tersebut,” katanya.
Di sisi lain, Bali juga sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No.11/2017 tentang Bendega atau nelayan tradisional. Hal ini, lanjut Gunaja, merupakan penerjemahan dari konsep Tri Hita Karan, terutama hubungan dengan lingkungan (palemahan) dan manusia (pawongan).
“Karena besarnya ketergantungan Bali pada laut, maka penting untuk ada kajian komprehensif tentang seberapa sehat laut Bali saat ini,” katanya.
baca : Nyepi Segara, Ketika Laut Rehat di Bali
Secara sederhana IKL merupakan kerangka untuk mengkaji kesehatan laut secara komprehensif dan kuantitatif. Para pemangku kepentingan di sektor kelautan, seperti pemerintah, lembaga riset, kampus, dan organisasi non-pemerintah.
Dalam kajian IKL secara global, sebenarnya ada sepuluh faktor yang dikaji untuk menghasilkan satu nilai secara keseluruhan. Yaitu penyediaan pangan, peluang bagi nelayan kecil, air bersih, pariwisata dan rekreasi, perlindungan pantai, keragaman hayati, dan penyimpanan karbon.
“OHI di Bali disebut OHI Plus karena tidak ada kajian tentang mata pencaharian dan ekonomi,” kata Gunaja.
Kepala BROL I Nyoman Radiarta menambahkan bagian tentang mata pencaharian dan ekonomi itu tidak masuk dalam IKL Bali karena tidak adanya data terkait hal tersebut. Radiarta menambahkan, kajian IKL menggunakan data-data skunder dari pihak lain selama lima tahun terakhir.
Menurut Radiarta, tim kajian mulai bekerja secara penuh sejak Januari 2018 meskipun mereka sudah terbentuk sejak 2016. Mereka melakukan kajian data terutama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun lembaga-lembaga lain.
“Data-data itu kita ambil dari masing-masing institusi untuk kemudian dibandingkan data-data dari riset atau statistik,” katanya.
baca juga : Begini Wacana Pembangunan Bersih Gubernur Baru Bali. Realistiskah?
Radiarta memberikan contoh untuk mengkaji bagian tentang penyimpanan karbon atau air bersih mereka menggunakan remote sensing. Namun, untuk mata pencaharian dan ekonomi belum bisa dilakukan karena tidak ada datanya.
“Dengan kajian yang kita lakukan, kita bisa belajar sendiri seperti apa kesediaan data di masing-masing lembaga,” tambahnya.
Nilai Tertinggi
Berdasarkan penggabungan semua faktor tersebut, tim kajian menemukan bahwa nilai IKL Provinsi Bali sebesar 51 dari 100. “Artinya masih banyak ruang yang bisa kita kembangkan untuk mencapai tujuan kita di Bali,” kata Gunaja optimis.
Dari total nilai 51 itu, tiap bagian memiliki nilai sendiri-sendiri. Faktor keragaman hayati mendapat nilai tertinggi, 94. Hal ini didukung oleh banyaknya spesies laut di Bali yang jumlahnya mencapai lebih dari 935 spesis. Sebanyak 38 di antaranya dalam kategori nyaris terancam.
Adapun faktor yang mendapat nilai paling rendah adalah penyimpanan karbon (carbon storage) dengan nilai 24. Ekosistem hutan bakau dan padang lamun yang sehat berperan mengurangi pelepasan karbon ke atmosfer. “Lebih dari 70 persen ekosistem ini dalam kondisi sehat, tetapi mereka terancam,” kata Gunaja.
baca juga : Sedihnya Duta Earth Hour Lihat Mangrove Benoa Bali Tersisa 1%. Kok Bisa?
Dia menyebutkan laut Bali mendapatkan 37 tekanan, baik dari manusia ataupun lingkungan. Di sisi lain Bali memiliki 19 daya lenting untuk menjaga kesehatan lingkungan lautnya.
Di antara sembilan faktor, hanya tiga yang mendapatkan nilai lebih dari 50. Selain keberagaman hayati dengan nilai 94, juga air besih (79) dan penyediaan pangan (59). Adapun faktor lainnya relatif lebih rendah seperti perlindungan kawasan pesisir (35), peluang bagi nelayan kecil (37), dan wisata dan rekreasi (46).
Dari sembilan kabupaten/kota di Bali, hanya satu kabupaten yang tidak masuk dalam penilaian yaitu Kabupaten Bangli. Kabupaten ini memang berada di tengah-tengah pulau dan tidak memiliki pantai.
Di antara delapan kabupaten/kota yang dinilai, Buleleng merupakan kabupaten dengan nilai 61 dan disusul Badung (56) dan Denpasar (54). “Mungkin karena dua wilayah ini bersama-sama memiliki kawasan mangrove terpadat dan terluas di Bali,” kata Radiarta.
Kabupaten dengan indeks kesehatan laut paling rendah adalah Gianyar (35) lalu Tabanan (38). Tiga daerah lain adalah Karangasem (50), Jembrana (49), dan Klungkung (45).
“Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk penanganan di masa depan adalah peluang perikanan tradisional, air bersih, dan pengembangan produk alami,” lanjutnya.
baca juga : Bagaimana Kesehatan Terumbu Karang di Perairan Nusa Penida Bali?
Saling Mengisi
Menurut Gunaja, OHI Bali merupakan kajian indeks kesehatan laut yang pertama kali diadakan di Indonesia. Karena itu, baik Gunaja maupun Radiarta berharap daerah-daerah lain bisa melakukan kajian sama sehingga bisa diperoleh nilai secara nasional.
Hal ini penting karena OHI bisa menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah laut Indonesia, termasuk di Bali.
Made Iwan Dewantama mengatakan hal serupa. “Riset ini diharapkan menjadi panduan penting bagi para pemangku kepentingan di Bali untuk mengelola kelautan. Tidak hanya bagi DKP, tetapi juga dinas-dinas terkait,” katanya.
Salah satu isu penting terkait lingkungan kelautan di Bali saat ini adalah penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Baik Iwan maupun Radiarta berharap OHI yang dipublikasikan September lalu itu bisa menjadi acuan dalam penetapan zonasi pesisir Bali.
Hal itu penting karena secara faktual, kawasan pesisir Bali mendapat tekanan kian besar saat ini termasuk dari pariwisata dan alih fungsi. “Tantangan terbesar kita sekarang adalah bagaimana agar mangrove dan padang lamun tetap terjaga, karena mereka berperan penting dalam menjaga pesisir Bali maupun perubahan iklim,” kata Iwan.
Ketika OHI sudah ada dan dipublikasikan, Radiarta berharap, hasil kajian itu bisa saling mengisi dengan RZWP3K. “Posisi mangrove harusnya lebih diperhatikan. Tidak digeser-geser. Pemerintah harusnya lebih tahu. Secara simultan OHI dan RZWP3K harus selaras,” ujar Radiarta.
Menanggapi hal itu, Gunaja menyatakan OHI dan RZWP3K memang bisa saling mendukung untuk menjaga lingkungan laut Bali. Karena saat ini belum memiliki RZWP3K, maka Bali harus segera mengesahkan zonasi tersebut. Jika alokasi ruang sudah ditetapkan berdasarkan zonasi, maka OHI akan menjadi sarana untuk menganalisis bagaimana dampak zonasi itu ke kesehatan lingkungan laut.
“Jika RZWP3K sudah ada, bagaimana dampaknya pada OHI. Itu yang perlu kita diskusikan lagi,” lanjutnya.