- Para nelayan ikan hias berusaha beradaptasi selama pandemi ini, namun tak mudah
- Rehat bekerja di laut karena pesanan dan ekspor terhambat membuat nelayan kelimpungan
- Nelayan berusaha mencari ikan untuk konsumsi dengan spearfishing
- Perairan Desa Les di Bali Utara ini terus memulihkan diri setelah hampir dua dekade terhindari paparan sianida
Nelayan adalah pekerjaan yang sulit digantikan pekerjaan darat. Hal ini terbukti pada puluhan nelayan pencari ikan hias di Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Sebuah kawasan yang terkenal dengan sejarah nelayan ikan hiasnya.
Merta, seorang nelayan ikan hias bersiap snorkeling pagi itu saat dikunjungi awal Agustus ini. Ia sudah lama tidak masuk laut karena tak ada pesanan dari pengepul atau eksportir. Karena ingin tahu bagaimana ia bekerja dan jenis peralatan yang dibawa, kami memintanya masuk laut lagi.
Merta semangat dengan ide ini. Ketika mentari sudah beranjak dari horison, ia sudah menggunakan wet suit di pantai. Ia menenteng ember yang diisi penutup buatan sendiri dengan resleting di tengahnya. Tujuannya, ember mudah ditutup saat menyelam ke dalam laut setelah ikan berhasil ditangkap dengan jaring.
Hal unik lainnya adalah ia membuat fin sendiri dari ban bekas. Potongan ban dijahit tangan dengan benang kuat, sehingga membentuk desain fin. Dua alat penting lainnya adalah jaring dengan pemberat dan jaring kecil untuk menangkap ikan. Sementara jaring pemberat itu hanya untuk menghadang atau memerangkap ikan.
Inilah peralatan sederhana nan tepat guna yang dikreasikan para nelayan ikan hias ini setelah merdeka dari penggunaan potasium yang marak sebelum tahun 2000. Google dan snorkle yang dipakainya pun terlihat butut, saking lamanya dipakai.
baca : Aktivitas Budidaya Karang Hias Kembali Berderap
Dengan santai dan penuh pengalaman, Merta tak terlihat kerepotan membawa semua benda itu ke tengah laut. Jaring di tangan kanan, ember masuk bahu kiri, dan fin di tangan kiri.
Setelah mengambang, ia menggunakan fin, mengepaskan snorkel dan google, lalu masuk ke laut selama kurang dari 10 detik. Beberapa kali ia terlihat kembali muncul di permukaan, beberapa puluh meter dari garis pantai.
Area pencarian ikan hias ini sudah belasan tahun dilaluinya, jadi ia tak kesulitan. Sekitar 30 menit kemudian, ia sudah kembali ke darat dengan ember berisi hampir 30 ekor ikan. “Ini betok, udangan, KKO, Putri Bali hitam,” ia menyebutkan nama-nama ikan dalam bahasa lokal.
Puluhan ikan ini kami persilakan dilepas atau dititip di LATC, unit pelatihan budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI yang berada di sekitar.
Made Partiana, Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Lestari mengatakan sebagian besar anggotanya sudah tak mendapat penghasilan dari pencari ikan hias selama pandemi ini. Beralih jadi nelayan penangkap ikan juga sulit karena tidak memiliki sampan. Agar bisa bertahan hidup, beberapa harus jadi pekerja serabutan.
Ia sendiri beruntung, menyambi bekerja di LATC. Karena kini memiliki keterampilan dalam budidaya, bisa menyelam, memiliki lisensi master dive, dan bisa membuat transplantasi karang. Sebagian nelayan ikan hias lainnya memilih menangkap ikan malam hari dengan speargun untuk dikonsumsi sendiri, dan jika lebih bisa dijual.
Biasanya para nelayan ikan hias masuk laut sekitar delapan kali tiap bulan, sekarang paling untung empat kali dengan penurunan hasil penjualan. Tiap nelayan sudah punya jaringan pengepul atau eksportir. Terbatasnya penerbangan ke luar negeri, membuat usaha ini mandeg.
Partiana adalah generasi ke-3 sebagai nelayan ikan hias setelah bapak dan kakeknya. Ia tahu dan ingat masa lalu kelam yakni penggunaan potasium karena dibiarkan dan nelayan tidak tahu alternatif lain. Mengubah cara tangkap bukan hal mudah, karena cara saat ini yakni jaring jauh menurunkan hasil tangkapan. “Menangkap ikan di desa lain juga ditanya, dilarang karena dikira dapat uang pengganti,” ingat Partiana.
baca juga : Mongabay Travel: Kisah Kearifan Lokal Desa Les Melestarikan Terumbu Karang Buleleng
Selain snorkeling, ada juga nelayan yang berkongsi menyewa perahu dan kompresor untuk mencari ikan hias. Tapi ini memerlukan tambahan biaya.
Beradaptasi ke pekerjaan di luar laut menurutnya sangat sulit. Hal ini diakui rekannya, Nyoman Sujana. “Kalau nyangkul, sakit pinggang dan tanaman perlu air, ini susah,” ujarnya.
Ia sendiri mengisi waktu dan menambah penghasilan juga dari aktivitas menembak ikan. Sementara untuk mencoba budidaya ikan hias sebagai alternatif menurutnya tak mungkin. Pertama, perlu berlokasi dekat laut untuk akses air rutin, sarana budidaya lengkap, dan pekerjaan rumit penuh detail. Karena itu, tak ada nelayan yang menyimpan hasil tangkapannya di rumah. Dapat pesanan, langsung cari, dan setor ke pengumpul.
Hal yang memungkinkan dilakukan selama pandemi ini menurutnya adalah konservasi. Karena Sujana merasakan sendiri jika bawah laut bagus, ada terumbu karang, maka ikan hiasnya banyak. “Terumbu karang penting sekali, anakan ikan banyak,” serunya.
Salah satu pengumpul hasil tangkapan nelayan di Les adalah Gede Astayasa. Ia bekerja membungkus ikan dalam wadah plastik, mengisi oksigen, mengganti air rutin sambil menunggu eksportir mengambil pesanan. Sebelum pandemi, ia bekerja tiap hari.
Ida Ayu Juli Puswati, dari Yayasan Bahtera Nusantara dalam sebuah buku kumpulan tulisan di buku bertajuk “Meninggalkan Titik Nol, Nelayan Melawan Perlakuan Buruk” yang diproduksi Jaring PELA dan CBCRM merekam proses perubahan par anelayan ikan hias ini.
Usaha penangkapan dan perdagangan ikan hias baru terdata pada 1995 padahal sudah berlangsung lama. Gede Bendesa, warga Karangasem yang mukim di desa ini disebut salah satu perintisnya. Ia berpengalaman menangkap ikan hias saat merantau di Banyuwangi, Jawa Timur.
Tak sulit meluaskan usaha ini karena warga Les sudah jago menyelam untuk menangkap gurita, pasang jaring, dan memanah ikan. Hingga sekitar 2001, jumlah pengepul ikan hias saja sudah enam orang. Awalnya mereka menggunakan jaring benang, namun ada peraturan larang pukat harimau pada 1980, kesediaan jaring benang di pasar makin menghilang.
perlu dibaca : Melihat Perempuan Tejakula Menjodohkan Ikan Hias
Lalu, nasib buruk mulai berkenalan. Ada eksportir, dalam buku ini ditulis Bali Goro yang mengenalkan potasium sianida untuk meracun ikan. Warga yang kesulitan jaring benang pun mencoba walau tak tahu apa itu sianida dan dampaknya.
Karena hasil tangkapan berlipat, penggunaannya pun meluas. Menjadi tak terkendali dan merusak terumbu karang dan ekosistem bawah laut. Sianida makan korban tak hanya ikan target, juga biota non target lainnya. Pada 2001, survei awal Yayasan Bahtera Nusantara menyebutkan, kondisi terumbu karang buruk karena tutupanya di bawah 20%. Dampak esehatan seperti kulit gatal, mata merah, dan lainnya pun merebak.
Racun potasium sianida secara perlahan merusak organ dan metabolisme oksigen sehingga ikan pingsan. Satu semprotan sianida sekitar 20 cc disebut dapat mematikan ekosistem terumbu karang sekitar 25 meter persegi dalam 3-6 bulan jika terus menerus terpapar.
Bahtera melakukan pendekatan ke nelayan dan mengenalkan program pengurangan risiko. Mengenalkan alat tangkap baru seperti jaring penghalang dan ember dekompresi agar kualitas ikan lebih baik. Dilanjutkan dengan peraturan adat dan pecalang, patroli keamanan tradisional laut untuk menindak penggunaan sianida. Sejumlah lembaga lain juga terlibat sehingga Les menjadi desa laut yang memulihkan dirinya saat ini.