- Pengulangan kekacauan tata kelola garam nasional kembali terjadi pada 2019 ini. Hasil produksi garam rakyat yang ada di sentra produksi masyarakat, sebagian besar masih belum terserap dan itu membuat garam rakyat menumpuk
- Kondisi itu mengakibatkan harga garam rakyat anjlok ke titik rendah hingga mencapai Rp300 per kilogram. Biasanya, saat panen tiba, sentra produksi akan menikmati momen kejayaan setelah garam yang diproduksi dibeli banyak perusahaan pada industri aneka pangan
- Agar persoalan tata kelola garam yang terus berulang kacau bisa berhenti, Pemerintah Indonesia harus berani untuk menegakkan kembali Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam
- Dengan kembali menerapkan UU No.7/2016, maka Pemerintah harus menghentikan penerapan Peraturan Pemerintah No.9/2018 yang dinilai banyak kalangan sebagai sumber kekacauan tata kelola garam nasional yang tak pernah berakhir
Pemerintah Indonesia harus berani bertindak tegas untuk menghentikan kekacauan tata kelola garam yang setiap tahun hampir selalu terjadi. Persoalan tersebut bisa dipecahkan, asalkan Pemerintah berani menerapkan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, keberadaan UU tersebut sama sekali tidak berguna, karena Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No.9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
“Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional, setelah sebelumnya juga Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No.15/2015,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, akhir pekan lalu.
baca : Kenapa Pemerintah Tak Juga Perbaiki Tata Kelola Garam Nasional?
Susan menjelaskan, setelah Pemerintah menerbitkan PP 9/2018, secara perlahan tata kelola garam nasional semakin mengalami kekacauan, bahkan kehancuran. Dalam PP tersebut, terdapat dua persoalan mendasar, yaitu pada pasal 5 ayat 3 tentang volume dan waktu impor. Kedua, dalam pasal 6 tentang persetujuan komoditas impor.
Untuk pasal 5 ayat 3, Susan menyebutkan, dituliskan bahwa volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian. Sementara, dalam pasar 6, tertulis bahwa persetujuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk Bahan Baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Menurut Susan, kedua pasal tersebut merupakan bentuk nyata gerakan liberalisasi garam nasional dengan mengatasnamakan industri. Gerakan dan prinsip yang terdapat dalam PP No.9/2018 tersebut, sudah jelas bertentangan dengan UU No.7/2016 yang menjadi peraturan untuk melindungi industri garam rakyat nasional.
baca juga : Kenapa Harus Impor Garam Lagi?
Amanat UU
Dalam UU tersebut, kata Susan, dijelaskan bahwa pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan. Dengan demikian, jika impor garam akan dilaksanakan, maka tidak boleh dilakukan dalam waktu berdekatan dengan musim panen garam rakyat.
“Karena itu akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” tegasnya.
Selain pengaturan waktu, Susan menambahkan, di dalam UU No.7/2016 juga ada mandat yang menegaskan bahwa pelaksanaan impor garam harus mendapatkan rekomendasi dari menteri terkait, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua hal tersebut, sudah menjadi bentuk pelanggaran yang dilakukan PP No.9/2018 terhadap UU No.7/2016.
perlu dibaca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?
Lebih lanjut, Susan menerangkan, di dalam UU No.7/2016 sudah diatur dengan jelas tata kelola garam secara lengkap dan menyeluruh, yang mencakup dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. Tetapi, segala kelengkapan tersebut, nyatanya tidak dijadikan peraturan pedoman bagi Pemerintah dan sebaliknya justru membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat.
Susan memaparkan, di dalam Pasal 12 UU No.7/2016, Pemerintah dimandatkan untuk melindungi dan memberdayakan petambak garam dengan cara sebagai berikut:
- penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman;
- kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman;
- jaminan kepastian usaha;
- jaminan risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pergaraman;
- penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi;
- pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman;
- jaminan keamanan dan keselamatan;
- fasilitasi dan bantuan hukum;
- pendidikan dan pelatihan;
- penyuluhan dan pendampingan;
- kemitraan usaha;
- kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta
- penguatan kelembagaan.
“Pada masa yang akan datang, Indonesia harus berdaulat dalam urusan garam. Artinya pemerintah harus kembali kepada UU No.7 Tahun 2016 sebagai aturan main dalam menata pergaraman nasional,” pungkas Susan.
Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam (PPGI) Waji Fatah Fadhilah dalam keterangan resmi yang dikirim KIARA, menyebutkan bahwa saat ini hasil produksi garam rakyat di sentra garam yang ada di Provinsi Jawa Barat, masih belum terserap sama sekali. Padahal, masa panen raya sudah semakin dekat waktunya dan itu menandakan bahwa garam harus didistribusikan sebanyak mungkin.
Biasanya, menurut Waji, sejak Mei sudah banyak pelaku usaha pada industri aneka pangan yang mendatangi sentra-sentra untuk persiapan panen raya. Setelah itu, pada Juni-Juli, permintaan akan semakin meningkat dan itu didominasi oleh pelaku usaha pada industri tersebut. Akan tetapi, permintaan tersebut hingga Juli tidak ada sama sekali.
baca juga : Seperti Apa Dugaan Keterlibatan Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?
Minim Penyerapan
Waji mengatakan, akibat tidak adanya penyerapan garam rakyat, harga garam rakyat di sentra masyarakat anjlok hingga mencapai kisaran Rp300 per kilogram. Situasi tersebut, hampir merata dijumpai di semua sentra produksi garam rakyat yang ada di Jawa Barat, terutama di wilayah Cirebon Raya.
“Kondisi ini menggambarkan betapa tata kelola garam di Indonesia tak mengalami perbaikan. Setiap tahun, kami harus berhadapan dengan permasalahan harga, iklim, dan impor. Seakan-akan garam rakyat dibiarkan mati di tempat,” ucapnya.
Menurut Waji, masyarakat patut mempersoalkan hal ini karena permasalah ini tak pernah bisa diselesaikan oleh Pemerintah dari waktu ke waktu. Apalagi, untuk 2019 ini Pemerintah Indonesia telah menetapkan kuota impor garam sebanyak 2,7 juta ton. Itu berarti, akan banyak garam dari luar Indonesia masuk ke seluruh Nusantara.
Sebelum mengemuka ke publik, persoalan garam seperti terus berulang dari waktu ke waktu. Pada 2015, KKP bersama Kementerian Koordinator Kemaritiman, dan Kementerian Perdagangan mengungkapkan ke publik bahwa kekacauan tata kelola garam nasional diduga kuat karena pasar garam nasional sudah dikuasai oleh tujuh importir lokal.
Namun, waktu berlalu dan tak satu pun dari kementerian tersebut berani mengungkap siapa saja importir yang dimaksud. Sampai kemudian, imbas dari kekacauan tata kelola garam nasional pada 2015, distribusi garam rakyat juga mengalami masalah pada 2016 dan membuat kuota impor kembali dibuka oleh Negara.
Situasi tersebut, kemudian berulang pada 2017 dan 2018. Termasuk, saat Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono ditangkap oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri atas kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton. Kasus yang mengemuka pada Juni 2017 itu, mendapat sorotan sangat tajam dari publik nasional.
Setelah ditangkap, Boediono kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri karena dia melaksanakan impor melalui penugasan dari Menteri BUMN yang perintahnya adalah agar melaksanakan impor garam konsumsi untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional.
baca : Foto: Asa Petani Garam Tradisional Ditengah Hantaman Garam Impor
Pada akhir pekan lalu, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi memberikan keterangan resmi tentang dugaan kekacauan tata kelola garam nasional yang sekarang terjadi. Menurut dia, kekacauan bisa dicegah jika industri bisa menepati janjinya untuk menyerap garam rakyat yang ada di petambak.
“Dan Kementerian Perindustrian bisa memfasilitasi industri untuk membuat komitmen penyerapan baru yang lebih besar dari tahun lalu,” jelasnya.
Brahmantya menuturkan, sesuai dengan hasil rapat koordinasi yang dilaksanakan pada 2018, industri aneka pangan nasional sudah berjanji akan menyerap produksi garam rakyat sampai 1,2 juta ton untuk periode Juli 2018 hingga Juni 2019. Janji tersebut, akan terus ditunggu oleh sentra produksi garam rakyat yang ada di masyarakat.
Berdasarkan data KKP, per 4 Juli 2019, stok garam produksi 2018 mencapai 435.068,86 ton, dengan cinrian sebesar 237.068,86 ton garam rakyat dan sebesar 198.000 ton produksi PT Garam. Sementara produksi garam di 2019 hingga 4 Juli sebesar 13.664,21 ton yang terdiri dari 3.164,21 ton garam rakyat dan sebanyak 10.500 ton produksi PT Garam.