- Warga dari berbagai daerah yang hidup sekitar tambang memberikan kesaksikan. Mereka menceritakan, kesusahan hidup kala tambang masuk ke daerah mereka. Bukan hanya persoalan lingkungan, ekonomi pun terdampak. Warga dari berbagai daerah ini makin khawatir kala UU Minerba yang baru hadir.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sejak awal revisi UU ini selalu menyerukan, hampir keseluruhan UU ini tak mewakili warga terdampak. Sebaliknya, mewakili kepentingan elit oligarki.
- Herlambang P Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, dalam konteks penegakan hukum, revisi ini justru memperlihatkan negara mereduksi kesejahteraan rakyat. Bukan malah meningkatkan kesejahteraan petani, namun cenderung menyingkirkan petani, nelayan dan masyarakat adat.
- Sebelumnya, Arifin Tasrif, Menteri ESDM mengatakan, RUU Minerba memuat beberapa poin penting, seperti penguatan BUMN. Dia bilang, wilayah pertambangan bekas IUP dan IUPK dapat ditetapkan sebagai WIUPK dengan penawaran prioritas kepada BUMN.
Try Adhi Bangsawan, warga Bayah, Lebak, Banten, masih ingat bagaimana tambang karst masuk ke kampungnya. Kala itu, tahun 2012. Adhi masih ingat orang-orang datang mengukur tanah.
“Pada 2013, masih ada nelayan memancing,” katanya dalam Sidang Rakyat bagian Jawa, akhir Mei lalu.
Selang dua tahun sejak pengukuran tanah, Adhi melihat perubahan ekologi drastis di Bayah. Ikan impun makin sulit didapat.
Sejak 2017, beberapa kepala desa menolak tambang. Pemerintah dan penambang bergeming. Pada 2018-2019, warga mulai merasakan debu tambang.
Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan
Hal sama dialami Iqbal Assegaf, warga Cihara, Lebak. “Waktu saya SD ikan impun banyak sekali. Bisa dapat berkarung-karung. Sekarang sudah tidak ada. Satu gelaspun susah,” katanya.
Di Cihara, warga berhadapan dengan tambang emas dan pencemaran merkuri untuk mendulang emas.
Menurut Iqbal pencemaran merkuri tambang emas sudah terjadi di Sungai Cikotok, Cihara, setidaknya sejak 1988.
Sidang Rakyat adalah sidang tandingan yang dihimpun sejumlah lembaga peduli lingkungan. Ia membawa kesaksian ratusan warga dari berbagai daerah di Indonesia, yang merasakan dampak langsung pertambangan. Bersama warga Banten ini, ada juga dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sidang ini reaksi pengesahan UU Mineral dan Batubara di tengah pandemi Corona, pertengahan Mei lalu.
Hadirnya UU Minerba, kata Adhy, mencederai semangat reformasi, antara lain, desentralisasi. Dengan UU baru ini, semua kewenangan ditarik ke pemerintah pusat.
“Otonomi daerah, ada kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam karena daerah lebih tahu dari pemerintah pusat. UU ini sangat mencederai desentralisasi,” katanya.
Dari kesaksian itu banyak aktivitas pertambangan di Pulau Jawa, terutama tambang karst untuk bahan baku pembuatan semen, emas, pasir dan mineral lain. Untuk batubara, Jawa jadi daerah hilir penampung batubara dari Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Masyarakat Jawa, terutama di pesisir pantai juga merasakan dampak kehadiran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Tambang-tambang tersebar mulai dari Lebak (Banten), Bogor, Sukabumi, Trenggalek (Jawa Barat) Rembang, Pati, Purworejo (Jawa Tengah) hingga Urut Sewu, Tumpang Pitu (Jawa Timur).
Tambang-tambang karst terutama karena berada di daerah pegunungan, merusak sumber mata air warga untuk kehidupan sehari-hari, mengairi sawah, bercocok tanam dan beternak.
Baca juga: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan
Antara lain, aktivitas blasting perusahaan tambang karst di Sukabumi menyebabkan warga pingsan, trauma dan membuat rumah warga retak.
“Dentuman blasting dan mesin yang super bising terasa karena jarak area tambang dengan pemukiman kurang lebih 300 meter,” kata Uus Kusnadi dari Forum Warga Terdampak Bangkit (FWTB) Sukabumi.
Warga meyakini banjir beberapa kali dalam lima tahun terakhir, gagal panen dan gagal tanam karena sawah tertimbun material batuan juga tak bisa dilepaskan dari aktivitas tambang. Saat banjir, beberapa rumah warga dan satu mushola terendam.
“Karena hujan tanpa ada lagi penyerapan air di Gunung Guha yang sudah diekploitasi tambang,” katanya.
Pengalaman kehilangan sumber mata air, gagal panen dan ancaman banjir membuat warga terdampak tambang untuk protes. Hampir di setiap wilayah terdampak, masyarakat berusaha menolak dengan protes mulai dari kepala desa, DPRD, pemda, Ombudsman, hingga ke pemerintah pusat.
Hal paling mendasar jadi aduan warga, selain dampak sosial dan ekologi adalah tak ada kesejahteraan dari kehadiran industri di desa mereka. Warga yang jadi saksi dalam sidang ini sepakat, masyarakat sekitar tambang lebih sejahtera hidup dari hasil pertanian, peternakan dan berkebun maupun perikanan, sebelum tambang hadir.
“Dulu, kami berpenghasilan dari sawah yang diairi ini, bisa dua tiga kali panen setahun. Sekarang, satu kalipun air sudah berkurang,” kata Uus.
Uus tak bisa membayangkan, kalau UU Minerba baru berlaku, ruang hidup rakyat akan makin sulit. Pasalnya, UU baru memberikan banyak kemudahan bagi investor tambang untuk mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP). Tanpa kemudahan ini saja, katanya, berbagai upaya mendapat IUP tanpa peduli merampas tanah rakyat.
Upaya-upaya warga menolak tambang, katanya, kerap diiringi intimidasi hingga kriminalisasi.
Warga Antajaya Bogor, menggugat tambang batu andesit di Gunung Kandaga, Bogor sejak 2016. Saat kasasi 2017, warga dinyatakan menang. “Selang beberapa lama, justru muncul izin baru atas nama perusahaan sama. Masyarakat bingung juga, izin dibatalkan lewat pengadilan, kok bisa ada perpanjangan,” kata M. Ridwan, dari Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) Antajaya, Bogor.
Terkait izin baru ini, FMPL menyurati Bupati Bogor, mendatangi dinas terkait, dan Ombudsman.
UU Minerba baru ini, katanya, sangat mengkhawatirkan karena banyak bermunculan tambang baru di sekitar Antajaya. Masyarakat, katanya, makin sering menemukan lumpur di lokasi garapan petani.
UU Minerba memberi ruang BAGI tambang batuan tertentu. FMPL khawatir, akan membuka ruang rente baru untuk pemerintah.
“Forum percaya, UU Minerba akan menambah kerusakan lingkungan, perampasan tanah dan ruang hidup rakyat. Kami menuntut batalkan UU Minerba, tangkap dan adili penjahat lingkungan kelas kakap,” katanya.
Di Pati dan Rembang, Jawa Tengah, warga pun alami kesulitan karena tambang. Ancaman dan intimidasi seringkali masyarakat penolak tambang alami. Kelompok Gunretno, Sukinah dari Sedulur Kendeng dan lain-lain yang menolak tambang karst di CAT Watu Putih dengan aksi damai.
Baru-baru ini, saat mengingatkan perusahaan akan aktivitas tambang yang lanjut di masa pandemi, Sukinah dan kawan-kawan hendak ditabrak mobil.
“Dari awal kami menolak, tak hanya tambang di Kendeng tapi di seluruh Jawa,” kata Gunretno.
Masyarakat penolak tambang, sulit bergerak karena aktivitas tambang kerap dilindungi aparat kepolisian maupun TNI.
Sampai saat ini klaim tanah masih jadi masalah di Tumpang Pitu. Kehadiran TNI, bagi Sunu, bukan menyelesaikan masalah tetapi meresahkan karena seakan pembiaran.
Padahal, tanpa tambang, masyarakat bisa hidup layak dari hasil pertanian tanpa bantuan apapun dari pemerintah.
“Petani bisa sejahtera dengan usaha sendiri. Nggak pernah ada penyuluhan pertanian. Kalaupun ada bantuan pemerintah seringkali bukan menyelesaikan masalah warga justru membuat masalah baru karena bantuan datang tidak dengan jenis dan mekanisme tepat,” katanya.
Serupa juga terungkap dari warga Desa Bukit Gunung Bendera di Desa Cikuya, Brebes, Jawa Tengah. Tambang galian C di desa ini ditolak warga sejak 2018. Saat itu, perusahaan mendatangkan alat berat untuk mengeruk tanah, membuat akses jalan dan jembatan.
Aksi penolakan dengan mendatangkan media lokal, memasang spanduk, dan mengumpulkan tandatangan penolakan.
Dengan dampingan lembaga swadaya masyarakat Gebrak, warga menemukan bahwa perusahaan belum punya izin eksploitasi. Singkat cerita, Dinas Lingkungan Hidup menutup sementara eksploitasi.
Alih-alih mendapat ketenangan, 10 warga dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan karena laporan perusahaan soal warga menghalangi proses perizinan.
LBH Semarang mendampingi, kepolisian setop kasus. Pemkab Brebes mengeluarkan surat pernyataan bahwa pemkab tak akan mengeluarkan rekomendasi pertambangan selama warga menolak.
Dengan pengesahan UU Minerba, warga khawatir, UU pro investasi ini akan memuluskan jalan izin eksploitasi di Desa Cikuya dan kriminalisasi warga penolak tambang makin banyak.
Kasus kematian Salim Kancil, seorang warga yang dikeroyok hingga tewas karena menolak tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, juga jadi potret kehororan tambang.
Kasus ini jadi gambaran bagaimana suara masyarakat dibungkam. Ike Nurilla, putri Salim Kancil mengatakan, dari semula ribuan orang menolak tambang pasir di Lumajang, saat terakhir hanya tujuh orang berjuang bersama ayahnya.
Dari 60 orang jadi tersangka pengeroyokan Salim, hanya 37 orang ditangkap dan dua orang vonis 20 tahun. Sisanya, banyak keluar penjara.
“Saya belum ikhlas,” kata Ike.
Saat para pengeroyok berjalan keluar penjara, Ike berjuang memulihkan dampak tambang. Dampak kerusakan mulai terasa, abrasi makin sering memasuki rumah penduduk karena pasir sebagai benteng habis.
“Kita menanam lagi di sekeliling pantai sejak 2016. Tidak mudah. Pemulihan akibat tambang itu tidak gampang,” katanya.
Tak hanya pemulihan di sekitar tambang, Pulau Jawa, sebagai hilir tambang batubara, juga menyisakan cerita warga yang terdampak PLTU batubara. Dampak abrasi, pencemaran laut dan udara, perubahan iklim mengorbankan banyak nelayan dan petani yang tinggal di sekitar PLTU seperti di Banten, Batang, Cilacap, dan Indramayu.
Masyarakat sekitar PLTU harus berhadapan dengan penyakit infeksi pernapasan dan debu pembakaran batubara.
Nelayan harus berhadapan dengan tumpahan batubara dan kapal tongkang yang sering menjerat alat tangkap.
“Batubara adalah hilir dari tambang batubara. Tercatat Jawa sudah surplus listrik hingga 40%. Kenapa masih dipaksakan dibangun PLTU batubara?” kata Fahmi dari Walhi Jawa Tengah.
UU Minerba, katanya, hanya mengakomodir pengusaha tambang dan oligarki.
“Masyarakat sudah sangat nelangsa dengan adanya tambang dan PLTU masih dibangun. Ada pemiskinan terstruktur di sini,” katanya.
Catatan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, IUP makin meningkat setiap tahun. Dari 153 IUP pada 2016, 167 pada 2017, 193 pada 2018, dan 363 izin pada 2019.
“Ada kenaikan signifikan dari izin-izin ini. Jelas daya dukung dan daya tampung sudah sangat terbebani. Banyak juga tambang yang tidak punya izin,” katanya lagi.
Sebelum pengesahan, Arifin Tasrif, Menteri ESDM mengatakan, RUU Minerba memuat beberapa poin penting, seperti penguatan BUMN. Dia bilang, wilayah pertambangan bekas IUP dan IUPK dapat ditetapkan sebagai WIUPK dengan penawaran prioritas kepada BUMN.
Pemerintah juga menjamin perpanjangan pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B) dengan mempertimbangkan penerimaan negara.
RUU Minerba, katanya, juga memuat aturan tegas soal nilai tambah pertambangan melalui pemurnian di dalam negeri. “Pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pemurnian dan paling lambat dibangun 2023,” katanya, masih kutipan dari Katadata.
UU untuk siapa?
Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pengesahan UU ini jadi indikator pemerintahan otoriter kembali lagi. Ada barter kepentingan, katanya, namun bukan antara rakyat dengan negara, tetapi antar pengusaha.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sejak awal revisi UU ini selalu menyerukan, hampir keseluruhan UU ini tak mewakili warga terdampak. Sebaliknya, mewakili kepentingan elit oligarki.
“Tidak punya legitimasi karena tak ada sedikitpun ruang untuk rakyat. Tidak beradab dan bermoral karena dilakukan pada masa pandemi,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.
Kalau UU ini jalan, kata Anwar Ma’ruf Ketua Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), sama saja dengan memberi subsidi dan hadiah berlimpah pada oligarki. Semacam membiayai lebih banyak korupsi dan perampasan ruang politik, ruang publik dan ruang demokratis.
Selain itu, paling jadi sorotan masyarakat sipil adalah bagaimana UU ini akan membuat masyarakat jadi terasing di laut dan pulau-pulau mereka sendiri.
“UU Minerba tidak berdiri untuk kepentingan masyarakat bahari. UU Minerba tidak berdiri atas nama kepentingan kita bersama. UU Minerba ini hanya berdiri untuk melanggengkan oligarki, dan menyejahterakan para oligarki,” kata Sekjen Kiara, Susan Herawati.
Di Morowali dan Morowali Utara, katanya, masyarakat harus berhadapan dengan pencemaran logam berat. Di Nusa Tenggara Timur, Flores, Sumba, dan Alor, juga tak luput dari ekspansi dan industri ekstraktif.
Menurut dia, ada banyak fakta miris dampak ekspansi dan industri ekstraktif dialami warga termasuk pulau-pulau di NTT, seperti di Flores, Sumba, Alor, Lembatang, yang berujung pada kriminalisasi.
“Tanah pertanian dengan segala tanaman dicaplok perusahaan mangan.”
Saat ini, pulau-pulau indah di NTT kembali terobrak abrik. Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung sebagai ring of fire. Belum lagi, rencana pembukaan pabrik semen dan batu gamping di Manggarai Timur.
“Di tengah perjuangan masyarakat mengatasi trauma tambang, masyarakat adat kembali melawan kolonialisme baru atas nama pembangunan yang dilegitimasi UU Minerba.”
Tak jauh beda, Halmahera Barat juga bakal jadi kawasan industri geothermal yang dikatakan lebih ramah lingkungan.
“Tapi basisnya kepemilikan tanah. Itu kemudian jatuh ke tangan industri atau jatuh ke segelintir orang, segelintir elit atau oligarki tadi. Kemudian memberikan dampak pemiskinan struktural kepada masyarakat,” kata Astuti N Kiwouw dari Maluku Utara.
Pulau Bali pun tak luput jadi penampung tambang batubara untuk PLTU Celukan Bawang. PLTU hanya 15-20 kilometer dari Pantai Lovina, bisa merusak terumbu karang dan menyebabkan polusi udara serta pencemaran bagi masyarakat pesisir.
UU penyelamat oligarki?
Herlambang P Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, UU Minerba ini bertentangan dengan mandat UU No 12/2012 tentang pembentukan perundang-undangan.
Revisi UU ini , katanya, merupakan pesan pendangkalan demokrasi dan ketatanegaraan karena legislatif hanya fokus pada penyelamatan oligarki tambang salah satunya dengan kemudahan perpanjangan kontrak.
“Tidak heran kalau revisi ini menuai banyak kritik dan berpotensi berwatak represif dan melegitimasi pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Dalam realitas lapangan, memperlihatkan, centang perenang pengelolaan sumber daya alam.
“Penghancuran sumber daya alam masif, meningkatkan ketidakadilan sosial dan ekologis,” katanya.
Dalam konteks penegakan hukum, revisi ini justru memperlihatkan negara mereduksi kesejahteraan rakyat. Bukan malah meningkatkan kesejahteraan petani, namun cenderung menyingkirkan petani, nelayan dan masyarakat adat. Dia bilang, ada proses justifikasi, karena ada upaya anti sains yang dikembangkan para pemangku kepentingan.
Mereka yang sungguh-sungguh berjuang memastikan kedaulatan sumber daya alam dan keadilan sosiologis, katanya, begitu gampang tergugat.
UU ini, kata Herlambang, menciderai mandat UUD dan mewariskan generasi makin hilang mimpi atas kedaulatan sumber daya alam.
Gunawan Wiradi, pakar agraria mengatakan, UU Minerba ini telah menyimpang dari cita-cita proklamasi 1945.
“Undang-undang itu dibuat kalau diperlukan. Untuk tahu diperlukan atau tidak harus penelitian dulu,” katanya dalam Sidang Rakyat.
Penyimpangan akan cita-cita proklamasi ini telah dimulai sejak 1967, kala dikeluarkannya UU no 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU no 5 tentang Kehutanan dan UU no 11 tentang Pertambangan.
Merujuk sejarah, katanya, saat perang antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Indonesia menganut prinsip bebas aktif. Tak ikut ke salah satu kubu. Begitu Soviet runtuh, Indonesia jatuh pada kelompok kapitalisme.
Padahal, kalau merujuk UUD’45, terutama Pasal 33, sumber daya alam termasuk tambang minerba harusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Kenapa tambang dikuasai negara? Eman-eman. Untuk generasi mendatang.”
Refly Harun, pakar hukum menilai, masyarakat perlu menolak UU ini karena dua hal, substansi dan legalitas.
Dari segi substansi, katanya, pertanyaan utama adalah mengapa tiba-tiba ada UU Minerba ini menggantikan UU lama.
“Untuk memastikan bagaimana KK (pemegang kontrak karya-red) dan perjanjian pengelolaan batubara bisa terus dikelola oleh The Giant,” katanya.
Mengutip ekonom Faisal Basri, The Giant yang dimaksud Refly adalah Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir dan Aburizal Bakrie. Ketiganya berafiliasi ke sejumlah perusahaan pemegang kontrak karya antara lain, Bumi Resource dan Adaro Energy.
Kontrak pemegang KK ini ada yang berakhir pada 2019, sisanya beragam, sampai 2025. Delapan perusahaan ini menguasai puluhan ribu hektar konsesi tambang. Dalam UU Uo 4/2009, maksimal pemegang izin hanya boleh mengelola 15.000 hektar.
Ketika perjanjian KK ini berakhir, kata Refly, mestinya konsesi kembali kepada negara untuk bisa mengeluarkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan prioritas kepada BUMN atau BUMD.
Perkara siap atau tidak BUMN atau BUMD mengelola konsesi ini, katanya, setidaknya telah jadi kaki negara untuk mensejahterakan rakyat sesuai Pasal 33.
Dengan UU Minerba baru justru memberikan opsi bagi penambang kelas kakap menguasai lagi wilayah konsesi mereka hingga 20 tahun ke depan.
“Secara substantif UU ini manipulatif.”
Kalaupun ada hal yang bisa dipertahankan dari UU ini, katanya, masyarakat perlu menolak karena hanya akan memberi peluang perusahaan menyelamatkan bisnis mereka.
Secara prosedural, kata Refly, UU ini cacat hukum karena termasuk dalam UU carry over periode DPR 2014-2019. Daftar invetarisasi masalah (DIM) baru disampaikan beberapa hari menjelang masa berlaku DPR lama berakhir. Untuk RUU carry over, katanya, DIM sudah harus dibahas.
“DPR periode lalu dan sekarang itu beda. Jumlah fraksinya juga beda.”
Pembahasan dalam waktu sangat singkat ini juga diikuti tidak ada partisipasi publik. Mestinya, pembahasan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat, transparan dan tanpa agenda tersembunyi.
‘”Itu tidak tercapai karena dibahas dalam masa COVID-19.”
Refly menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo, semestinya bisa membela kepentingan rakyat. Katanya, percuma hendak mengkritik DPR karena selain DPR majemuk, sikap anggota juga dipengaruhi ketua partai.
“Kalau presiden mengatakan tidak pada UU Minerba, maka tak bisa disetujui dan disahkan jadi UU. Secara konstitusional, presiden memiliki 50% kekuasaan legislasi dan kekuasan itu efektif menghadang UU manapun yang tak demokratis, mengangkangi sumber daya negara, dan membuat kekuasaan otoritarian dan lain-lain.”
Keterangan foto utama: Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia