- Indonesia masih menyimpan potensi besar dari hutan bakau dan padang lamun yang ada dalam ekosistem pesisir. Potensi besar tersebut, utamanya bisa dimanfaatkan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia
- Selain untuk perubahan iklim, hutan bakau dan padang lamun juga akan memberi manfaat yang banyak untuk kehidupan di kawasan pesisir. Termasuk, melindungi area pesisir dari abrasi dan erosi, serta menjaga keberlangsungan aneka ragam hayati
- Kemudian, karbon yang disimpan pada ekosistem pesisir juga bisa dikonversi menjadi bernilai ekonomi yang tinggi jika dilibatkan dalam skema adaptasi dan mitigasi perubahan iklim seperti Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+)
- Dari hasil penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi hutan bakau di Indonesia dalam setahun bisa menyerap total 16,11 juta ton. Sedangkan, padang lamun dalam setahun bisa menyerap 122,22 juta ton
Hamparan hutan bakau (mangrove) dan padang lamun (seagrass) yang menjadi bagian dari ekosistem pesisir, sampai saat ini masih menyimpan potensi sangat besar untuk menyerap karbon di udara. Potensi tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki hutan di wilayah daratan, yang sejak lama sudah menjadi alat untuk menyerap karbon.
Peneliti Ekologi Vegetasi Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Yaya Ihya Ulumuddin menjelaskan, potensi besar yang dimiliki hutan bakau dan padang lamun bisa menjadi bagain dari upaya Indonesia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Berbicara tentang perubahan iklim dan karbon biru adalah sesuatu hal yang abstrak, tidak seperti masalah rehabilitasi mangrove atau dampak sampah plastik, dimana wujudnya dapat terlihat secara nyata,” ucap dia pekan lalu di Jakarta.
Karbon biru yang dimaksud Yaya, tidak lain adalah karbon yang diserap dan disimpan di dalam laut dan ekosistem pesisir. Penamaan biru di belakang kata karbon, merujuk pada maksud pembentukan yang ada di bawah air dan warna dari tumbuhan bakau dan padang lamun yang biasanya berwarna biru.
Pemberian nama biru, juga untuk membedakan dengan tumbuhan yang bisa menyerap karbon dan berada di wilayah daratan. Untuk tumbuhan di darat, penamaannya disebut dengan karbon hijau karena tanaman yang tumbuh di hutan sebagian besar berwarna hijau.
baca : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru
Karbon yang disimpan dalam bentuk kayu atau tanah tidak akan berubah menjadi gas rumah kaca (GRK) dan memicu terjadinya pemanasan global serta perubahan iklim. Fungsi yang sama juga ada dalam ekosistem bakau dan padang lamun di wilayah pesisir laut.
Jika kedua ekosistem tersebut dijaga dengan baik dan dibiarkan menyerap karbon di udara, Yaya menyebutkan bahwa itu akan menjadi sumber kehidupan bagi manusia, ikan, dan juga menjadi lokasi wisata pesisir yang indah.
“Bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di kawasan pesisir, hutan mangrove dan padang lamun merupakan harta kekayaan yang sangat berharga. Jika kita menjaganya dari kerusakan, mangrove dan padang lamun akan memberikan banyak manfaat kepada kita,” urai Yaya.
Sebagai ‘harta karun’ yang sangat bernilai, baik hutan bakau atau padang lamun memiliki peran yang sangat penting untuk mengendalikan jumlah karbon yang ada di udara. Agar keduanya bisa melaksanakan perannya dengan baik, maka keberadaan mereka harus dilindungi dan dibiarkan tetap ada.
Yaya menjelaskan, peran yang sangat penting dari hutan bakau dan padang lamun, juga bisa menyelamatkan masyarakat pesisir yang selama ini sering terkena dampak abrasi pantai. Dengan adanya hutan bakau dan padang lamun, bencana alam tersebut bisa dihindari dan masyarakat bisa tinggal dengan tenang dan aman di kawasan pesisir.
“Ekosistem mangrove dan padang lamun juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi dan erosi, melindungi permukiman yang ada di belakangnya dari badai yang datang dari arah laut, dan tempat tumbuhnya ikan-ikan karang,” jelas dia.
baca juga : Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk Penanganan Perubahan Iklim
Unsur Dasar
Menurut Yaya, karbon atau zat arang yang ada di udara pada dasarnya adalah salah satu unsur paling berlimpah kedua setelah oksigen dan merupakan unsur dasar segala kehidupan yang ada di bumi. Adapun, warna karbon yang ada memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain.
“Itu tergantung di mana karbon melekat. Bisa saja dia berwarna hitam pada arang, atau putih (bening) pada intan,” tutur dia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), diketahui padang lamun yang ada di Indonesia memiliki potensi bisa menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/hektare/tahun. Bila dihitung secara keseluruhan, maka total karbon yang bisa disimpan mencapai 16,11 juta ton per tahun.
Sementara, untuk ekosistem hutan bakau, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon bisa mencapai 38,80 ton/ha/tahun. Atau, jika dihitung secara total, maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.
Akan tetapi, potensi besar tersebut, diiringi fakta bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017.
perlu dibaca : Karbon Biru di Mata Pemerintah Indonesia. Penting atau Tidak?
Ilmuwan Utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) Daniel Murdiyarso menyatakan, ekosistem karbon biru pesisir merupakan gudang penyimpanan karbon terbesar di bumi. Kemampuan mereka diketahui bisa menangkap dan menyimpan kelebihan karbon atmosfer dengan kecepatan serapan 20 kali lebih besar daripada ekosistem daratan manapun, termasuk hutan boreal dan tropis.
Akan tetapi menurut dia, jika hutan bakau dan padang lamun digunduli atau mengalami degradasi, maka ekosistem karbon biru akan berubah menjadi sumber emisis yang mengkhawatirkan. Terlebih, saat ini emisi GRK global dari pembangunan di kawasan pesisir yang tidak menerapkan prinsip berkelanjutan bisa mencapai satu miliar ton C02-eq per tahun.
Dari jumlah tersebut, Daniel mengatakan bahwa seperlima di antaranya ada di Indonesia. Itu artinya, sekitar 200 juta ton CO2-eq dihasilkan setiap tahun di wilayah pesisir Indonesia atau setara dengan emisi yang dihasilkan 40 juta mobil yang berlalu lalang di jalanan.
“Kecepatan konversi di Indonesia, pada angka dua persen itu sangat tinggi. Dan temuan terbaru menunjukkan bahwa hilangnya mangrove tidak hanya disebabkan oleh pembangunan tambak ikan, udang dan akuakultur lain, tetapi juga akibat pembangunan perkebunan sawit,” jelas dia.
Bagi Daniel Murdiyarso, temuan tersebut cukup mengejutkannya. Mengingat, sebelumnya dia menilai kalau salinitas lingkungan ekosistem bakau tidak kondusif untuk dijadikan lokasi perkebunan sawit. Namun, penilaian itu nyatanya tidak menghentikan alih fungsi lahan dari hutan bakau menjadi perkebunan sawit.
baca juga : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?
Pelindung Masyarakat
Di sisi lain, dengan melindungi keberadaan hutan bakau dan padang lamun, bukan saja bisa menjadi pelindung masyarakat Indonesia dari perubahan iklim, namun juga akan menghasilkan nilai ekonomi baru yang menjanjikan.
Dengan stok yang banyak tersimpan di Indonesia, maka itu akan bisa menghasilkan uang dengan jumlah tidak sedikit. Potensi itu akan muncul jika mangrove diikutsertakan dalam skema adaptasi dan mitigasi yang sudah ada, contohnya adalah Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+).
Menurut Daniel, jika satu ton karbon dihargai dengan nilai USD5, maka angka resminya akan berjumlah total USD6 miliar jika semua dikonversikan. Namun, potensi tersebut akan berwujud nyata jika Indonesia bisa menghentikan emisi yang keluar dari degradasi ekosistem karbon biru pesisir.
Dia kemudian membandingkan pemasukan dari sektor kelautan dan perikanan, khususnya dari transaksi ekspor udang Indonesia yang mencapai kisaran USD1,2 miliar per tahun. Dengan membandingkannya, maka perlindungan kawasan ekosistem karbon biru pesisir akan bernilai ekonomi sangat tinggi.
“Para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan hal ini dan menyadari nilai ekosistem pesisir,” jelas dia.
Namun demikian, Daniel menyadari bahwa untuk melaksanakan konservasi dan restorasi bakau, itu bukanlah pekerjaan mudah. Di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang manajemen ekosistem bakau nasional hanya Peraturan Presiden No.73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Sebelum itu, pada 2010 Pemerintah sudah menerbitkan Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBSC) untuk 3,2 juta hektare kawasan ekosistem pesisir dan laut. Tetapi, setelah itu, tidak ada satupun kebijakan nasional yang diterbitkan untuk mendukung IBSC. Akibatnya, tak ada satu pun program nasional yang fokus untuk melaksanakan di lapangan.
Kehadiran Perpres 73/2012 juga bagus, tetapi tidak diturunkan dalam peraturan yang bersifat teknis. Lalu, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.
Dari Permen tersebut, muncul target rehabilitasi mangrove bisa berjalan hingga 2045 dengan luasan mencapai 3,49 juta ha.
“Di Indonesia, panduan nasional melakukan konservasi dan restorasi mangrove masih kurang. Satu-satunya regulasi masih belum cukup, karena sebatas koordinasi saja. Dalam regulasi tersebut, dirinci siapa seharusnya melakukan apa, namun tidak dijelaskan sedikit pun mengenai bagaimana,” pungkas dia menyebut Perpres 73/2012.