- Stasiun Penelitian Ketambe yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, merupakan tempat penelitian orangutan sumatera.
- Stasiun ini didirikan pada 1971 oleh peneliti berkebangsaan Belanda, Herman D. Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wageningen, Belanda.
- Populasi orangutan sumatera di sekitar lokasi stasiun ini mencapai 50 individu. Selain itu, hadir pula berbagai satwa lain yang menarik untuk diteliti, termasuk beragam tumbuhan yang tersebar.
- Pandemi COVID-19 membuat kegiatan penelitian terhenti. Banyak peneliti international yang tidak bisa datang. Saat ini, staf stasiun hanya mampu melakukan kegiatan fenologi dan mencatat pertemuan dengan orangutan.
Stasiun Penelitian Ketambe yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, merupakan laboratorium alam istemewa. Tempat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti Indonesia dan luar negeri, khususnya riset orangutan sumatera.
Stasiun ini didirikan pada 1971 oleh peneliti berkebangsaan Belanda, Herman D. Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wageningen, Belanda. Pembangunannya didanai Netherlands Foundation for the Advancement of Tropical Research dan Netherlands Appeal of the World Wildlife Foundation.
Awal pendirian, stasiun ini direncanakan sebagai tempat rehabilitasi orangutan peliharaan sekaligus sebagai pusat penelitian orangutan alami.
“Tapi, sejumlah ahli berpendapat orangutan peliharaan tidak dapat dilepaskan ke habitat yang ada orangutan alami. Sehingga, pada 1980, pengelolaan stasiun ini diserahkan ke Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam [PHPA] dan sejak itu Ketambe dijadikan pusat penelitian orangutan alami. Sementara, pusat rehabilitasi orangutan dipindahkan ke Sumatera Utara,” ungkap Arwin, Manager Stasiun Riset Ketambe, pada Selasa [06/4/2021].
Baca: Berbagi Ruang Hidup dengan Orangutan di Stasiun Penelitian Ketambe
Arwin mengatakan, populasi orangutan sumatera di sekitar lokasi stasiun ini mencapai 50 individu. Selain itu, hadir pula berbagai satwa lain yang menarik untuk diteliti, termasuk beragam tumbuhan yang tersebar.
“Orangutan sering datang bahkan berada di sekitar bangunan stasiun, mereka tidak merasa terancam meskipun dipantau oleh staf atau peneliti,” ujarnya.
Baca: Stasiun Riset Ketambe, Bukan Orangutan Sumatera Saja yang Bisa Diteliti
Arwin menjelaskan, hingga pertengahan 2019 stasiun ini masih didatangi peneliti dan pihaknya sangat senang bisa membantu. Data orangutan beserta satwa lain dan tumbuh-tumbuhan mulai terkumpul kembali.
Bukan hanya itu, Ketambe juga menjadi salah satu lokasi ekowisata andalan karena banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Sebagian besar masyarakat Ketambe sangat bergantung dari hutan Leuser, sebagian lain bertani dan juga pelaku wisata, mulai dari mengelola penginapan, pemandu wisatawan, bahkan bekerja sebagai asisten peneliti,” ungkap Arwin yang pernah menjabat Kepala Desa Ketambe hingga 2015 lalu.
Namun, awal 2020, pandemi COVID-19 membuat kegiatan penelitian terhenti. Banyak peneliti internasional yang tidak bisa datang.
“Saat ini, di Stasiun Riset Ketambe tidak ada kegiatan riset. Staf hanya mampu melakukan kegiatan fenologi dan mencatat jika bertemu orangutan,” ungkapnya.
Baca juga: Cagar Alam Jantho, Rumah Menyenangkan Orangutan Sumatera
Cagar Alam Jantho
Bagaimana kabar Cagar Alam Jantho?
Cagar Alam Jantho di Kabupaten Aceh Besar, adalah tempat ideal pelepasliaran orangutan sumatera bekas peliharaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.103/MenLHK-II/2015, wilayah ini luasnya sekitar 15.436 hektar.
Jantho dipilih karena alasan meyakinkan, berdasarkan hasil survei di wilayah ini tersedia pakan melimpah, daya dukung habitat meyakinkan, dan tidak ada populasi orangutan liar. Hingga saat ini, lebih dari seratus individu orangutan reintroduksi telah dilepasliarkan dengan tujuan utama membentuk populasi orangutan baru yang mandiri.
Mukhlisin, Manajer Pusat Reintroduksi Orangutan Jantho, baru-baru ini mengatakan, hutan ini cukup alami dan terdapat banyak pakan orangutan. “Cagar Alam Jantho termasuk kawasan hutan konservasi yang sangat kaya dan banyak memiliki pohon ara, pakan orangutan,” ujarnya.
Data Yayasan Ekosistem Lestari [YEL] dan Sumatran Orangutan Conservation Programme [SOCP] menyebutkan, dari beberapa survei yang dilakukan, Cagar Alam Jantho sangat cocok dijadikan habitat baru orangutan. Diperkirakan, areal ini dapat menampung 300-500 individu orangutan.
“Kawasan ini juga merupakan habitat alami harimau dan gajah sumatera. Cagar Alam Jantho juga berbatasan langsung dengan hutan primer ekosistem Ulu Masen yang luasnya mencapai 750.000 hektar,” sebut Mukhlisin.
Dia mengatakan, orangutan yang dilepaskan di sini tetap dipantau pergerakannya, sehingga benar-benar hidup mandiri.
“Sebagian besar orangutan ini sejak kecil dipelihara manusia, sehingga tidak pernah belajar membuat sarang dan mencari makan bersama induknya. Untuk itu, kami harus selalu memantau kehidupannya. Hal paling memnggembirakan adalah, kami telah menemukan tiga anak orangutan yang lahir di sini,” paparnya.