- Indonesia memiliki keragaman hayati yang dapat diolah menjadi jamu atau obat-obatan tradisonal.
- Oday Kodariyah, warga Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, adalah pengguna setia obat tradisonal. Dia rutin minum air rebusan dari berbagai daun, batang, hingga akar tumbuhan obat yang dia tanam di kebunnya. Di kebunnya seluas 21,3 hektar dia telah menanam sebanyak 900 jenis tanaman obat.
- Pemerintah Indonesia memberikan Oday Kadariyah penghargaan Kalpataru 2018 kategori Perintis Lingkungan. Selain mengembangkan kebun tanaman obat, Oday membuat klinik sendiri yang digunakan sebagai pusat konsultasi dan informasi.
- Akhmad Saikhu, Kepala Balai Besar Penelitian Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisonal, Kementerian Kesehatan RI mengatakan, eksistensi obat tradisional tidak akan tergoyahkan di tengah perkembangan ilmu farmasi yang telah menghasilkan berbagai obat kimia seperti saat ini.
Indonesia memiliki keragaman hayati yang dapat diolah menjadi jamu atau obat-obatan tradisonal. Khasiat produk turun temurun ini diyakini masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan dan masyarakat adat, sebagai obat mujarab yang aman dari efek samping.
Oday Kodariyah, warga Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, adalah pengguna setia obat tradisonal. Dia rutin minum air rebusan dari berbagai daun, batang, hingga akar tumbuhan obat yang dia tanam di kebunnya.
“Saya rutin menggunakan obat tradisonal dari berbagai jenis tumbuhan sejak 27 tahun silam,” kata Oday, dalam Webinar Bioprospecting dan Kearifan Lokal: Peluang dan Tantangan Menuju Pemanfaatan Lestari yang diadakan Mongabay Indonesia dan Yayasan KEHATI, Kamis [05/11/2020].
Tahun 1991, Oday didiagnosis menderita kanker serviks. Penyakit itu membuatnya, selama tiga tahun, selalu bersentuhan dengan obat kimia.
Puncaknya, tubuh Oday tidak sanggup lagi menerima obat tersebut. Ketika itu bibir dan kakinya mulai bengkak, tubuhnya kesemutan dan gatal. Dia juga mengalami pendarahan sampai kadar hemoglobinnya turun drastis.
“Tak ada tanda perkembangan membaik. Saya beralih ke obat tradisional, minum rebusan bawang dayak [Eleutherine bulbosa].”
Baca: Menjaga Keragaman Hayati Indonesia di Taman Kehati
Penyembuhan dengan obat herbal berbuah baik. Dia berlahan bisa beraktivitas seperti sediakala, hingga penyakit kankernya dinyatakan sembuh. Dari pengalaman itu, Oday menanam tumbuhan obat di kebunnya seluas 4 hektar. “Masyakat setempat pun ikut merasakan manfaat dari tumbuhan obat yang saya tanam.”
Seiring waktu, kebun itu bertambah luas hingga 21,3 hektar. Ada sekitar 900 tanaman obat ditanam. Selain mengembangkan kebun tanaman obat, Oday membuat klinik sendiri yang digunakan sebagai pusat konsultasi dan informasi.
Atas perjuangannya, Pemerintah RI memberikan Oday penghargaan Kalpataru 2018 kategori Perintis Lingkungan. Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada perorangan atau kelompok atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Kalpataru sendiri adalah bahasa Sanskerta yang berarti pohon kehidupan.
“Saya selalu mendorong orang yang saya kenal untuk memanfaatkan warisan leluhur kita, yaitu obat tradional. Apalagi di musim corona [COVID-19] ini, banyak-banyaklah minum rebusan tumbuhan obat, seperti jahe merah dan sebagainya,” tutur dia kepada Mongabay Indonesia.
Baca: Taman Kehati Belitung, Menjaga Bukit Peramun dari Kegiatan Tambang Timah
Bergandengan dengan ilmu farmasi
Akhmad Saikhu, Kepala Balai Besar Penelitian Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisonal, Kementerian Kesehatan RI mengatakan, eksistensi obat tradisional tidak akan tergoyahkan di tengah perkembangan ilmu farmasi yang telah menghasilkan berbagai obat kimia seperti saat ini.
Menurutnya tumbuhan obat yang diyakini masyarakat, kini sudah banyak teridentifikasi dan diketahui khasiatnya secara ilmiah, berdasarkan pengamatan peneliti.
“Tumbuhan obat memiliki senyawa yang bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit, melakukan fungsi biologis tertentu, hingga mencegah serangan serangga dan jamur.”
Dia juga menegaskan, yang masuk tanaman obat adalah jenis tanaman yang sebagian, atau seluruh, atau isi selnya digunakan obat, bahan dan ramuan obat-obatan.
Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa tumbuhan, bahan hewan, mineral, sediaan sarian [galenik], atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan. “Paling penting dapat diterapkan sesuai norma di masyarakat.”
Agar tanaman obat terus berkembang di tengah masyarakat dan dunia medis modern, Saikhu mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan modal kelompok petani, peningkatan sumber daya manusia, pemanfaatan paket teknologi, pengembangan sentra produksi, hingga benih atau bibit.
“Budidaya tumbuhan obat paling penting.”
Baca: Urban Farming, Mandiri Pangan di Masa Pandemi
Dengan upaya itu, keuntungan akan didapat, mulai dari peningkatan pendapatan masyarakat, penjaminan kontinyuitas suplai bahan baku, pelestarian ekosistem dan plasma nutfah, hingga peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produksi tanaman obat.
Saikhu menuturkan pilar pengembangan tanaman obat, yakni pemeliharaan mutu, keamanan dan kebenaran khasiat; keseimbangan antara suplay dan permintaan; pengembangan dan kesinambungan industri hulu, industri antara, dan hilir; pengembangan dan penataan dasar, termasuk pelayanan kesehatan; juga penelitian pengembangan dan pendidikan.
Pemerintah RI serius dengan hal tersebut. Terbukti adanya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Tujuannya, kata Saikhu, untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Sementara, rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan sudah termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017. “Industri farmasi dan alat kesehatan harus mengutamakan penggunaan bahan baku hasil produksi dalam negeri.”
Baca: Melirik Talas Sebagai Potensi Pangan Masyarakat Indonesia
Roadmap pengembangan jamu
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga telah membuat roadmap pengembangan jamu 2011-2025. Analisis lingkungan telah dilakukan dan kekuatannya adalah Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, kuatnya tradisi kebudayaan penggunaan jamu, hingga tersedia sumber daya manusia.
Adapun kelemahannya adalah belum optimalnya pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia hingga terbatasnya kebijakan dan regulasi. Namun, peluang pengembangan jamu tetap ada, yaitu tingginya potensi pasar lokal dan global, adanya pola hidup back to nature, hingga program sintifikasi jamu.
“Ancamannya juga besar, mulai produk saingan luar negeri sebagai dampak globalisasi serta pasar bebas,” ucap Saikhu.
Degradasi plasma nuftah karena lemahnya perlindungan, pengawasan, dan pelestarian menjadi ancaman serius, selain maraknya jamu ilegal hingga masuknya tenaga kerja asing dalam pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data Balai Besar Penelitian Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisonal, pada 2019 industri kimia, farmasi dan obat tradisional tumbuh sebesar 200 persen. Saat ini ada 206 industri farmasi dalam negeri, rinciannya 178 perusahaan swasta nasional, 24 perusahaan multi national company, dan 4 perusahaan Badan Usaha Milik Negara [BUMN].
“Sebanyak 78 persen suplay produk formasi pasar domestik dipenuhi produksi lokal,” kata Saikhu.
Masalahnya, industri farmasi itu masih ketergantungan pada impor bahan baku obat [BBO].
Baca: Penelitian: Jahe Merah dan Jambu Biji Potensial Tangkal Corona
Bioprospecting adalah masa depan kita
Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI menegaskan, bioprospecting adalah masa depan kita.
Bioprospecting merupakan upaya pencarian atau eksplorasi sumber-sumber alami untuk molekul kecil, makromolekul, informasi biokimia dan genetik yang dapat dikembangkan menjadi produk bernilai komersial untuk pertanian, akuakultur, bioremediasi, kosmetik, nanoteknologi, atau industri farmasi.
“Kementerian Pertanian pada 2004 telah melakukan kajian, nilai perdagangan bioprospecting tahun 2050 diperkirakan mencapai 5 triliun dolar Amerika.”
Menurut Roni, keberhasilan bioprospecting ini tergantung pada pengetahuan tradisional. Tanpa ilmu ini, akan makan waktu lama, biaya sangat besar, dan probabilitas keberhasilan sangat rendah.
“Masyarakat lokal atau adat sebagai penjaga keanekaragaman genetik dan pengetahuan tradisional.”
Sebagai contoh, masyarakat Baduy Kidul menggunakan akar cabai-cabaian [Polygala paniculata] ketika masuk angin. Masyarakat Suku Dayak Jangkang Tanjung menggunakan daun sawi hutan [Elephantos mollis] untuk obat sakit perut. Begitu pun masyarakat Papua menggunakan tanaman sarang semut [Myrmecodia sp] untuk pengobatan berbagai penyakit, dari mimisan, maag, asam urat, hingga wasir.
“Pengetahuan tradisonal itu kunci. Namun, ekplorasi kita lakukan harus dengan persetujuan mereka supaya tidak menjadi biopiracy.”
Baca juga: Penggunaan Tepat, Disinfektan Alami Ampuh Tangkal Virus Corona
Biopiracy adalah praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Istilah ini dipopulerkan Paat Mooney dan Vandana Shiva tahun 1900-an.
Contoh kasus dilakukan ilmuwan Amerika yang mempatenkan senyawa aktif kunyit [India] untuk pengobatan luka. Begitu juga yang dilakukan ilmuwan Inggris yang mempatenkan senyawa aktif daun cucani [Brasil] untuk mencegah penyumbatan jantung.
Roni mengungkapkan, data yang dikumpulkan Yayasan KEHATI menunjukkan biopiracy beberapa kali terjadi di Indonesia. Pencurian sampel tawon untuk publikasi di Sulawesi Selatan, dan pencurian ratusan sampel organisme dari hutan Kalimantan Barat adalah kejadian nyata.
Begitu juga saat pengajuan Hak Kekayaan Intelektual, kasus paling menjadi perhatian ketika Shiseido mengajukan paten untuk produk tumbuhan obat dari Indonesia. Begitu juga perusahaan Jepang yang mendaftarkan kopi toraja disertai rumah adatnya.
Publikasi jurnal ilmiah juga tak lepas dari biopiracy, misalnya penelitian tentang perbedaan kelenjar limpa Suku Bajo dan efeknya terhadap efisiensi respirasi.
“Banyak penelitian dilakukan di Indonesia, namun tak ada satu pun dicantumkan penulis dari Indonesia. Paling hanya ucapan terima kasih,” kata Roni.
Melawan biopiracy
Biopiracy biasa melibatkan negara maju dan berkembang. Para ahli sepakat melawan dengan membuat Protokol Nagoya: Acces and Benefit Sharing [ABS], tahun 2010 pada COP 10 COD di Nagoya, Jepang. Isinya, mengatur ABS antara negara maju dan berkembang.
ABS adalah kesepakatan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisonal yang berkaitan sumber daya genetik. Indnesia meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013.
Dari protokol ini, beberapa negara telah membuat kontrak bioprospecting, misalnya perusahaan Marck dari Amerika Serikat yang membayar 2,6 juta dollar Amerika untuk Costa Rica, atas akses penelitian terkait ektraksi kimia dari tumbuhan, serangga, dan mikro-organisme liar.
“Bagaimana Indonesia? Kami belum ada data. Misalkan ada, paling hanya diketahui pihak kementerian. Indonesia belum punya regulasi payung bioprospecting dan menghindari bioparacy,” kata Roni.
Atas ketidakjelasan tersebut, Yayasan KEHATI mendorong Pemerintah RI dan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] untuk melakukan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik [RUU PPSDG].
“Sudah tiga priode DPR, namun selalu gagal dibahas. Bermula dari Prolegnas 2004-2009, lanjut 2009-2014, dan gagal lagi periode 2014-2019. Semoga DPR sekarang bisa menyelesaikannya,” tuturnya.