Meski ironis, pandemi COVID-19 memiliki peran besar dalam mengurangi polusi di udara. Pembatasan sosial mengakibatkan berkurangnya kegiatan transportasi beserta emisi yang dikeluarkan. Namun sebaliknya, sampah domestik dan sampah medis semakin meningkat.
Peningkatan jumlah sampah plastik rumah tangga umumnya berasal dari penggunaan kemasan, pembungkus, bubble wrap dan kantong plastik dalam pengemasan produk. Hal ini didorong oleh trend belanja online di masyarakat yang semakin meningkat.
Demikian juga halnya dengan volume sampah dan limbah B3, khususnya limbah medis, yang turut meroket. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat terjadi peningkatan timbulan limbah medis berkisar 30-50 persen selama pandemi COVID-19. Di samping itu juga terjadi peningkatan komposisi sampah plastik (Kumparan, 21/12/2020).
Plastik yang banyak digunakan sebagai bahan baku APD (Alat Pelindung Diri) berupa masker kesehatan, tutup kepala, sarung tangan, dan sebagainya juga turut menyumbang peningkatan mikroplastik di perairan dan laut (Warta Ekonomi, 18/1/2021).
Baca juga: Dapatkah Indonesia Bebas dari Kantong Plastik?
Dampak sampah Plastik bagi Biota dan Lingkungan
Plastik sebagaimana diketahui merupakan bahan yang memiliki rantai karbon yang panjang, akibatnya ia sulit diurai oleh mikroorganisme. Limbah plastik yang dibuang ke lingkungan membuat hewan seperti burung, ikan, dan lain-lain, sering salah mengira buangan plastik sebagai bahan makanan atau sarang mereka.
Selain bentuknya yang menyerupai makanan, -akibat aktifitas mikroba, plastik menghasilkan lendir berupa lapisan tipis yang disebut plastisphere. Lapisan ini mengeluarkan senyawa kimiawi yang bau dan rasanya mirip seperti makanan yang menarik satwa untuk mengkonsumsinya (Wibowo, 2018).
Akibatnya banyak kasus dimana satwa di alam menderita keracunan, tersedak, belitan, usus tersumbat hingga yang berujung kematian.
Berdasarkan penelitian terhadap hasil pengelolaan limbah, kepadatan penduduk dan informasi hidrologi, input global plastik dari sungai ke laut diperkirakan antara 1,15 hingga 1,41 juta ton plastik per tahun (Reisser et al; 2017. River plastic emissions to the world’s oceans).
Adapun Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2014), menyebut kerugian akibat pembuangan sampah plastik di lautan mencapai USD 13 milyar (setara Rp153 trilyun) per tahun.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena merupakan negara kepulauan, negara kita adalah penyumbang terbesar kedua limbah plastik ke laut di dunia. Sampah ke laut itu hanyut melalui aliran sungai-sungai yang tercemar polutan, seperti Sungai Brantas, Bengawan Solo, Ciliwung, Citarum dan yang lain.
Baca juga: Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut
Pentingnya Pemahaman Publik
Tidak banyak warga yang punya pengetahuan cukup dalam memahami apa yang terjadi. Termasuk memiliki empati kepada berbagai biota yang mati akibat limbah plastik dan dampaknya bagi keseluruhan ekosistem.
Sebenarnya, Pemerintah sudah memiliki landasan untuk ini, yaitu Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
Rencana aksi nasional penanganan sampah laut dapat dimulai dari jalur pendikan, dalam jangka panjang ia harus pula menyasar orang dewasa dan publik luas. Penanggulangan sampah di pesisir maupun laut mendesak untuk dieksekusi.
Di luar itu, perlu ada perbaikan radikal dalam menghentikan sumber asal sampah plastik. Alih-alih plastik, riset dan pengembangan harus ditujukan untuk mencari bahan yang ramah lingkungan yang tidak berasal dari bahan plastik non organik berbahan baku minyak.
Sebagai contoh, University of York dalam sebuah risetnya tentang plastik, berhasil menciptakan polyester generasi baru berbasis bahan organik (Comerford, 2018).
Aturan dan penegakan hukum yang jelas pun perlu didorong sebagai kunci dalam mencegah jutaan kantong plastik berakhir di lingkungan atau tempat pembuangan sampah.
Baca juga: Bogor Tanpa Tas Plastik, Bisakah?
Praktik Pengurangan Plastik di Negara Lain
Dalam sebuah pertemuan internasional bertema “Kicking the Plastic Bag Addiction: A Plan for Response to Plastic Pollution” tahun 2018, teridentifikasi beberapa contoh baik negara-negara yang telah mampu move-on dari penggunaan plastik.
Contohnya Maroko. Setelah larangan sebagian pada tahun 2009, hukum di Maroko kemudian menerapkan pelarangan penuh penggunaan kantong plastik pada Juli 2016. Regulasi ini tidak hanya membatasi distribusi kantong plastik, tetapi juga impor dan produksi produk tersebut.
Denda dan sanksi pun diberlakukan, besarnya setara USD 20 – 100 ribu bagi para produsen dan distributor yang melanggar hukum. Pemerintah Maroko sebaliknya, mulai memperkenalkan bahan kantong alternatif non plastik yang mudah didapat.
Perubahan yang lebih drastis dilakukan di Kenya. Negara di Afrika Timur ini, memberi ancaman baik berupa denda hingga penjara bagi penggunaan kantong plastik sejak 2017.
Hukum setempat mengancam hingga empat tahun penjara atau denda maksimal sebesar USD 40.000 (Rp579 juta) bagi siapa pun yang memproduksi, menjual, -atau bahkan hanya sekedar membawa kantong plastik. Aturan ini sebenarnya juga untuk menyasar perilaku jorok warga di pemukiman kumuh di wilayah perkotaan.
DI kota-kota besar Kenya seperti Nairobi, masih sering dijumpai orang yang melakukan BAB di dalam kantong plastik, yang kemudian dibuang sembarangan. Selain mencemari lingkungan, perilaku ini tentu saja berdampak pada sanitasi, potensi penularan penyakit, dan ancaman bagi kesehatan masyarakat.
Setelah pemberlakuan aturan yang ketat ini, sanksi hukum ditegakkan. Seorang pedagang ayam di sebuah pasar misalnya pernah didenda setara Rp 2,1 juta karena menggunakan kantong plastik saat menjual daging ayam kepada pelanggannya. Efek jera pun dilakukan oleh pemerintah di sana.
Efektivitas penegakan hukum ini berlangsung efektif. Sejak itu penggunaan plastik di Kenya berkurang drastis. Praktik ‘toilet terbang’ (BAB di kantong plastik) menurun drastis. Warga mulai beralih menggunakan toilet umum yang ada.
Setahun setelah Kenya memberlakukan aturan ini, negara-negara tetangganya seperti Uganda, Tanzania, Burundi, dan Sudan Selatan kini mempertimbangkan untuk mengikuti langkah yang telah dilakukan Kenya.
Lalu bagaimana di negara kita? Sejak tahun 2016 pemerintah sebenarnya telah berupaya melakukan pengurangan pemakaian penggunaan kantong plastik melalui kerjasama dengan peritel modern.
Beberapa pemda, seperti Kota Bogor, telah memberlakukan hal ini. Peritel modern dilarang menyediakan kantong plastik bagi konsumen. Hasilnya bagus, meski awalnya mengalami ‘kendala budaya’, lambat laun konsumen terbiasa membawa sendiri kantong belanja dari rumah.
Namun, secara keseluruhan program pengurangan penggunaan kantong plastik tampak masih jalan di tempat. Tidak semua pemda secara serius mengimplementasikan dan mengagendakan hal pengurangan sampah plastik ini.
Dalam kasus program plastik berbayar, misalnya. Pasca tujuh bulan diterapkan program itu berhenti. Alasannya ketiadaan payung hukum yang kuat dan harga plastik yang masih murah (berkisar Rp 200) tidak signifikan dalam menekan konsumsi penggunaan kantong plastik.
Tampaknya, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan sebagai refleksi Hari Peduli Sampah Nasional yang jatuh pada hari ini.
* Tri Wahyuni, penulis adalah peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.