Negeri Belanda memiliki luas wilayah 41.543 km2 (sekitar tujuh kali luas pulau Bali), dengan populasi penduduk berdasarkan sensus 2018 lebih kurang 17 juta jiwa. Menariknya berdasarkan Dutch Cycling Vision (2018) ada 22 juta jumlah sepeda di seluruh Belanda, yang berarti lebih banyak dari total populasi penduduknya.
Jika ditarik angka rata-rata, maka akan ada 1,3 sepeda per penduduk. Artinya, setiap orang di Belanda paling tidak mempunyai satu sepeda. Menariknya bersepeda bagi orang Belanda saat ini, bukan lagi untuk ‘gaya-gaya’-an tapi bagian dari budaya kehidupan sehari-hari.
Tumbuhnya kebiasaan bersepeda ini pun berkontribusi sangat signifikan pada peningkatan taraf hidup masyarakat, utamanya persoalan lingkungan hidup. Jika dibandingkan dengan produksi emisi berbagai jenis transportasi lain, bersepeda jelas menghasilkan jejak karbon yang jauh lebih minim.
Jejak emisi yang rendah tentu akan berpengaruh secara vital pada peningkatan kualitas udara. Berdasarkan penelitian, bersepeda hanya menghasilkan jejak karbon sekitar 21 gram karbon dioksida per kilometer.
Angka ini merupakan jumlah emisi yang sangat rendah, lebih rendah sepuluh kali lipat dari emisi yang dihasilkan dari berkendaraan energi fosil, yang bahkan masih lebih rendah daripada berjalan kaki atau naik bus.
Menariknya Kota Amsterdam, -ibukota Belanda, berdasarkan Clean Air Action Plan (2019) pernah mengalami permasalahan polusi udara akibat emisi hasil kegiatan lalu lintas, mesin bergerak, transportasi laut dan industri.
Segala aktivitas tersebut memaparkan kandungan nitrogen dioksida (NO2) dan partikel (PM 10 dan PM 2.5). Zat-zat ini adalah resiko terbesar bagi kesehatan, memperbesar peluang terjadinya penyakit jantung, paru kronis, diabetes, kanker, serta berpotensi memicu hasil kelahiran yang tidak sempurna.
Dengan kesadaran yang timbul dari masyarakat, kampanye bersepeda pun dimulai di Belanda. Beragam kalangan, muda, tua, anak-anak, macam-macam kelas strata sosial pun mulai menggunakan kendaraan kayuh roda dua ini. Hasilnya, sejak tahun 2008 hingga tahun 2017, kandungan zat berbahaya seperti NO2 dan partikel (PM 10 dan PM 2.5) di Amsterdam berangsur-angsur mengalami penurunan.
Kondisi kualitas udara yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir membuat sebagian besar wilayah di Amsterdam sekarang sesuai dengan standar kualitas udara Uni Eropa.
Infrastruktur yang amat mendukung membuat reputasi bersepeda di Belanda berkembang secara signifikan. Arsip dari Dewan Sepeda Belanda pada tahun 2017 mencatat bahwa panjang jalur sepeda di Belanda sudah mencapai angka 35.000 km. Terpantau 25 persen dari total perjalanan yang dilakukan oleh penduduk Belanda dilakukan dengan bersepeda.
Baca juga: Kultur Bersepeda dan Transportasi era New Normal
Bagaimana Situasi di Indonesia?
Perlu diakui, ada perbedaan yang jauh dengan kultur bersepeda di Indonesia, Pun, belum data pasti tentang total jumlah kepemilikan sepeda di Indonesia, termasuk di DKI Jakarta, sebagai kota terbesar di Indonesia.
Di Jakarta, transportasi sebagai basis pergerakan masyarakat masih menggunakan energi berbahan fosil. Berdasarkan dokumen berjudul Sumber Utama Polusi di Jakarta (2020), asap knalpot kendaraan menjadi sumber utama polusi udara di Jakarta.
Saat musim penghujan, asap knalpot menyumbang 32-41 persen jejak karbon di udara. Sedangkan pada saat musim kemarau, jumlah kendaraan yang biasanya semakin padat membuat asap knalpot dari aktivitas ini berkontribusi lebih besar lagi, yakni 42-57 persen.
Aktivitas transportasi yang tidak ramah lingkungan ini membuat rata-rata konsentrasi tahunan zat PM 2.5 di DKI Jakarta lebih tinggi empat sampai lima kali dibandingkan standar pedoman kualitas udara dari WHO.
Jakarta, -kota dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa, pun menjadi penyumbang terbesar jumlah kematian yang dikaitkan dengan PM2.5 secara nasional. Dari setiap 100.000 jiwa, ada 36 orang penduduk Jakarta yang menderita kematian dini.
Selain itu, diperkirakan terdapat 5,5 juta kasus penyakit terkait polusi udara yang dilaporkan di Jakarta pada tahun 2010 atau sama dengan 11 kasus per menit.
Meski begitu bukan tidak ada titik cerah, trend saat ini mulai memperlihatkan perkembangan positif kesadaran penggunaan sepeda sebagai transportasi alternatif dalam aktifitas sehari-hari.
Data Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), jumlah pesepeda yang berlalu lintas di Jakarta, sebelum pembatasan mobilitas manusia sebelum pandemi COVID-19, meningkat hingga 1.000 persen.
Dalam suatu observasi yang mereka lakukan di suatu kawasan bisnis di kota Jakarta, jumlah pesepeda dari yang awalnya hanya berada di angka 25 per hari, naik drastis menjadi sekitar 235 pesepeda. Meski positif, namun angka ini sebenarnya masih menunjukkan partisipasi yang rendah terkait iklim bersepeda di Jakarta.
Sayangnya, kebijakan yang ada pun tampak kontradiktif. Ambilah contoh, viralnya kasus wacana pembongkaran jalur sepeda permanen pada salah satu wilayah strategis di kota Jakarta yang diajukan oleh elite di negeri ini. Jalur khusus sepeda yang hanya sepanjang 11,8 km dianggap bukan bagian dari solusi dan hanya membuat kemacetan lalu lintas menjadi semakin bertambah parah.
Bandingkan dengan total jumlah panjang jalan diatas 6.000 km, jalur sepeda di DKI Jakarta berdasarkan Majalah Tempo hanya sepanjang 93 km. Angka ini tentu sangat rendah jika membandingkan dengan panjang jalur sepeda di Amsterdam yang mencapai angka 500 km.
Baca juga: Cerita Sepeda Bambu yang Dikayuh Jokowi
Bersepeda untuk Kesehatan dan Lingkungan
Melihat fenomena ini, tidak ada jalan lain untuk menuju kualitas udara yang baik selain menekan jejak karbon yang dihasilkan oleh aktivitas transportasi. Bersepeda adalah salah satu opsi yang sangat direkomendasikan.
Selain rendah karbon, aktivitas bersepeda yang dominan juga berdampak pada semakin masifnya ruang terbuka hijau di suatu wilayah. Sebab, moda transportasi lain seperti mobil dan bus tentu memerlukan banyak ruang.
Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, kota seperti Jakarta yang luasnya 661,5 km², untuk menuju kota netral karbon dapat mempertimbangkan memilih transportasi yang minim menggunakan ruang, contohnya seperti sepeda.
Kendaraan dengan ukuran yang besar lazimnya akan menghabiskan ruang di jalan raya. Konsekuensi logis dari jumlah mobil yang mendominasi adalah kebutuhan ruang yang juga lebih banyak untuk berfungsi sebagai lahan parkir.
Alih-alih menebang pohon untuk dijadikan lahan parkir kendaraan, akan jauh lebih baik jika ia dijadikan ruang terbuka hijau yang dapat menjadi ‘oase’ bagi nafas warga perkotaan.
Di sisi lain, sepeda hanya membutuhkan ruang kecil untuk parkir, bahkan dapat dengan mudah diintegrasikan ke berbagai fasilitas umum lain, seperti trotoar atau sisi halaman dari taman publik. Semoga ke depan, kota-kota hijau dengan warga yang aktif berkendaraan ramah lingkungan, dapat terwujud di Indonesia.
* Irsyad Madjid, penulis adalah pemerhati lingkungan dan Aktivis Kader Hijau Muhammadiyah (KHM).