- Kayu hitam atau kayu eboni [Diospyros celebica Bakh], merupakan kayu endemik Sulawesi yang telah diperdagangkan sejak abad ke-18.
- Karena kualitasnya yang baik, kayu ini termasuk komoditas ekspor yang sangat mahal dan mempunyai banyak kegunaan termasuk untuk tiang jembatan, venir mewah, mebel, patung, ukiran, dan hiasan rumah.
- Akibat eksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestarian produksi dan illegal logging, di Sulawesi Tengah potensi eboni di hutan alam berkurang.
- Kayu eboni berada di Provinsi Sulawesi Tengah pada wilayah Kabupaten Poso, Donggala, dan Parigi.
Di Sulawesi terdapat flora yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namanya Diospyros celebica Bakh. Tumbuhan ini sering disebut dengan nama kayu hitam atau kayu eboni. Kayu endemik Sulawesi ini diperkirakan telah diperdagangkan mulai abad ke-18 dan dilaporkan sebagai kayu mewah di Indonesia. Kayu bernilai tinggi ini dapat dilihat di Provinsi Sulawesi Tengah, wilayah Kabupaten Poso, Donggala, dan Parigi. Coraknya indah, dengan kayu teras berwarna hitam bergaris kemerah-merahan.
Dalam buku berjudul “100 Spesies Pohon Nusantara: Target Konservasi Ex Situ Taman Keanekaragaman Hayati” [2019], dijelaskan bahwa eboni merupakan pohon sedang dengan batang lurus yang dapat mencapai tinggi 40 meter. Daun tunggalnya berseling, berbentuk memanjang, berukuran 10-35cm x 2-7 cm. Permukaan bawahnya berbulu halus dan berwarna hijau abu-abu.
Permukaan atas daun mengkilap, hijau tua. Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu. Buah muda berwarna hijau dan buah masak berwarna kuning sampai cokelat. Pohon ini tumbuh di hutan primer dataran rendah pada tanah liat, pasir, atau tanah berbatu yang mempunyai drainase baik, pada ketinggian kurang dari 400 mdpl.
“Karena kualitasnya yang baik, kayu ini termasuk komoditas ekspor yang sangat mahal dan mempunyai banyak kegunaan. Seperti untuk tiang jembatan, venir mewah, mebel, patung, ukiran, dan hiasan rumah. Jenis ini merupakan flora identitas Sulawesi Tengah,” demikian penjelasan di buku tersebut.
Salah satu lokasi yang melakukan pengolahan kayu eboni ada di Kelurahan Ranononcu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tempat ini sebelumnya dikenal sebagai pusat pembuatan suvenir yang bahannya dari kayu eboni. Kayu tebal dan keras itu disulap menjadi replika kapal pinisi, gantungan kunci, sendok garpu, asbak, kemudi kapal, papan nama, dan lain sebagainya.
Baca: Kayu Eboni Terbatas, Mampukah Perajin Kecil Bertahan?
Dalam Jurnal Agroland, Agustus 2015, berjudul “Sebaran, Potensi, dan Kualitas Kayu Eboni di Sulawesi” disebutkan bahwa eksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestarian produksi dan illegal logging di Sulawesi Tengah, menyebabkan menurunnya potensi eboni di hutan alam. Pemerintah, ketika itu mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 31/KPTS-IV/86 mengenai penertiban kayu eboni [pelarangan penebangan baru].
Selain itu, sejak 1998, dalam Daftar Merah IUCN, kayu eboni dimasukkan kategori Vulnerable. Pada 12 Juni 2013, jenis ini masuk Appendix II CITES yang berarti hanya dapat diperdagangkan berdasarkan kuota.
Penelitian tersebut menjelaskan daerah utama penyebaran eboni di Sulawesi Tengah. Meski demikian eboni dapat juga ditemui di daerah selatan yaitu Maros [Sulawesi Selatan] dan paling utara, perbatasan Sulawesi Tengah dengan Gorontalo.
Untuk sebaran dan potensinya di Sulawesi, hingga kini belum diketahui pasti. Untuk tegakan tersisa, diperkirakan hanya ditemukan pada areal dilindungi, sedangkan di luar areal tersebut diperkirakan cenderung berkurang terutama di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat akibat laju deforestasi.
Baca: Rukam, Pohon Berduri yang Digunakan Melawan Tentara Belanda
Menariknya, dalam sebuah laporan penelitian KontraS [Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan] Februari-Maret 2004 berjudul “Bisnis Militer di Poso, Sulawesi Tengah” dijelaskan bahwa kayu yang populer dengan banyak sebutan, misalnya fancy wood, banyak diminati orang, baik di dalam maupun luar negeri.
Untuk luar negeri, negara-negara yang banyak memesan antara lain Jepang, Hong Kong, Italia, Eropa dan Malaysia. Masing-masing tujuan memiliki jenis kayu yang disukai. Penjualannya menggunakan penghitungan kilogram, berbeda dengan di Indonesia yang dihitung dengan kubik [m3].
“Karena itu, harganya tergolong tinggi untuk ukuran kayu alam. Satu kubik di pasaran gelap, biasanya di Malaysia, Jepang atau China, sekitar 5-6 juta Rupiah. Sedang harga patokan pemerintah ketika itu cuma 3-4 juta Rupiah. Untuk penjualan kayu hitam harus dalam bentuk jadi, tidak bisa gelondongan,” demikian penjelasan laporan itu.
Baca juga: Terancam Punah, 30 Persen Spesies Pohon di Bumi akibat Penebangan dan Perubahan Iklim
Abdul Haris Mustari, dalam bukunya “Manual Identifikasi dan Bio Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi” menjelaskan, di Indonesia terdapat tujuh spesies anggota genus Diospyros, yaitu Diospyros celebica Bakh, D. rumphii Bakh, D. lolin Bakh, D. ebenum Koen, D. ferrea Bakh, D. pilosanthera Blanco, dan D. machrophylla Blanco.
Dari tujuh jenis kayu tersebut, yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat diminati konsumen di pasaran kayu domestik dan internasional adalah Diospyros celebica dan Diospyros rumphii.
Keberadaan Diospyros celebica di daratan utama Sulawesi, sementara Diospyros rumphii di Kepulauan Sangihe dan Talauh di Sulawesi Utara, serta di Halmahera dan Morotai.
“Diospyros celebica dan Diospyros rumphii memiliki kesamaan corak dan kualitas, sehingga kadang dianggap sama di pasaran,” tulisnya.