- Luasan terumbu karang yang ada di seluruh wilayah perairan Indonesia mencapai 25 ribu kilometer persegi. Luasan tersebut menyebar di 34 provinsi dan sebagian di antaranya ada yang masuk dalam wilayah pengelolaan kawasan konservasi laut
- Keberadaan terumbu karang berperan penting untuk menjaga ekosistem laut, terutama ikan yang habitatnya ada di terumbu karang. Agar bisa terjaga, maka segala aktivitas yang bisa memicu kerusakan harus dilarang, terutama penangkapan ikan dengan cara merusak
- Menjaga kelestarian terumbu karang, memerlukan sistem terpadu yang berjenjang dari tingkat desa, kabupaten/kota dan hingga pusat. Sistem tersebut akan menjamin proses pengawasan, pelaporan, dan penindakan kepada para pelaku destructive fishing
- Di sisi lain, peran daerah yang sudah diambil alih oleh provinsi sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mengakibatkan pengelolaan kawasan konservasi laut juga tidak berjalan. Pemerintah Pusat harus bisa mengambil alih tugas tersebut untuk menjaga kelestarian laut
Penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) menjadi kegiatan yang ditakuti oleh banyak kalangan, utamanya yang berkomitmen ingin menjaga kelestarian alam di laut. Praktik yang dilarang oleh seluruh negara di dunia tersebut, pada kenyataannya memang bisa merusak ekosistem yang ada laut, termasuk ekosistem terumbu karang.
Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, praktik destructive fishing sampai saat ini memang tidak bisa dihentikan oleh siapa pun, termasuk oleh Pemerintah Indonesia. Tetapi, praktik tersebut bisa dihentikan jika masyarakat ikut berperan dan saling memberikan edukasi tentang bahaya aktivitas tersebut.
“Kondisi terumbu karang Indonesia terus mengalami tekanan akibat kegiatan destructive fishing, dan juga perubahan iklim,” ungkapnya dua pekan lalu di Jakarta.
Abdi Suhufan mengatakan, dari hasil pemantauan yang dilakukan DFW Indonesia, terdapat beberapa lokasi di Indonesia yang diketahui masih melaksanakan aktivitas destructive fishing. Sejumlah tempat itu, di antaranya adalah perairan Laut Sawu (Nusa Tenggara Timur), Taman Nasional Takabonerate dan perairan Sulawesi Tenggara (Sulawesi Tenggara), perairan Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan), dan perairan Maluku.
“Pada perairan Buton Utara di Sulawesi Tenggara, dalam 3 bulan ini terjadi 10 kali kejadian pengeboman ikan yang dilaporkan oleh masyarakat,” katanya.
baca : Destructive Fishing Masih Marak Terjadi di NTT, Kenapa?
Penyebab masih sulitnya aktivitas destructive fishing dihentikan di berbagai perairan, karena menurut Abdi sampai saat ini masih belum ada sistem terpadu yang berjenjang dari mulai tingkat desa sampai ke pusat. Sistem berjenjang tersebut menjadi bagian dari pelaporan dan penindakan terhadap pelaku aktivitas yang dilarang itu.
Padahal, jika saja sistem terpadu dibangun, maka desa akan bisa mengambil peran untuk pengawasan, pelaporan, dan penindakan setiap kegiatan destructive fishing yang ada di perairan sekitarnya. Peran tersebut bisa diambil, karena ada amanat Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No.11/2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
“Dalam Permen tersebut diperbolehkan desa untuk menggunakan dana alokasi untuk kegiatan pelestarian lingkungan hidup,” tuturnya.
Dalam Pasal 8 Huruf Permendesa tersebut, Pemerintah Desa bisa melakukan kegiatan pengadaan, pembangunan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan alam, termasuk pengawasan sumber daya terumbu karang yang ada di desa.
baca juga : Ikan Hasil Destructive Fishing Tak Akan Pernah Lolos Sertifikasi
Sistem Terpadu
Menurut Abdi Suhufan, sistem terpadu harus dibangun di Indonesia untuk mengawasi aktivitas dectructive fishing, karena ada ekosistem terumbu karang yang harus mendapat perlindungan penuh. Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia sudah membangun kawasan konservasi laut di seluruh Indonesia hingga seluas 22,68 juta hektare.
Dengan luas tersebut, ada banyak ekosistem di laut yang akan mendapat perlindungan penuh. Meskipun pada kenyataannya, walau sudah masuk dalam kawasan konservasi laut, ekosistem terumbu karang diketahui tetap masih banyak yang mengalami kerusakan. Penyebab utamanya, karena masih saja ada aktivitas destructive fishing yang berhasil lolos.
Adapun, luasan kawasan konservasi laut yang disebut di atas, untuk sekarang dikelola oleh tiga institusi berbeda, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan luas 5,34 juta ha, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 4,69 juta ha, dan Pemerintah Daerah dengan luas 10,82 juta ha.
Abdi Suhufan menerangkan, berdasarakan data yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terumbu karang yang kondisinya jelak saat ini luasnya mencapai prosentasi 36,18 persen, kondisi sangat baik mencapai prosentase luas 6,56 persen. Sementara sisanya, diketahui adalah luasan terumbu karang dengan kondisi baik.
“Kondisi terumbu karang Indonesia mengkhawatirkan, hal ini disebabkan karena kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih marak terjadi,” tegasnya.
perlu dibaca : Tata Kelola Terumbu Karang Berkelanjutan Resmi Diadopsi PBB
Peneliti DFW Indonesia Laode Gunawan Giu mengungkapkan, masih maraknya aktivitas destructive fishing sampai sekarang, itu terjadi karena pengelolaan kawasan konservasi laut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah masih sangat lemah. Padahal, pengelolaan menjadi kunci untuk menjaga dan melindungi wilayah perairan dari berbagai potensi perusakan dan kerusakan.
Dibandingkan dengan kawasan konservasi laut yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, dia menyebut kalau pengelolan seluas 10,82 juta ha kawasan konservasi laut oleh Pemerintah Daerah dinilai masih sangat memprihatinkan. Dari luasan tersebut, banyak yang tidak terurus karena tidak mendapatkan alokasi anggaran pengelolaan dari Pemerintah Provinsi.
Menurut Gunawan, sejak Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan, sejak saat itu kewenangan pengelolaan laut ditarik ke provinsi. Regulasi itu membuat nasib kawasan konservasi laut daerah yang awalnya diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten, menjadi tak kunjung dapat perhatian.
“Pemerintah Pusat tidak meninggalkan dan perlu secara signifikan mengambil peran dalam pengelolaan kawasan konservasi laut. Ada mandat SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) dan Pemerintah Provinsi terlibat dan berkontribusi mewujudkan tujuan berkelanjutan ke-14 yaitu menjaga ekosistem laut,” pungkasnya.
baca juga : UNEP Report: Potensi Investasi Miliaran USD di Segitiga Terumbu Karang Indonesia
Segitiga Karang
Sebelumnya, Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) Sri Yanti JS menjelaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara beruntung di dunia, karena memiliki potensi perairan laut yang luas dan kaya.
Kekayaan laut itu, mengelilingi gugusan 17.508 pulau dengan garis pantai membentang sepanjang 81.000 kilometer. Di antara gugusan pulau itu, ada 3,1 juta km persegi luas laut yang mencakup 0,8 juta km2 perairan teritorial, dan 2,3 juta km2 perairan Nusantara.
Wilayah laut yang luas tersebut, diketahui menjadi kawasan yang paling disukai oleh banyak biota laut dan makhluk hidup lainnya. Itu kenapa, wilayah laut Nusantara menjadi kawasan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia.
Menurut Sri Yanti, wilayah laut Indonesia menjadi ekosistem pesisir yang menyimpan potensi beragam yang sangat besar seperti hutan bakau (mangrove) dengan luas mencapai 3,3 juta hektare. Luasan tersebut, adalah mencakup 23 persen dari total luasan ekosistem mangrove dunia dan menjadi ekosistem terluas di dunia.
Tak hanya mangrove, Sri Yanti mengatakan bahwa ekosistem pesisir dan laut Indonesia juga menyimpan potensi lamun hingga mencapai luas 29.464 ha, dan terumbu karang dengan luasan mencapai 25 ribu km persegi.
Luasan tersebut menasbihkan Indonesia sebagai pemilik terumbu karang terbesar di Asia Tenggara dan sekaligus menjadikannya sebagai jantung segitiga karang dunia. Adapun, wilayah segitiga karang dunia tak hanya meliputi perairan di Indonesia saja, namun juga di Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.
“Ketiga ekosistem tersebut memiliki peran penting secara ekologi, sosial budaya, dan berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Oleh itu, ketiga ekosistem tersebut, yakni mangrove, lamun, dan terumbu karang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lain,” papar dia.
Dengan segala potensi tersebut, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk ikut menjaga keberlanjutan laut dunia melalui kerja sama regional yang melibatkan banyak negara di dunia. Komitmen itu, dengan ikut berperan dalam menjaga wilayah segitiga karang dunia yang ada di wilayah perairan enam negara di Asia Pasifik yang disebut di atas.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Agus Dermawan mengatakan, kerja sama yang dijalin dengan enam negara segitiga karang dunia, mencakup juga upaya pengelolaan sumber daya. Termasuk, dalam upaya menjaga laut berkelanjutan, perlindungan terumbu karang, dan sekaligus mewujudkan ketahanan pangan di masing-masing negara.