- Ketupat masih menjadi ikon ketika Lebaran tiba, sehingga menjadi rezeki bagi perajin kulit ketupat
- Pada masa-masa Lebaran, perajin kulit ketupat dan pembuat ketupat mengalami kenaikan pesanan
- Sampai sekarang para perajin tetap mempertahankan janur atau daun kelapa sebagai bungkus ketupat, bukan plastik
- Bungkus ketupat dengan janur kelapa jelas lebih ramah lingkungan dan menjadi pesan kearifan
Masa Lebaran pada bulan Syawal berdasarkan kalender Islam dan Jawa, menjadi bulan yang identik dengan ketupat. Secara umum, ketupat pasti menjadi suguhan makan pada saat awal 1 Syawal, namun ada juga beberapa daerah yang memiliki tradisi Lebaran Ketupat. Di Jateng, misalnya, Magelang dan Kudus menjadi contoh dua daerah yang mempunyai tradisi Lebaran Ketupat dan biasanya jatuh pada sepekan setelah Idul Fitri.
Adanya ketupat tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari kulit atau selongsong ketupat. Dalam kondisi hari-hari biasa, ketupat tidak hanya dibungkus dengan janur kuning yang dianyam, tetapi memakai plastik. Demi kepraktisan, tanpa harus mengambil janur kemudian dianyam terlebih dahulu. Namun demikian, hingga kini, kebanyakan masyarakat masih tetap membuat ketupat dengan bungkus janur.
Nursito dan Darsinah, keduanya adalah warga Desa Datar, Kecamatan Sumbang, Banyumas, Jawa Tengah merupakan perajin kulit ketupat. Apalagi pada saat Lebaran, permintaan kulit ketupat mengalami peningkatan cukup signifikan. “Pada masa-masa Lebaran, permintaan selongsong atau kulit ketupat mengalami peningkatan cukup banyak. Karena memang kebutuhannya tinggi. Meningkatnya sebelum Idul Fitri,” jelas Nursito yang ditemani Darsinah pada Rabu (12/5) lalu.
Dijelaskan oleh Nursito, dia menjadi perajin kulit ketupat tidak hanya pada masa-masa Lebaran saja, melainkan juga hari-hari biasa. Warga dalam satu RT di sini, umumnya memang perajin kulit ketupat. “Kulit ketupat yang dibuat warga dengan memanfaatkan janur kuning atau daun hijau dari pohon kelapa. Setiap harinya, kami mampu membuat kulit ketupat hingga 1.000 buah,”katanya.
baca : Habiskan Makanan Lebaran, Biar Tak Jadi Masalah Lingkungan
Darsinah menambahkan jika pada hari biasa, ia mendapatkan upah Rp40 per buah kulit ketupat, namun pada masa Lebaran bisa mencapai Rp70 per buah. “Saya biasanya memulai bekerja setelah selesai pekerjaan rumah. Sesudah memasak dan mencuci, baru memulai pekerjaan menganyam kulit ketupat. Lumayan, daripada menganggur, lebih baik bekerja seperti ini. Kalau bisa membuat sebanyak 1.000 buah dengan harga Rp70, maka kami mendapatkan Rp70 ribu,”ujar Darsinah.
Darsinah mengatakan bahwa mereka masih tetap dapat bekerja menganyam kulit ketupat, karena kebanyakan orang tetap memilih ketupat dengan bungkus janur atau daun pohon kelapa. “Memang, di pasaran ada yang sudah menggunakan plastik, praktis, tidak perlu menganyam kulit ketupat. Namun, kalau dengan plastik, maka rasanya sangat beda dan tidak tahan lama,”jelasnya.
Sukati, pembuat ketupat mendapatkan pasokan dari sejumlah perajin kulit ketupat, di antaranya Nursito dan Darsinah. Ia juga mengatakan bahwa dirinya masih tetap mempertahankan menggunakan janur sebagai pembungkus ketupat.
“Kulit ketupat yang berasal dari janur atau daun pohon kelapa jauh lebih bagus, jika dibandingkan dengan plastik. Memang, kelihatannya praktis, cukup dengan plastik, dimasukkan beras terus direbus, selesai. Tetapi, rasanya tidak enak sama sekali. Karena kalau ketupat menggunakan janur, daun pohon kelapa juga ikut memberi rasa pada ketupat. Berbeda dengan plastik,”jelas Sukati.
Menurutnya, ketupat dengan bungkus dari janur, mampu bertahan lama. Jika memakai plastik, maka ketupat hanya bertahan maksimal sehari saja. Setelah itu berair dan bau. “Tetapi, kalau dengan memakai daun kelapa atau janur, maka bisa bertahan hingga tiga hari. Ketupat tidak bau, karena memasaknya juga lama. Kami memasak ketupat mencapai 7 jam,”katanya.
baca juga : Uniknya Berlebaran di Masyarakat Adat Enrekang
Purwanto, suami Sukati, menambahkan pada masa Lebaran, permintaan ketupat sangat tinggi. Pada hari-hari biasa, permintaan ketupat sekitar 2.500 ketupat dengan kebutuhan beras mencapai 1 kuintal. “Selama tiga hari pada masa Lebaran, ada 25 ribu ketupat yang dapat dijual. Kebutuhan berasnya bisa mencapai 1 ton. Harganya juga berbeda, kalau kondisi normal hanya Rp7 ribu per 10 buah ketupat, namun jika masa Lebaran harganya Rp12 ribu hingga Rp15 ribu per 10 buah ketupat,”paparnya.
Bagi Purwanto, tidak ada niat untuk mengubah kulit ketupat dari janur atau daun pohon kelapa dengan plastik. “Alasannya bermacam-macam. Kami masih ingin mempertahankan tradisi bahwa ketupat bungkusnya harus janur, bukan plastik. Dari segi rasa, ketupat akan lebih enak dengan bungkus janur. Juga bisa tahan lama hingga tiga hari, kalau plastik hanya sehari saja. Plastik juga menimbulkan masalah pencemaran. Nah, kalau dengan janur, maka sampahnya kan organik, dapat terurai. Beda dengan plastik,”tandasnya.
Ketupat atau dalam bahasa Jawa, kupat bisa diartikan beragam. Salah satunya adalah “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan dan meminta maaf. Arti lainnya adalah “laku papat” yang dapat diterjemahkan menjadi empat perilaku yaitu syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Sementara dalam kaca mata Jawa, laku papat terbagi empat yakni lebaran, leburan, luberan dan laburan.
Sementara Koordinator Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata (Pusbudpar) Univesitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Imam Suhardi mengatakan ketupat itu sesungguhnya memiliki nilai mendalam, tak sekadar hanya makanan. “Memang ketupat atau kupat identik dengan lebaran, leburan, luberan dan laburan,”katanya.
Masing-masing memiliki arti, misalnya untuk lebaran maknanya selesai. Itu menandakan berakhirnya puasa sebulan penuh. Kemudian leburan berarti melebur atau meleburkan kesalahan. Sedangkan luberan yang bermakna melimpah artinya memberikan zakat. Dan laburan berarti pemutihan diri.
baca juga : Jangan Kotori Bumi di Hari Lebaran yang Suci
Menurut Imam, ketupat memang makanan biasa, yaitu beras yang kemudian direbus dengan bungkus anyaman janur atau daun pohon kelapa. Tetapi, jika lebih diperdalam maknanya, sebetulnya akan pesan kearifan lingkungan yang mendalam.
“Mengapa misalnya ketupat tidak menggunakan plastik saja, itu lebih efisien. Tidak perlu mengambil janur atau daun kelapa untuk dijadikan bungkus ketupat. Namun, bukan soal kepraktisan semata. Dengan menggunakan janur, sesungguhnya ada rasa memuliakan tanaman. Sebetulnya, pohon kelapa utamanya diambil buah dan kayunya. Namun, kenyataannya, bisa diambil daunnya. Ini sama saja memuliakan tanaman juga,”ungkap Imam.
Dengan menggunakan daun pohon kelapa, bukan berarti melakukan eksploitasi. Karena pengambilan daun kelapa juga tidak terbatas. Justru kalau yang diambil adalah daunnya, maka pohon kelapa harus dijaga keberadannya. Jika tidak ada pohon kelapa, tentu saja tidak bisa mengambil janur atau daunnya.
“Inilah pesan kearifan lingkungan yang ada dalam ketupat Lebaran. Bahkan, anyaman kulit ketupat juga dapat menggambarkan kondisi seseorang. Bagi mereka yang mungkin ada masalah, tentu saja anyamannya akan tidak rapi. Jadi, ada semacam komunikasi non verbal antara manusia dengan janur yang dianyam menjadi kulit ketupat,”jelasnya.
Imam mengatakan dengan mempertahankan kulit ketupat lebaran dengan daun kelapa atau janur, sesungguhnya merupakan bukti tradisi yang ramah lingkungan. Plastik memang praktis dan bisa menjadi pengganti janur. Namun, janur atau daun kelapa tetap dipertahankan.
“Zaman memang berubah, tetapi ya kita sendiri yang harus bisa menjaga lingkungan. Kalau plastik sebagai pengganti janur, maka akan muncul masalah lingkungan, karena ada tambahan bahan pencemaran,”tandasnya.
Ketupat memang tak sekadar makanan biasa, tetapi telah menjadi ikon atau simbol kekerabatan. Dan ternyata, ketupat yang mempertahankan kulitnya dengan janur atau daun kelapa lebih ramah lingkungan.