Berdasarkan perundangan yang berlaku di Indonesia, terdapat tiga jenis hutan yang dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Yaitu: Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan Hutan Konservasi. Hutan lindung dan Hutan produksi lebih mudah dibedakan setidaknya dari penamaan, namun sukar bagi masyarakat untuk membedakan hutan lindung dan konservasi ―yang sekilas nampak sama-sama fungsinya untuk perlindungan.
Menurut ketentuan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan konservasi diartikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Jadi, secara fungsi pokok dapat dibedakan secara jelas dengan kata kunci sebagai (i) perlindungan sistem penyangga kehidupan bagi hutan lindung dan (ii) pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya bagi hutan konservasi.
Kemudian dapat dibedakan juga, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung ―tidak diperkenankan pada kawasan hutan konservasi.
Undang-Undang Kehutanan membagi hutan konservasi menjadi tiga macam: (i) Kawasan Hutan Suaka Alam; (ii) Kawasan Hutan Pelestarian Alam; dan (iii) Taman Buru.
Kawasan Hutan Suaka Alam dan Kawasan Hutan Pelesatarian Alam sebagaimana dimaksud Undang-Undang Kehutanan merupakan bagian dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelesatarian Alam yang berada pada kawasan hutan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya membagi Kawasan Suaka Alam menjadi: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari: Taman Nasional; Taman Hutan Raya; dan Taman Wisata Alam.
Ada tren kenaikan perambahan terhadap taman nasional di hutan hujan Sumatera paska bergulirnya era reformasi. Dari hasil studi yang diprakarsai UNESCO dan Tropenbos International Indonesia menunjukkan, status dan tren perambahan itu memiliki grafik tajam, 100 hingga 200 persen, dari era pemerintahan sebelumnya.
Baca juga: Kopi Agroforestri, Cara Merawat Hutan Lampung Barat
Pada 2014, area perambahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) meningkat dua kali lipat dibanding tahun 1990. Pembukaan kawasan konservasi tersebut didorong oleh bertambahnya populasi masyarakat disertai bertambah pula kebutuhan akan lahan sementara otoritas pengelola kawasan lemah dalam menjalankan fungsinya.
Pada kasus TNGL ini pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Mirip dengan kasus TNGL, total area perambahan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pada 2014 juga meningkat dua kali lipat dibanding 1990, persisnya lalu perambahan meningkat tajam dari 2010 ke 2014.
Sementara itu, di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) memiliki yang lebih gawat lagi. Total area perambahan pada 2014 meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1980-an. Sponsor pemerintah dan transmigrasi spontan dari Jawa menuju Lampung dan bagian selatan Sumatera pada 1970-an menyebabkan konversi besar-besaran hutan alam menjadi pertanian skala kecil.
Kawasan perambahan terbesar terdapat di TNKS dengan total area 130.322 ha atau 52,6 persen dari total kawasan perambahan yang terjadi di Tropical Rainforest Heritage of Sumatra dengan laju perambahan sepanjang 1990-2014 sebesar 2.737 ha/tahun.
TNBBS menempati posisi kedua terbesar areal perambahannya dengan luas 74.988 ha (30,3 persen), dan yang ketiga adalah TNGL dengan total perambahan 42.488 ha (17,1 persen). Sepanjang 1990-2014 laju perambahan di TNBBS dan TNGL masing-masing adalah 1.240 ha/tahun dan 972 ha/tahun.
Beberapa contoh kasus di atas baru beberapa kepingan dari banyak lagi kasus yang menggerogoti kawasan konservasi di Indonesia. Pantauan National Geographic (2015), 30 persen hutan dan kawasan konservasi di Indonesia telah rusak karena beragam faktor, seperti perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan.
Persoalannya klise, yaitu pengelola hutan tidak cukup sumber daya untuk mengamankan kawasan. Sedangkan kebutuhan akan lahan terus mencari jalannya. Meski pascaera reformasi berkembang pendekatan baru pengelolaan hutan, yang sebelumnya state based management menjadi multistakeholder based management ―dalam artian pengelolaan pengamanan kawasan tidak dibebankan kepada negara belaka, tak mampu membendung tekanan terhadap kawasan konservasi.
Baca juga: Nagari Simarasok, Mencari Asa Sejahtera dari Sadapan Getah Pinus
Mencari Jalan Tengah
Skema kemitraan kehutanan atau pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat telah muncul sejak 2001. Kala itu Dewan Pengawas Perum Perhutani menerbitkan Surat Keputusan (SK) 136/KPTS/DIR/2001 yang memperkenankan masyarakat sekitar untuk terlibat dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya hutan tanpa mengubah status kawasan.
Adapun SK yang kemudian menjadi preseden dalam pergeseran paradigma pengelolaan hutan itu kemudian diikuti oleh sejumlah regulasi pemerintah.
Mulai dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kemudian Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kemitraan Kehutanan, Permenhut Nomor 47 Tahun 2013 tentang Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu.
Hingga Peraturan Menteri LHK tentang Perhutanan Sosial (PermenLHK No.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016) dan lain-lain (dalam konteks akses pengelolaan masyarakat di kawasan konservasi, petunjuk teknisnya muncul melalui Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 tahun 2018).
Peraturan Menteri LHK tentang Perhutanan Sosial hadir untuk menyederhanakan birokrasi yang mesti ditempuh oleh masyarakat yang ingin mendapatkan akses pengelolaan hutan. Sebelumnya ada puluhan meja di kementerian yang mesti didapati accord-nya oleh masyarakat pemohon kemitraan.
Ditarik dari sejak terbitnya kebijakan nasional yang membuka jalur pengelolaan masyarakat di kawasan konservasi tersebut, pengelola kawasan konservasi tampak belum aktif menerapkan skema baru untuk penyelesaian konflik.
Ada dua musabab, pertama karena kekurangpahaman unit pelaksana teknis dalam memahami regulasi tersebut. Kedua, soal penerapan skema kemitraan ini menjadi beban tersendiri bagi pengelola bila diterapkan.
Skema kemitraan konservasi mensyaratkan hal-hal yang dapat diterima dalam kerangka pelestarian hutan. Salah satu yang penting adalah masyarakat calon mitra memang berpenghasilan pokok dari areal garapan di kawasan hutan tersebut. Kemudian usia areal garapan ada sebelum kawasan konservasi ditunjuk/ditetapkan.
Ada lima jenis pemberian akses yang dapat diberikan, meliputi: (i) pemungutan hasil hutan bukan kayu, (ii) budidaya tradisional, (iii) perburuan tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi, (iv) pemanfaatan tradisional sumber daya perarian terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi, (v) wisata alam terbatas.
Untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu ada 19 jenis kelompok tumbuhan yang dapat dijadikan objek kemitraan, diantaranya: kelompok rotan, getah, damar, biji-bijian, bunga-bungaan, daun-daunan, akar-akaran, kulit-kayu, bambu hutan, buah-buahan, umbi-umbian, nibung, lilin tawon, madu, sagu, nipah, ijuk, tumbuhan obat, dan jamur.
Sedangkan budidaya tanaman-sehari hari terdapat sebelas (11) objek, diantaranya: kelompok rotan, biji-bijian, bunga-bungaan, daun-daunan, bamboo hutan, buah-buahan, umbi-umbian, sagu, nipah, aren, dan jamur.
Perburuan tradisional masih dimungkinkan hanya dapat dilakukan untuk kebutuhan yang sifatnya mendesak –seperti upacara adat atau keagamaan masyarakat setempat; atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tidak untuk diperjual-belikan.
Baca juga: Hutan Tanaman Rakyat di Lombok, Dulu Kayu Sekarang Melirik Wisata
Kawasan konservasi merupakan kawasan yang seharusnya ketat diproteksi. Sebab ekosistem samalah seperti tepian dalam pepatah: sekali air besar, sekali tepian berubah. Unsur hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi di dalam ekosistem.
Bila terdapat tekanan yang begitu besar terhadapnya, suatu unsur dalam ekosistem akan terganggu dan bahkan mati. Kepunahan suatu unsur juga berdampak pada kelangsungan hidup unsur lainnya.
Bahkan pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Jadi artinya apabila kawasan tersebut sudah terdegradasi, maka dia tidak akan kembali seperti semula meskipun mati-matian dipulihkan.
Zona inti pada taman nasional biasanya terletak di tengah kawasan. Setelah itu terdapat zona rimba sebagai penyangganya dan juga wilayah jelajah satwa. Pada lapis ketiga ada zona pemanfaatan, zona yang secara hukum dapat dimanfaatkan untuk jasa lingkungan.
Dahulu, pada zona pemanfaatan ini hanya diperkenankan kegiatan rekreasi dan wisata alam, namun karena tekanan terhadap kawasan, -atau dapat kita sebut juga kesalahpahaman terhadap kawasan konservasi, kian hari semakin banyak, zona pemanfaatan de facto sudah dimanfaatkan jauh dari wisata maupun rekreasi.
Sebagai contoh, pada beberapa kawasan konservasi di Provinsi Jambi penulis menemui, ada kebun karet, sawit, cabe, kentang, bahkan tambang minyak di kawasan konservasi.
Kebutuhan akan lahan telah mendesak orang-orang terus membuka hutan. Dan tidak mudah mengatasinya. Orang-orang butuh makan, meskipun untuk itu harus membabat hutan.
Kini pemerintahpun telah mengambil kebijakan bahwa bentuk pemanfaatan di zona pemanfaatan. Kawasan konservasipun diperlonggar hingga bisa mengambil hasil hutan dan budidaya tradisional sebagaimana tertera dalam peraturan tentang perhutanan sosial.
* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah pegiat lingkungan hidup di Komunitas Konservasi Indonesia WARSI. Artikel ini merupakan opini penulis.
***
Foto utama: Rhett A Butler/Mongabay