- Taman Nasional Ujung Kulon merupakan habitat terakhir badak jawa [Rhinoceros sondaicus], yang statusnya Kritis [Critically Endangered/CR] berdasarkan kriteria IUCN
- Awal persebarannya, badak jawa ditemukan di India bagian timur, Bangladesh, Indochina, hingga Asia Tenggara
- Persebaran badak jawa yang saat ini terbatas di Semenanjung Ujung Kulon rentan punah karena habitatnya yang sempit dengan populasi terbatas
- Habitat ideal selain Ujung Kulon penting untuk keberlanjutan hidup badak jawa, namun butuh kajian mendalam para ahli untuk menemukan wilayah yang sesuai
Baca tulisan sebelumnya:
Terancam Punah, Haruskah Badak Jawa Bertahan di Ujung Kulon?
Badak Jawa Bisa “Marah” pada Manusia
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan habitat terakhir badak jawa . Satwa bercula satu ini diperkirakan berjumlah sekitar 67 individu [Balai Taman Nasional Ujung Kulon 2017]. Sejarah panjang mewarnai perjalanan satwa langka dilindungi ini hingga akhirnya hanya tersisa di Ujung Kulon, yang jika dilihat awal kehidupannya tersebar dari India bagian timur, Bangladesh, Indochina, hingga Asia Tenggara.
Badak jawa, saat ini memang hanya dapat dijumpai di habitat alaminya yang relatif sempit dengan populasi terbatas, tepatnya di Semenanjung Ujung Kulon. Satwa yang kondisi persebarannya seperti ini disebut relich, lebih rentan punah; dibandingkan satwa yang sifat persebarannya terbatas, endemik. IUCN [International Union for Conservation of Nature] menetapkan badak jawa dengan status Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
Masih dalam ingatan kita, Sabtu, 22 Desember 2018 longsoran erupsi Gunung Anak Kratau menyebabkan terjadinya tsunami yang menghantam pantai Selat Sunda. Gelombang dahsyat ini juga menghantam sebagian kawasan Taman Nasional Ujung Kulon wilayah Pandeglang. Kondisi badak jawa, sejauh ini dilaporkan aman di habitatnya.
Bagaimana gambaran Ujung Kulon sesungguhnya?
Ujung Kulon dalam Bahasa Sunda berarti Ujung Barat, karena letaknya yang di ujung paling barat Pulau Jawa. Dahulu, Ujung Kulon lebih banyak dikenal oleh para peziarah yang datang dari berbagai pelosok Pulau Jawa. Sebab, di tepi barat pantai selatan semenanjung ini terdapat Goa Syanghyangsirah.
Goa staglagnit tersebut dipercaya tempat bersemayamnya Pangeran Kiansantang, putra Pabru Siliwangi. Namun sekarang, Ujung Kulon dikenal oleh para peneliti, sebagai satu-satunya habitat badak jawa di dunia.
Ujung Kulon berbentuk semenanjung, dibatasi Selat Sunda [utara] dan Samudra Indonesia [selatan]. Secara administratif Ujung Kulon masuk wilayah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Penetapannya sebagai taman nasional dilakukan pada 1980. Wilayahnya mencakup Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan dan Cagar Alam Gunung Honje, bersama areal hutan lindung di sebelah utara yang bergandengan dengan Gunung Honje. Luasnya sekitar 57.500 hektar [Blower dan Zon, 1987].
Tahun 1992, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 284/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditunjuk sebagai Taman Nasional dengan luas total 122.956 hektar. Terdiri dari kawasan darat [78.619 hektar] dan perairan [44.337 hektar].
Semenanjung Ujung Kulon terbagi tiga bagian. Pegunungan yang tegak sebelah barat Sungai Cibunar dan Ciujungkulon. Bagian tengah yang cukup luas membentuk bukit dan dataran rendah ke arah timur laut dan selatan. Bagian utara merupakan daerah pasang surut rawa bakau, dari Jamang ke arah timur hingga mendekati tanah genting di Tanjung Telereng.
Gunung di bagian barat merupakan rangkaian pegunungan yang membentuk punggung-punggung bukit sempit dengan tebing tegak lurus ke arah laut. Puncak Gunung Payung [480 m] dan Gunung Guhabendung [500 m] terletak di barat daya, merupakan titik tertinggi semenanjung.
Punggung bukit yang memanjang sepanjang pesisir selatan, terhampar dari Cibunar sampai Cibandawoh, merupakan tanggul pasir terbentuk dari lapisan batu karang dan pasir pantai. Tingginya sekitar 10 meter, tidak terlalu lebar, dan sering terlihat mempunyai lapisan batu karang di dalamnya.
Lebih ke timur antara Cibandawoh dan Tanjung Tereleng terdapat sebuah formasi lokal batuan kapur muda dan batuan karang yang berdiri tegak. Di sini, batuan karang yang menjorok kearah laut terlihat.
Sungai-sungai utama yang terdapat di Ujung Kulon dibedakan dua pola aliran. Sungai yang berasal dari daerah sekitar bukit Gunung Payung dan Gunung Cikuya mempunyai aliran cukup deras. Sedangkan sungai lainnya berasal dari Gunung Talenca. Sungai-sungai tersebut sebagian besar tidak pernah kering sepanjang tahun.
**
Ujung Kulon bersama Gunung Honje dan Pulau Panaitan merupakan bagian sistem pegunungan tertier muda, membentuk dangkalan Sunda sebelum masa tertier. Pada masa pliosin Ujung Kulon dan Gunung Honje terpisah dari Pulau Jawa, dan mungkin menjadi satu dengan Sumatera yang merupakan bagian perpanjangn Pegunungan Bukit Barisan sebelah selatan. Lalu, terpisah selama masa pleistosin ketika kubah Selat Sunda melipat [Blower dan Zon, 1978].
Bagian tengah dan bagian timur Ujung Kulon terdiri dari susunan batu kapur dan lempung yang timbul pada masa miosin. Di bagian utara, tertutup lapisan aluvial dan sepanjang pantai selatan diselimuti batu pasir, makin ke selatan makin tertutup batu pasir [Hoogerwerf, 1970].
Schenkel dan Schenkel [1969] menyatakan, bahwa punggung pasir sepanjang pesisir pantai selatan mulai dari Cibunar ke timur hingga Tanjung Telereng dibentuk oleh lapisan batu karang dan pasir.
Di bagian utara, pasir laut dan koral serta kulit kerang adalah bahan pokok geologis, meski ada juga kantong-kantong batu apung yang meluas, diduga berasal dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Erupsi ini juga juga telah mempengaruhi sebagian besar struktur vegetasi Ujung Kulon yang dilanda gelombang pasang setinggi 20 meter sepanjang pesisir utara.
**
Berdasarkan catatan yang ada sejak terjadinya erupsi Krakatau, daerah Semenanjung Ujung Kulon tidak lagi dihuni penduduk [Hoogerwerf, 1970]. Pada pertengahan abad ke-20 beberapa daerah di bagian utara diketahui telah ada campur tangan manusia, dengan pembuatan lapangan pengembalaan seperti di Nyiur, Jamang, Cikuya, Cidaon dan beberapa tempat lain. Semua ini telah mempengaruhi struktur vegetasi, begitu pula aktivitas yang dilakukan berbagai satwa sewaktu mencari makan [Lusli, 1982].
Pengaruh kerusakan, apakah akibat kegiatan manusia maupun gejala alam, sering mengubah struktur vegetasi. Meski demikian, hutan di Semenanjung Ujung Kulon jelas merupakan hutan hujan dataran rendah yang sesungguhnya. Vegetasi di Gunung Payung, ujung barat semenanjung, merupakan hutan primer yang nampak tidak pernah terganggu.
Hutan hujan dataran rendah Semenanjung Ujung Kulon merupakan habitat alami terakhir badak jawa. Keseluruhan, lima tipe vegetasi yang kompleks, telah menghasilkan ketersedian keragaman jenis pakan yang cukup: hutan sekitar pantai, hutan rawa air tawar, hutan hujan dataran rendah, padang pengembalaan, dan tumbuhan introduksi.
Sehingga, untuk mencari dan menentukan habitat kedua bagi kantong populasi badak jawa, di luar habitat alami terakhirnya di Ujung Kulon, tidak semudah yang dipikirkan para ahli dan pegiat konservasi.
Selain itu, habitat kedua bagi badak jawa, juga perlu dilakukan kajian yang disesuaikan dengan perilaku alaminya. Habitat kedua, harus benar-benar menjamin badak jawa aman dan nyaman, serta menambah keturunan.
Referensi:
Blower, J.H. and Zon, A.P.M. van der. Proposed Ujung Kulon National Park. Management Plan 1977-1981, Nature Conservation and Wildlife Management Project; INS/73/013. Field Report 2, Dirjen Kehutanan, Direktorat PPA. Bogor, 1978.
Hoogerwerf. A. Udjung Kulon the Land of the Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill, Leiden, 1970.
Lusli, S. Habitat badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmartes, 1822) di Ujung Kulon. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, 1982 (Skripsi sarjana muda).
Schenkel, R. and Schenkel, L.H. The javan rhinoceros (Rh. sondaicus Desm.) in Udjung Kulon Nature Reserve. Its ecology and behaviour, Field Study 1967-1968. Acta Trop. 26: 97, 1969.
*Haerudin R. Sadjudin, Peneliti badak senior, lebih 40 tahun terlibat program konservasi badak di Indonesia.