- Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] merupakan hutan hujan seluas 2,6 juta hektar yang berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
- Di Aceh, KEL meliputi 13 kabupaten/kota.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 150 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
- Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota juga dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL.Namun, Pemerintah Aceh, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu telah mengeluarkan persetujuan perpanjangan pertama izin usaha pertambangan operasi produksi bijih besi dan mineral pengikutnya, untuk Koperasi Serba Usaha [KSU] Tiega Manggis di Aceh Selatan. Terkait kondisi tersebut, Walhi Aceh protes keras.
Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] merupakan hutan hujan yang berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Luasnya 2,6 juta hektar. Di Aceh, KEL meliputi 13 kabupaten/kota.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 150 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota juga dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL.
Faktanya, KEL terancam oleh berbagai kegiatan. Salah satunya adalah Pemerintah Aceh, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh mengeluarkan persetujuan perpanjangan pertama izin usaha pertambangan [IUP] operasi produksi bijih besi dan mineral pengikutnya, untuk Koperasi Serba Usaha [KSU] Tiega Manggis.
Koperasi ini berada di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Persetujuan tersebut ditandatangani Kepala DPMPTSP Aceh, Aulia Sofyan, pada 11 Juni 2020.
Baca: Keluarkan Perpanjangan Izin Tambang, Walhi Gugat Pemerintah Aceh
Kegiatan yang akan dilakukan KSU Tiega Manggis berupa pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, penimbunan tanah penutup, pengambilan ore, pengolahan bijih besi, dan pekerjaan lainnya. Sementara, dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian emas, akan dilakukan pelarutan, pemisahan, pengendapan, pembakaran, pemurnian, dan pekerjaan lainnya.
Dalam pengumuman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] pada 10 Juli 2020, dinyatakan bahwa setiap bulan KSU Tiega Manggis akan memproduksi 57.000 ton besi dan 25,27 kilogram emas. Pertambangan yang luasnya 200 hektar itu memiliki jumlah cadangan bahan baku mencapai 19.200.000 ton dan beroperasi sekitar 16,8 tahun.
Baca: Tidak Mudah Memberantas Kegiatan Ilegal di Hutan Aceh
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Muhammad Nur mengatakan, sesuai pasal 150 UU Pemerintah Aceh, seharusnya pengelolaan KEL dilakukan secara lestari. Tidak boleh ada izin yang dikeluarkan dalam kawasan hutan tersebut.
“Tapi faktanya, ada kegiatan pertambangan bijih besi dengan mineral pengikutnya emas. Izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk KSU Tiega Manggis di Kabupaten Aceh Selatan,” sebutnya, baru-baru ini.
Padahal semua pihak paham, KEL merupakan hutan sangat penting untuk keberlangsungan hidup sebagian besar masyarakat Aceh, khususnya sebagai sumber air.
“Sebagian besar masyarakat di Aceh juga mencari nafkah di KEL, baik mencari ikan atau hasil hutan selain kayu. Sementara, areal penggunaan lain yang merupakan lokasi tambang KSU Tiega Manggis, sebagian besar masuk KEL,” ujarnya.
Muhammad Nur menyebutkan, ada beberapa hal bermasalah saat perpanjangan izin KSU Tiega Manggis, sehingga Walhi Aceh menggugat izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh.
“Kami mendaftarkan gugatan ke PTUN Banda Aceh pada 10 November 2020 dan terdaftar dengan Nomor Perkara 35/G/2020/PTUN.BNA,” ungkapnya.
Baca: Meski Pandemi, Perusakan Hutan Leuser Tidak Berhenti
Sidang di tempat
PTUN Banda Aceh telah beberapa kali menggelar persidangan terkait gugatan Walhi tersebut. Saat ini sudah tahap agenda keterangan saksi ahli dan saksi fakta baik, dari Walhi Aceh sebagai penggugat, saksi dari Pemerintah Aceh sebagai tergugat, dan saksi dari KSU Tiega Manggis sebagai tergugat intervensi. Persidangan dipimpin oleh Salman Khalid Alfarisi, dan Fatmawaty beserta Adillah Rahman sebagai hakim anggota.
Pada 18 Februari 2021 lalu, Majelis Hakim PTUN Banda Aceh menggelar sidang di tempat, di wilayah tambang KSU Tiega Manggis. Dalam persidangan, penasehat hukum KSU Tiega Manggis membantah wilayah tambang koperasi berada dalam KEL.
Baca juga: Putusan Mahkamah Agung: Cabut Izin Tambang Emas PT. EMM di Hutan Leuser
Bahadur Satri, penasehat hukum dari KSU Tiega Manggis mengatakan, ketika koperasi mengajukan permohonan izin usaha pertambangan [IUP] yang pertama maupun kedua ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh, telah dilakukan verifikasi dan evaluasi teknis dokumen/persyaratan, serta lokasi pertambangan. Saat itu, tidak ada keberatan dari dinas terkait maupun DPMPTSP.
Selain itu, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Aceh melalui Surat Nomor: 540/723 yang ditujukan kepada DPMPTSP, tanggal 5 Agustus 2019, telah mengeluarkan telaah teknis. Hal yang dijelaskan adalah setelah dilakukan pengujian peta kawasan hutan menggunakan Sistem Informasi Geografi dan SK Men-LHK Nomor: SK.103/MenLHK-II/2015, wilayah tambang KSU Tiega Manggis tidak tumpang tindih dengan IUP lain. Seluruhnya berada dalam areal penggunaan lain.
“Karenanya, tuduhan yang menyebutkan, KSU Tiega Manggis telah melakukan kegiatan pertambangan di Kawasan Ekosistem Leuser adalah tidak benar. IUP KSU Tiega Manggis berada di wilayah APL,” sebut Bahadur.
Penasehat Hukum Pemerintah Aceh dalam jawabannya membenarkan bahwa lokasi pertambangan KSU Tiega Manggis berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 190/KPTS-II/2001 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh seluas 161,86 hektar berada dalam kawasan KEL. Hanya sekitar 37,28 hektar yang berada di luar KEL.
“Namun areal yang berada dalam KEL berdasarkan Lampiran Peta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.589/MENLHK/SETJEND/SET.1/12/2018 tanggal 17 Desember 2018 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865/MENHUT-II-2014 tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh, berada dalam kawasan areal penggunaan lain [APL] atau budidaya,” jelas Amrizal J Prang dan kawan-kawan.
Amrizal dalam jawabannya juga mengatakan, Objek Sengketa tidak dapat diterapkan pasal 150 Ayat [2] Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
“Kegiatan tersebut bukan untuk kepentingan pengusahaan hasil hutan di dalam KEL, tapi mengacu pada pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser secara lestari. Ini sebagaimana disebutkan Pasal 150 ayat [1],” urainya.