- Komisi Pemberantasan Korupsi menyidik kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan kapal patroli cepat dan kapal SKIP yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2013. Proyek tersebut menjadi yang pertama ditangani oleh KPK, sejak proyek pengadaan kapal digelar pada 2010.
- Masuknya KPK tersebut, bisa menjadi pintu gerbang untuk masuk ke KKP dan mengungkap kasus lain yang ada di dalamnya. Termasuk, proyek pengadaan kapal untuk nelayan yang dilaksanakan sejak 2010 hingga sekarang. Proyek tersebut menjadi sorotan, karena dalam pelaksanaannya muncul berbagai masalah
- Proyek pengadaan kapal menjadi indikator permasalahan, karena BPK RI juga memberikan penilaian Disclaimer untuk laporan keuangan KKP yang dirilis per 31 Desember 2016. Dalam laporan, ada ketidaksesuaian antara data dan fakta di lapangan, termasuk pembayaran pembangunan kapal dan pelaksanaannya di lapangan
- Program pengadaan kapal selalu menjadi masalah, karena KKP tidak melibatkan nelayan dalam melaksanakan mekanismenya. Padahal, nelayan ada pelaku utama yang seharusnya menjadi objek yang aktif dan bukan pasif seperti yang mereka lakukan selama ini
Penyidikan kasus korupsi pengadaan kapal patroli cepat dan kapal untuk sistem kapa inspeksi perikanan Indonesia (SKIPI) yang tengah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini, menjadi gambaran bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih lemah dalam melaksanakan manajemen dan administrasi pengelolaan program.
Penilaian tersebut diungkapkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Menurut Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata, upaya yang sedang dilakukan KPK sekarang, bisa menjadi pintu masuk bagi program lain di KKP untuk diselidiki lebih jauh. Salah satunya, adalah program bantuan kapal yang sejak bergulir dilaksanakan hingga sekarang masih banyak masalah.
“Masih ditemui berbagai permasalahan yang terjadi dari mulai proses yang tidak partisipatif, model kapal yang tidak sesuai dengan diminta penerima, hingga bahan baku pembuatan kapal yang tidak layak sesuai spesifikasi,” ungkapnya.
Marthin mengatakan, sebelum KPK melakukan penyidikan kasus korupsi, kinerja KKP dalam dua tahun terakhir juga terus menunjukkan penurunan. Itu dikuatkan dengan hasil penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang memberikan predikat opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) untuk KKP selama dua tahun dari 2017 dan 2018.
baca : Akankah Pembangunan 994 Kapal untuk Nelayan Berjalan Tepat Waktu?
Setelah Disclaimer diterbitkan, lanjut Marthin, pada 2018 Kejaksaan Agung RI menindaklanjutinya dengan melakukan pengusutan dugaan korupsi dalam pengadaan kapal yang dilaksanakan KKP pada 2016 di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Tetapi, dugaan korupsi tersebut hingga saat ini baru sampai pada tahap penyidikan.
“KNTI mendorong kepada KPK untuk tidak berhenti melakukan penyelidikan yang terbatas pada kasus korupsi kapal tersebut. Tetapi juga dapat mengembangkan pada program pengadaan kapal untuk nelayan yang pernah dicanangkan pada tahun 2016,” ujar dia.
Selain pengadaan kapal pada 2016, Marthin mengatakan, KPK juga harus mengawal pelaksanaan program bank mikro nelayan yang merupakan badan layanan umum (BLU) di bawah KKP dan dikelola oleh lembaga pengelola modal dan usaha kelautan dan perikanan (LPMUKP). Pada program tersebut, LPMUKP mendapatkan kucuran dana sebesar Rp500 miliar pada 2017 dan Rp850 miliar pada 2018.
“KNTI meminta kepada KPK dan masyarakat secara luas untuk mendorong akses yang lebih luas dan turut mengawasi proses pemberian pinjaman bantuan permodalan tersebut,” tegasnya.
Mafia Kapal
Diketahui, Disclaimer muncul setelah KKP mengalokasikan dana hingga Rp4 triliun untuk pengadaan kapal berbagai ukuran pada 2016. Untuk pembuatan 1.365 kapal ukuran 3 gros ton (GT), KKP mengalokasikan anggaran sebesar Rp291,19 miliar. Kemudian, untuk pembuatan 1.020 kapal berukuran 5 GT dan 720 kapal berukuran 10 GT, disediakan anggaran masing-masing sebanyak Rp435,19 miliar.
“Anggaran pembuatan 210 kapal berukuran 20 GT disediakan sebanyak Rp863,04 miliar. Sedangkan anggaran itemized 30 kapal ukuran 30 GT disediakan sebanyak Rp49,38 miliar,” pungkas dia.
baca juga : Kinerja Buruk KKP Tak Hanya dari Kegagalan Program Bantuan Kapal, Tapi ….
Dukungan terhadap KPK juga disuarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Dalam keterangan resminya yang dirilis awal pekan ini, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyatakan bahwa upaya yang dilakukan KPK saat ini merupakan langkah yang bagus untuk membongkar jaringan mafia pengadaan kapal yang selama ini sudah merugikan nelayan di Nusantara.
Susan mengatakan, kasus pengadaan kapal yang ditangani KPK sekarang, menjadi penegas bahwa proyek pengadaan kapal yang dilaksanakan oleh KKP menjadi persoalan serius, terutama sejak proyek pengadaan kapal Inka Mina dilaksanakan sepanjang 2010-2014, atau sebelum Susi Pudjiastuti memimpin KKP. Dalam proyek Inka Mina, KKP memberikan bantuan kapal hingga 1.000 unit dengan berbagai ukuran untuk nelayan di seluruh Indonesia.
“Total dana Rp1,5 triliun dihabiskan untuk Inka Mina,” ungkap dia.
Menurut Susan, meski menggunakan dana yang sangat besar, proyek pengadaan kapal Inka Mina dalam pelaksanaannya dilalui dengan penuh masalah. Tercatat, ada kesalahan peruntukkan, spesifikasi kapal tidak memadai, sampai kesulitan operasional setelah kapal sampai ke tangan penerima bantuan. Berbagai masalah tersebut, menjelaskan bahwa proyek Inka Mina dilaksanakan tanpa melalui berbagai kajian yang tepat.
Walau kasus tersebut belum ada solusi, Susan menyebutkan, KKP pada 2016 atau setelah Susi Pudjiastuti memimpin, justru meluncurkan program serupa tapi diklaim lebih baik karena mempertimbangkan spesifikasi dan kearifan lokal. Tetapi, klaim tersebut kembali tidak terbukti, karena proyek pengadaan kapal pada 2016 juga terbukti menimbulkan banyak masalah, terutama setelah kapal diterima nelayan.
Bukti bahwa program tersebut bermasalah, menurut Susan, adalah terbitnya Disclaimer dari BPK RI atas laporan keuangan tahun buku 2016 KKP. Predikat Disclaimer diberikan kepada KKP, setelah BPK RI menilai realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 yang menjadi batas akhir tahun buku. Dalam laporan tersebut, belanja barang dilaporkan sebesar Rp4,49 triliun.
“Dalam realisasi belanja barang tersebut, sebesar Rp209,22 miliar dihabiskan untuk membayar proyek pembangunan kapal perikanan yang akan diberikan kepada nelayan,” ungkap dia.
baca juga : KKP Tersandung Audit BPK
Indikator Persoalan
Namun demikian, Susan melanjutkan, meski dalam laporan sudah disebutkan bahwa pembayaran dilakukan dengan tuntas, namun pada kenyataannya justru pembangunan fisik kapal diketahui masih terus berjalan dan belum tuntas. Bahkan, dalam berita acara serah terima yang dilakukan pada 31 Desember 2016, BPK RI mencatat kalau pembangunan kapal baru diselesaikan untuk 48 unit saja dari total 756 kapal.
Itu artinya, dari 756 kapal yang dibangun, Susan menyebut, per 31 Desember 2016 KKP baru melakukan serah terima dari galangan kapal kepada koperasi nelayan yang menjadi kelompok nelayan penerima bantuan kapal dengan jumlah maksimal 48 kapal saja. Sementara sisanya, per tanggal tersebut semuanya masih dalam proses pembangunan.
Munculnya permasalahan saat pengadaan bantuan kapal, menurut Susan, karena sedari awal KKP tidak melibatkan nelayan dalam mekanismenya. Yang terjadi, Susi Pudjiastuti beserta para pejabat di KKP pada 2016 hanya menjadikan nelayan sebagai subjek yang pasif dan cenderung tidak memiliki posisi tawar untuk program tersebut.
“Penilaian Disclaimer BPK terhadap buku keuangan KKP pada tahun 2016 yang lalu menjadi indikator kuat adanya persoalan serius dalam proyek pengadaan kapal yang harus segera diusut tuntas oleh KPK,” tutur dia.
Susan menegaskan, keterlibatan KPK dalam kasus pengadaan kapal menjadi angin segar bagi penegakan hukum pada kasus tersebut yang melibatkan KKP. Sebelum itu, sejak 2010 setiap kasus pengadaan kapal nelayan yang ada di KKP selalu tidak tersentuh oleh hukum. Padahal, program tersebut terindikasi ada keterlibatan mafia pengadaan kapal yang mengakibatkan munculnya dugaan korupsi pada proyek tersebut.
“Kita mendesak KPK untuk membongkar mafia dan menangkap mereka karena merugikan Negara sekaligus merugikan nelayan di seluruh Indonesia. KKP itu ibarat rumah nelayan baik laki-laki dan perempuan,” tandas dia.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman pada akhir pekan lalu memberikan keterangan resminya tentang penggeledahan yang dilakukan KPK terkait kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan kapal patroli cepat dan SKIPI. Menurut dia, proyek tersebut berlangsung pada 2013 dan melibatkan empat kapal yang sekarang dipakai untuk kegiatan patroli kapal.
“Keempat kapal tersebut saat ini telah berfungsi dan beroperasi dengan baik untuk melakukan pengawasan illegal fishing di perairan Indonesia, serta telah berkontribusi melakukan penangkapan kapal-kapal perikanan asing Vietnam di perairan Laut Natuna Utara dan kapal berbendera Filipina di perairan Laut Sulawesi,” terang dia.