- Westiani Agustin, pendiri Biyung Indonesia mengatakan, pembalut menstruasi yang beredar dengan harga terjangkau adalah pembalut sekali pakai. Produksi pembalut jenis ini, gunakan material yang mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh dan lingkungan hidup. Pembalut mengandung zat-zat seperti dioxin, pemutih, pewangi, serta campuran plastik.
- Kalau lingkungan hidup rusak atau tercemar, lagi-lagi, perempuan yang pertama kali terdampak dan mengalami kesulitan menjalankan berbagai aktivitas termasuk terkait kesehatan reproduksi.
- Data Biyung Indonesia, ada sekitar 70 juta perempuan menstruasi aktif. Dengan asumsi mereka masing-masing memakai pembalut 20 lembar per bulan, jadi akan ada 1,4 miliar pembalut sekali pakai dan berakhir menjadi sampah.Dari hitungan itu, dalam setahun 16,8 miliar pembalut. Kalau dijabarkan luas bisa mencapai 378 KM² atau setara Kota Semarang.
- Biyung Indonesia melakukan edukasi dan kampaye kesehatan reproduksi perempuan dan lingkungan hidup. Biyung juga membuka usaha kecil produksi pembalut dari kain batik dan berbagai produk pendukung menstruasi.
Pembalut sekali pakai yang beredar di pasaran rawan bagi kesehatan reproduksi perempuan dan lingkungan hidup. Miliaran sampah pembalut sekali pakai berakhir menjadi sampah. Untuk itu, perlu membangun kesadaran bersama mengurangi atau lepas dari pembalut sekali pakai.
Westiani Agustin, pendiri Biyung Indonesia mengatakan, pembalut menstruasi yang beredar dengan harga terjangkau adalah pembalut sekali pakai.
Produksi pembalut jenis ini, katanya, gunakan material yang mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh dan lingkungan hidup, seperti dioxin, pemutih, pewangi, serta campuran plastik.
Data Biyung Indonesia, ada sekitar 70 juta perempuan menstruasi aktif. Dengan asumsi mereka masing-masing memakai pembalut 20 lembar per bulan, jadi akan ada 1,4 miliar pembalut sekali pakai dan berakhir menjadi sampah.
Dari hitungan itu, katanya, dalam setahun ada 16,8 miliar pembalut. Kalau dijabarkan luasan itu bisa mencapai 378 KM² atau setara Kota Semarang.
“Jadi kita bisa menutup Kota Semarang pakai pembalut. Itu hanya satu tahun, ya. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau puluhan tahun bahkan ribuan tahun,” katanya dalam diskusi daring baru-baru ini dengan tema “Pemenuhan Hak Hidup Sehat Bagi Perempuan dan Lingkungan.”
Ani, sapaan akrab Westiani prihatin dengan kondisi ini. “Kami Biyung Indonesia prihatin, sedih, marah karena perempuan harus menghadapi masalah ini,” katanya.
Perempuan Indonesia, katanya, mungkin terpaksa mengalami kondisi seperti pertama, tidak punya pilihan lain dan terpaksa memakai pembalut sekali pakai dengan harga terjangkau. Kedua, mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena pemakaian pembalut sekali pakai.
Ketiga, terpaksa menjadi kontributor penumpukan sampah pembalut sekali pakai di daratan dan perairan.
Kalau lingkungan hidup rusak atau tercemar, lagi-lagi, katanya, perempuan yang pertama kali terdampak dan mengalami kesulitan menjalankan berbagai aktivitas termasuk terkait kesehatan reproduksi.
Berbagai hal itu, kata Ani, terjadi karena berbagai kemungkinan, seperti, pengetahuan minim dan akses informasi tentang hak kesehatan reproduksi, kesadaran masyarakat minim tentang dampak pembalut sekali pakai bagi kesehatan perempuan dan bumi. Juga minim ketersediaan pembalut aman, sehat, dan terjangkau.
Karena berbagai kondisi itulah, katanya, perempuan harus menerima dampaknya, seperti perempuan harus bekerja lebih keras memenuhi tuntutan dasar karena lingkungan hidup tercemar dan sumber konsumsi makin sulit.
Perempuan juga terpaksa mengkonsumsi makanan rendah gizi dan sistem pendukung reproduksi tak aman hingga perempuan banyak menderita kanker dan berakhir kematian.
“Ada solusi sederhana yang bisa diketahui dan dilakukan individu atau pun komunitas, yaitu edukasi, advokasi, dan kolaborasi,” katanya.
Edukasi yang Ani maksud, adalah memberikan pemahaman tentang ketubuhan dan kesadaran tentang feminitas perempuan, serta pelestarian lingkungan hidup. Untuk advokasi, katanya, mendorong pelaksanaan Undang-undang dan penegakan hukum untuk pemenuhan hak akses dan lingkungan hidup yang sehat. Untuk kolaborasi, katanya, bekerja bersama dengan banyak pihak dan saling mengisi maupun melengkapi.
Biyung Indonesia sendiri, katanya, melakukan edukasi dan kampaye kesehatan reproduksi perempuan dan lingkungan hidup. Biyung juga membuka usaha kecil produksi pembalut dari kain batik dan berbagai produk pendukung menstruasi.
Hasil keuntungan usaha, katanya, mereka gunakan untuk kampaye dan workshop, seperti cara membuat pembalut kain bagi kelompok perempuan dengan keterbatasan ekonomi, perempuan di wilayah terpencil dan disabilitas.
Biyung Indonesia, katanya, membuka ruang berbagi dan diskusi tentang menstruasi. Juga penggalangan solidaritas untuk pengadaan pembalut kain gratis bagi perempuan di pemukiman padat perkotaan, pedesaan, dan perempuan disabilitas.
Upaya yang dijalankan Biyung Indonesia, kata Ani, tidak luput dari dukungan berbagai pihak, salah satu program She Creates Change dari Change.org.
****** Keterangan foto utama: Pembalut sekali pakai tak hanya bahayakan kesehatan perempuan juga ancam lingkungan hidup. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia