- Pemerintah Aceh, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh, telah mengeluarkan persetujuan perpanjangan pertama izin usaha pertambangan [IUP] bagi Koperasi Serba Usaha [KSU] Tiega Manggis, di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh.
- Persetujuan tersebut ditandatangani Kepala DPMPTSP Aceh, Aulia Sofyan, pada 11 Juni 2020.
- Dalam pengumuman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan [Amdal] pada 10 Juli 2020, dinyatakan bahwa setiap bulan KSU Tiega Manggis akan memproduksi 57.000 ton besi dan 25,27 kilogram emas.
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menilai, persetujuan perpanjangan yang dikeluarkan DPMPTSP Aceh banyak masalah, sehingga mereka menggugat Pemerintah Aceh ke PTUN Banda Aceh.
Pemerintah Aceh, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh telah mengeluarkan persetujuan perpanjangan pertama izin usaha pertambangan [IUP] operasi produksi bijih besi dan mineral pengikutnya untuk Koperasi Serba Usaha [KSU] Tiega Manggis. Koperasi ini berada di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Persetujuan tersebut ditandatangani Kepala DPMPTSP Aceh, Aulia Sofyan, pada 11 Juni 2020.
Dalam pengumuman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan [Amdal] pada 10 Juli 2020, dinyatakan bahwa setiap bulan KSU Tiega Manggis akan memproduksi 57.000 ton besi dan 25,27 kilogram emas.
Pertambangan yang luasnya 200 hektar itu memiliki jumlah cadangan bahan baku mencapai 19.200.000 ton dan beroperasi sekitar 16,8 tahun. Lokasi pertambangannya berada di Desa Simpang Dua, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
Kegiatan yang akan dilakukan KSU Tiega Manggis berupa pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, penimbunan tanah penutup, pengambilan ore, pengolahan bijih besi, dan pekerjaan lainnya.
Sementera dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian emas, akan dilakukan pelarutan, pemisahan, pengendapan, pembakaran, pemurnian dan pekerjaan lainnya.
Baca: Kapan Tambang Emas Ilegal di Aceh Barat Ditertibkan?
Bermasalah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menilai, persetujuan perpanjangan yang dikeluarkan DPMPTSP Aceh banyak masalah, sehingga mereka menggugat keputusan tersebut.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, pada 2 November 2020 mengatakan, Walhi Aceh telah mendaftarkan gugatan terhadap Pemerintah Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, dengan nomor perkara 35/G/2020/PTUN.BNA.
“Berdasarkan kajian, proses penerbitan izin ini bertentangan dengan peraturan perundangan dan asas umum pemerintahan yang baik, sehingga harus diuji secara hukum di PTUN Banda Aceh.”
Muhammad Nur menyebutkan, dalam penerbitan izin, Kepala DPMPTSP Aceh menggunakan dasar pertimbangan yang tidak sah. Contoh, KSU Tiega Manggis telah memiliki izin nomor 214 tahun 2010 yang berakhir 31 Mei 2019.
Padahal, KSU Tiega Manggis pada 12 September 2018 mengirimkan permohonan perpanjangan izin melalui surat nomor 002/KSU-TM/IX/2018. Permohonan itu ditolak DPMPTSP melalui surat nomor 540/DPMPTSP/1740/2019 tertanggal 18 Juni 2019.
“Namun, Kepala DPMPTSP Aceh menggunakan surat permohonan tersebut sebagai dasar pertimbangan penerbitan izin,” ujarnya.
Baca: Pembangunan 12 Ruas Jalan di Aceh Jangan Korbankan Habitat Badak Sumatera
Kejanggalan lain, Kepala DPMPTSP dalam pertimbangannya memasukkan Keputusan Bupati Aceh Selatan Nomor 214 tahun 2010 tentang Persetujuan Ralat Batas dan Luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan [IUP] Operasi Produksi Bijih Besi [DMP] Kepada KSU Tiega Manggis.
“Padahal, jika dibuka SOP DPMPTSP Nomor: 07/DPMPTSP/133, Persetujuan Ralat Batas dan Luas Pertambangan merupakan kewenangan Kepala DPMPTSP Aceh, bukan lagi kewenangan Bupati,” tambahnya.
Yang lebih kacau, ungkap Muhammad Nur, Kepala DPMPTSP Aceh juga memasukkan Keputusan Bupati Aceh Selatan Nomor 325 Tahun 2019 tanggal 2 Mei 2019 tentang Penetapan Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bijih Besi DMP di Gampong Simpang Dua Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah.
“Izin lingkungan dikeluarkan tanpa melalui tahapan Amdal, bahkan pengumuman dilakukan 10 Juli 2020.”
Muhammad Nur menambahkan, pertambangan KSU Tiega Manggis berada dalam hutan yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].
Dalam Pasal 150 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan, Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota juga dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL.
“Dalam RTRWK Aceh Selatan dinyatakan, daerah yang akan ditambang KSU Tiega Manggis berada dalam kawasan rawan bencana gerakan tanah. Artinya, dapat memicu terjadinya bencana ekologi di wilayah ini.”
Protes masyarakat
Masyarakat Kecamatan Kluet Tengah, Amirullah, tidak setuju dengan dikeluarkan izin tersebut. Selain merusak kawasan hutan yang merupakan sumber air bersih masyarakat, hadirnya tambang akan mencemari lingkungan.
“Mereka tidak hanya menambang bijih besi, juga mengolah emas yang pastinya menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri. Kehadiran perusahaan tambang sejauh ini belum bisa memberikan kesejahteraan masyarakat.”
Masyarakat Kluet Tengah lainnya, Rizal M mengatakan keberatan hadirnya perusahaan di daerahnya. “Ketika semua izin didapat, masyarakat hanya menjadi penonton yang sudah terjadi di banyak tempat.”
Rizal menuturkan, ketika perusahaan tambang sudah beroperasi yang terjadi hanya masalah bagi keselamatan masyarakat. Dampak negatif seperti penurunan kualitas udara dan air, erosi dan sendimentasi, serta terganggunnya vegetasi dan biota air, hingga ancaman kesehatan masyarakat tidak dapat dihindari.
“Jika izin hanya menguntungkan beberapa orang, sama saja pemerintah membunuh masyarakat yang telah turun temurun tinggal di Kluet Tengah,” paparnya.
Baca juga: Desa di Hutan yang Sulit Dijangkau Itu Bernama Sikundo
Dampak buruk
Bupati Aceh Selatan, Tgk. Amran, pada 4 November 2018 pernah menginstruksikan agar kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Kecamatan Kluet, termasuk KSU Tiega Manggis, dihentikan karena berdampak buruk pada kehidupan masyarakat.
“Kami telah meminta dihentikan. Salah satu penyebabnya adalah pertambangan menggunakan bahan kimia dan dapat mengancam kehidupan masyarakat,” ujar Tgk. Amran, yang saat itu masih menjabat Wakil Bupati Aceh Selatan.
Tgk. Amran menuturkan, langkah itu diambil untuk menyelamatkan masyarakat dan generasi penerus di Kabupaten Aceh Selatan. “Kegiatan pertambangan dapat merusak tanah dan lingkungan, sangat berbahaya,” terangnya saat berkunjung ke Kecamatan Kluet Tengah.
Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Amrizal J Prang, saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia, pada Senin [16/11/2020] hingga berita ini diturunkan, belum bersedia memberikan tanggapan gugatan Walhi terhadap Pemerintah Aceh ke PTUN tersebut.