- Terbitnya Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, menandakan komitmen Indonesia terhadap upaya menurunkan emisi karbon pada 2030 hingga 29 persen dipertanyakan.
- Semangat Permen tersebut dinilai melancarkan aktivitas batubara di Indonesia, sehingga akan banyak terjadi pelepasan karbon.
- Permen tersebut bertentangan dengan UU Minerba No 4/2009. Permen menyatakan ada kewenangan khusus Menteri ESDM untuk memperpanjang otomatis KK [Kontrak Karya], dan PKP2B [Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara] menjadi IUPK [Izin Usaha Pertambangan Khusus]. Padahal UU Minerba menyatakan jelas, perusahaan tidak mendapat perpanjangan otomatis.
- Terkait Permen ESDM No 7 Tahun 2020, mengenai hak khusus ke Menteri ESDM, pihak ESDM menilai bukan hal baru. Sebab hal ini sudah diatur sebelumnya dalam Permen ESDM No 50/2018 [Pasal 43A] dan Permen ESDM No 51/2018 [Pasal 110A].
Terbitnya Permen ESDM Nomor 7/2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, menandakan komitmen Indonesia terhadap upaya menurunkan emisi karbon pada 2030 hingga 29 persen dipertanyakan. Mengapa?
“Ya, Permen tersebut justru semangatnya mempermudah eksplorasi batubara di Indonesia. Dapat dibayangkan ke depan, aktivitas penambangan batubara kian marak. Dampaknya jelas, melepaskan banyak karbon,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [05/4/2020].
Dijelaskan Sobri, Indonesia telah menyusun Nationally Determined Contribution [NDC] yang ditandatangani di Paris pada 2015 lalu. Isinya, menyatakan Indonesia mampu menurunkan emisi karbon pada 2030 sebesar 29 persen apabila berbinis secara biasa.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia dapat menurunkan emisi karbon sebesar 41 persen, apabila mendapat dukungan dan bekerja sama secara internasional, seperti dikutip dari kemenkeu.go.id.
Baca: Keseriusan Pemerintah Turunkan Emisi Sektor Energi Dipertanyakan
“Batubara itu energi kotor dari hulu ke hilir. Di darat maupun air. Baik dari menggali, mengangkut, hingga menghasilkan listrik. Sangat besar dampak negatifnya pada lingkungan,” katanya.
“Jadi, sebaiknya Permen [Peraturan Menteri] tersebut dibatalkan, dan sudah seharusnya pemerintah Indonesia fokus mengembangkan energi bersih. Bukan energi kotor,” lanjutnya.
Sebagai informasi, Sumatera Selatan merupakan provinsi di Indonesia yang menjadi lokasi eksplorasi batubara. Tercatat, saat ini ada 121 IUP [Izin Usaha Pertambangan. Berbagai dampaknya sudah dirasakan di Sumatera Selatan. Mulai banyak lahan atau hutan menjadi terbuka, banyak lubang penggalian yang tidak direhabilitasi, sehingga menimbulkan permasalahan iklim dan perairan. Perkebunan dan pertanian rakyat yang berada di sekitar penambangan pun merasakan dampaknya.
Aktivitas tersebut, juga sempat menjadi biang kemacetan transportasi darat, selain menimbulkan polusi. Dampaknya di air, seperti Sungai Musi, juga sangat dirasakan. Selain menimbulkan polusi, berbagai kecelakaan, seperti menabrak tiang jembatan, berulang kali terjadi di Sungai Musi.
Baca: Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?
Bertentangan dengan UU Minerba No 4 Tahun 2009
“Permen ini kemarin sudah kami diskusikan. Poinnya, permen tersebut bertentangan dengan UU Minerba No 4 tahun 2009. Permen menyatakan ada kewenangan khusus Menteri ESDM untuk memperpanjang KK [Kontrak Karya], dan PKP2B [Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara] otomatis perpanjang menjadi IUPK [Izin Usaha Pertambangan Khusus],” terang Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara], lembaga non-pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [05/4/2020].
Padahal UU Minerba jelas menyatakan, perusahaan tidak mendapat perpanjangan otomatis. Perusahaan harus menempuh prosedur-prosedur untuk mendapatkan IUP dari awal. Jadi, permen ini ruh-nya tidak menempatkan minerba untuk mensejahterakan rakyat, tapi melanggengkan hegemoni monopoli perusahaan besar untuk mengelola minerba.
“Harusnya, pemerintah setelah habis KK dan PKP2B, melakukan review terhadap konsesi yang telah diberikan. Bukan otomatis jadi IUPK. Bagi Sumsel, KK dan PKP2B di Sumatera Selatan akan lanjut dengan IUPK,” lanjutnya.
Dampak luasnya bagi Indonesia, kata Rabin, mengulang seperti kasus Freeport. “Ketika dapat KK sejak 1968, bisa dikaji, apa dampak terhadap ekonomi, lingkungan dan terutama sosial. Ketika otomatis diperpanjang dengan rezim IUP, maka pemerintah seakan tutup mata terhadap dampak-dampaknya,” katanya.
Sebagai informasi, luasan pertambangan batubara di Sumatera Selatan mencapai jutaan hektar. Pada 2009 dikeluarkan izin seluas 1,2 juta hektar, pada 2010 [928.700 hektar], tahun 2011 [483.881 hektar], serta 2012-2013 [205.000 hektar].
Baca juga: Aturan Terbaru Baku Mutu Emisi Pembangkit Termal Masih Lemah?
Bukan pengaturan baru
Terkait berbagai protes dan kritik terhadap Permen ESDM No 7 Tahun 2020, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi, dalam keterangan resminya di situs Kementerian ESDM, pada 1 April 2020, menyatakan aturan ini bukan merupakan pengaturan baru. Sebelumnya, telah diatur dalam Permen ESDM No 50 Tahun 2018 [Pasal 43A] dan Permen ESDM No 51 Tahun 2018 [Pasal 110A].
“Intinya memberikan simplifikasi birokrasi dan perizinan, serta memberikan kepastian hukum atas prosedur pengajuan perpanjangan KK/PKP2B menjadi IUPK,” jelasnya.
Sementara, frase “Ketentuan lain” yang dimuat dalam Pasal 111, tidak dimaksudkan untuk memberikan hak-hak khusus yang menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, sebagai instrumen pengendali agar pelaku usaha pertambangan dapat melaksanakan kewajibannya secara proporsional guna mengoptimalkan potensi sumber daya mineral dan batubara, peningkatan penerimaan negara, dan pemenuhan kewajiban lingkungan hidup.
Ketentuan Pasal 111, menurut Agung, diperlukan untuk mengatasi permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat perubahan dari rezim kontrak menjadi izin. Pasal 111 Permen, bukan merupakan dasar hukum pemberian perpanjangan PKP2B dalam bentuk IUPK, melainkan ketentuan bersifat teknis dalam kaitannya dengan penetapan SK IUPK.
“Pemberian perpanjangan menjadi IUPK, Pemerintah mendasarkan diri pada peraturan perundangan yang berlaku, pemenuhan syarat-syarat, serta hasil evaluasi terhadap kinerja perusahaan [tidak bersifat otomatis],” tegasnya.
Kementerian ESDM tidak akan menerbitkan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK OP dengan hanya mendasarkan Pasal 111 Permen ESDM No 7 Tahun 2020. Pemerintah juga mengikuti ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2009, PP 23 Tahun 2010 beserta perubahannya.
“Berkaitan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, saat ini tengah disiapkan sejumlah peraturan perundang-undangan dalam bentuk RUU dan RPP, yaitu RPP Perubahan Keenam PP 23/2010, RUU Minerba, dan RUU Cipta Kerja,” ungkap Agung.
Permen ESDM No 7 Tahun 2020 juga mengatur tentang pengajuan perubahan RKAB Tahunan, pengaturan sistem pelaporan online pengangkutan dan penjualan minerba, serta penghapusan perizinan dalam bentuk persetujuan perubahan direksi/komisaris. Aturan ini juga menegaskan tentang perubahan jangka waktu pengajuan permohonan peningkatan tahap IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi, serta mekanisme pengalihan IUP PMDN menjadi IUP PMA.