- Pada 17 Juli 2006, terjadi tsunami di pesisir pantai selatan Jawa bagian tengah pasca Gempa 7,7 SR di Pengandaran. Tsunami bergelombang 5-7 meter itu terjadi sepanjang 200 km garis pantai dan menewaskan lebih dari 600 orang, termasuk di Cilacap.
- BPBD Cilacap bersama instansi terkait telah melakukan berbagai program pengurangan risiko bencana (PRB) termasuk antisipasi tsunami, seperti peta rawan tsunami, early warning system serta penyiapan masyarakat dan relawan sadar bencana.
- Karena kesiapannya, Cilacap dinilai UNISDR sebagai kota tangguh bencana dan terpilih mewakili Indonesia pada forum Global Final Wrap-up Workshop on Making City Resilience di Korea Selatan pada 4-8 Maret 2019 bersama 19 kota lain di dunia
***
Tugu tsunami di Pantai Widarapayung, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah itu menjadi saksi bisu bagaimana dahsyatnya tsunami yang menerjang wilayah setempat. Ada tembok beton dengan ketebalan 40 cm yang roboh dan sengaja dipertahankan sampai sekarang. Tugu peringatan yang jaraknya sekitar 200 meter dari pantai tersebut juga berisi nama-nama yang menjadi korban tewas dalam peristiwa yang terjadi pada Senin, 17 Juli 2006 silam.
Sebetulnya, gempa dengan kekuatan 7,7 skala Richter (SR) yang memicu gelombang tsunami, bukanlah terjadi di Cilacap melainkan di Pangandaran. Air bergerak dari arah barat yakni Pangandaran menuju ke timur yaitu Cilacap. Di Kota Cilacap tidak terasa dampaknya, ada perlindungan dari Pulau Nusakambangan. Namun, daerah yang timur Nusakambangan terdampak cukup parah, salah satunya adalah Pantai Widarapayung di Desa Widarapayung Wetan.
“Warga di sini yang menjadi korban cukup banyak. Korban pada umumnya adalah penduduk yang tengah mencari kerang kecil. Di wilayah ini, kalau tidak salah korbannya mencapai 71 orang,”jelas salah seorang saksi mata kejadian hampir 13 tahun lalu, Ashadi (45) yang kini menjadi Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Widarapayung Wetan saat ditemui pekan lalu.
baca : Potensi Tsunami Besar di Laut Selatan Jawa, Widjo: Siapkan Mitigasi (Bagian 1)

Tim Tsunami Internasional, salah satunya peneliti dari Amerika Serikat (AS) Hermann M Fritz bersama periset lainnya menyatakan kalau gempa di Pangandaran yang kemudian diikuti oleh tsunami ternyata melanda 300 km garis pantai dan menewaskan lebih dari 600 orang. Dari hasil penelitiannya, ketinggiang tsunami mencapai 5-7 meter di sepanjang 200 km. Tetapi, tsunami paling dahsyat berketinggian 21 meter dan menerjang hingga 1 km daratan justru terjadi di daerah Permisan Pulau, Nusakambangan, Cilacap.
Peristiwa tsunami yang terjadi di Samudra Hindia selatan Cilacap pada 2006 menjadi salah satu yang terparah dengan menewaskan ratusan penduduk di sekitar pantai. Sebelum peristiwa tsunami itu, setidaknya pernah juga kejadian di Cilacap. Peneliti dari ITB Yan Rizal misalnya menyebut ada endapan tsunami pada 1883 yang teridentifikasi di pantai Cilacap.
baca juga : Inilah Gelombang Tsunami Tertinggi Dalam Catatan Sejarah Moderen
Pemetaan Rawan Bencana
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap bersama instansi terkait telah memetakan daerah rawan tsunami. Garis pantai Cilacap tercatat 102 km, 50 km di antaranya masuk kategori zona merah tsunami. Ada 9 kecamatan dan 40 desa yang rawan tsunami karena letaknya berdekatan dengan pantai Samudra Hindia. Jumlah penduduk yang tinggal di daerah rawan mencapai 680 ribu jiwa dari 1,8 juta jiwa total penduduk Cilacap.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Cilacap Tri Komara Sidhy mengatakan pihaknya bekerja sama dengan instansi terkait lainnya telah membuat peta rawan tsunami di Cilacap, yang diterbitkan pada 2010, empat tahun peristiwa tsunami yang menerjang Cilacap. Peta itu disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan GITEWS atau Kerjasama Jerman-Indonesia untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami. Dengan adanya peta tersebut, maka Cilacap lebih jelas memetakan daerah-daerah rawan secara terperinci.
baca juga : Tsunami Selat Sunda: Mitigasi dan Kesiapan Hadapi Bencana Harus Ada

Tri Komara mengatakan sebagai daerah yang masuk zona merah tsunami, pihaknya terus berupaya untuk mempersiapkan mitigasi bencana sebagai upaya pengurangan risiko bencana (PRB). “Jadi setelah melakukan pemetaan daerah rawan bencana, maka dibutuhkan peralatan deteksi dini atau early warning system (EWS). Peralatan EWS tsunami biasanya jangkauannya sekitar 1,5 km. Kalau garis pantai di Cilacap sepanjang 102 km, maka idealnya 70 EWS terutama ditempatkan di daerah tidak jauh dari pemukimn warga,” jelasnya.
Ada total 41 EWS di sepanjang pantai di Cilacap. Namun demikian, pihak BPBD telah mengajukan penghapusan 10 peralatan akibat rusak karena korosi uap air laut. Sehingga, kini yang berfungsi ada 31 EWS. Umumnya, peralatan tersebut berada di lokasi wisata, masjid, musala, kelurahan dan lainnya yang dekat dengan pemukiman warga.
“Setiap bulan, kami melakukan tes peralatan EWS yakni pada tanggal 10 dan 25 setiap bulannya. Sedangkan untuk peralatan EWS milik BMKG yang tergabung dalam Ina-TEWS, diujicoba tanggal 26 setiap bulannya,”kata dia.
Ia mengatakan ada beberapa kendala terkait peralatan EWS tersebut, salah satunya adalah pendanaan. Saban tahun, alokasi dana pemeliharaan peralatan deteksi dini tsunami hanya Rp65 juta setahun. “Kalau dibagi per bulan, maka anggarannya hanya sekitar Rp5,4 juta dan dibagi untuk puluhan peralatan EWS. Karena terbatasnya anggaran itulah, kami tidak sanggup ketika BMKG akan menyerahkan pengelolaan dua alat EWS ke Pemkab. Sebab, anggaran pemeliharannya bisa mencapai Rp300 juta,”ujarnya.
Menurut Tri Komara, selain alat deteksi dini tsunami, sebetulnya pihaknya juga mengajukan anggaran ke pusat untuk membangun semacam perbukitan di sekitar laut sebagai lokasi evakuasi sementara jika terjadi tsunami. Anggarannya cukup besar mencapai Rp40 miliar. “Sudah cukup lama kami mengajukan anggaran ke pemerintah pusat untuk membangun perbukitan terbuka hijau. Namun, sampai sekarang belum ada realisasinya,”katanya.
Selain itu, lanjut, terkait dengan lokasi evakuasi tsunami, BPBD Cilacap telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pemilik 45 bangunan di Cilacap sebagai lokasi shelter evakuasi vertikal. “Tahun ini kami akan bekerja sama dengan ahli bangunan dan ahli geologi untuk melakukan kajian terhadap gedung-gedung tersebut. Jadi, kajian terhadap 45 gedung yang umumnya adalah sekolah, RS, hotel dan lainnya harus dilaksanakan supaya kami tahu kalau gedung-gedung yang akan dijadikan shelter evakuasi tsunami benar-benar kuat dan layak sebagai lokasi evakuasi,”tegasnya.
menarik dibaca : Pascagempa Dahsyat, Warga Diingatkan Kelestarian Pelindung Alami Tsunami. Apa Itu?

Penyiapan lainnya, lanjut Tri Komara, adalah penyiapan kemampuan masyarakat terutama di daerah rawan bencana. “Warga di daerah-daerah bencana, salah satunya tsunami diberi bekal pengetahuan sehingga tidak hanya menyadari daerahnya rawan, tetapi juga bagaimana agar mereka mampu mengevakuasi secara mandiri serta kemampuan lainnya seperti menyelamatkan orang lain. Karena itulah, biasanya secara rutin dilangsungkan kegiatan simulasi bencana yang melibatkan seluruh warga. Simulasi sangat penting sebagai bentuk kesiapsiagaan,”ungkapnya.
Di sisi lain, BPBD kini telah memiliki setidaknya 800 relawan yang tersebar merata di seluruh kecamatan rawan bencana. Dari jumlah tersebut, 600 personel telah memiliki kartu tanda anggota. “Mereka dididik untuk mampu evakuasi secara mandiri. Para relawan juga memiliki kemampuan sesuai dengan bidang tugas kebencanaan seperti bagaimana mitigasi, mengevakuasi sampai kemampuan di dapur umum,”imbuhnya.
Bahkan, setelah ada peristiwa gempa diikuti tsunami dan likuifaksi di Palu, kemudian tsunami di Banten, BPBD kerap diundang berbagai pihak seperti sekolah, RS dan instansi lainnya untuk menggelar simulasi.
Tri Komara menambahkan setiap tahun, BPBD Cilacap terus membentuk desa tangguh bencana (Destana). Hingga tahun 2018, telah terbentuk 24 destana dan pada 2019 bakal membentuk lagi 2 destana. Dengan adanya destana tersebut, diharapkan masyarakat akan lebih bersiap menghadapi bencana.
baca juga : Foto : Begini Kerusakan Dampak Gempa dan Tsunami di Kota Palu

Wakili Indonesia
Kepala Seksi Pencegahan BPBD Cilacap Firman Baryadi mengungkapkan pada 8-11 Januari lalu, United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) menyelenggarakan workshop di Cilacap terkait dengan penilaian Cilacap sebagai kota tangguh bencana.
“UNISDR juga menyatakan kalau Cilacap terpilih sebagai kota perwakilan dari Indonesia untuk mengikuti acara di Incheon, Korea Selatan pada 4-8 Maret 2019 mendatang dalam forum Global Final Wrap-up Workshop on Making City Resilience bersama 19 kota lain di dunia. Cilacap menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang diundang ke sana. Nantinya, Pemkab Cilacap bakal memaparkan progress membangun kota tangguh bencana,”jelas Firman.
Ia mengatakan, sebelumnya Cilacap juga telah mengikuti berbagai macam kegiatan yang intinya adalah pengurangan risiko bencana dan persiapannya. Tahun 2015 lalu, Cilacap juga diundang untuk memaparkan mitigasi bencana sebagai kota tangguh bencana di India. Kemudian pada 2016, Cilacap ke Incheon, Korsel dalam acara yang sama. Pada tahun berikutnya tepatnya 2017, lagi-lagi Cilacap diundang dalam acara mitigasi bencana, waktu itu ke Mongolia.