- Para peneliti berhasil menemukan anggrek spesies baru dari kawasan Wallacea, tepatnya di daerah Sulawesi Selatan, bernama Eulophia lagaligo atau anggrek La Galigo, akhir 2019 lalu.
- Distribusi Eulophia lagaligo sejauh ini terbatas pada dua pulau di Wallacea. Selama ekspedisi tahun 2008, tumbuhan hidup ini ditemukan di habitat yang relatif terbuka di Cani Sirenreng, Sulawesi Selatan, pada ketinggian 100–600 meter.
- La Galigo merupakan epos besar yang sudah ada sejak abad ke–14, berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dokumenter memori dunia dan merupakan salah satu karya sastra paling produktif di dunia.
- Indonesia diperkirakan memiliki 25 persen dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia. Famili tumbuhan yang memiliki anggota spesies paling banyak adalah Orchidaceae [anggrek-anggrekan], yakni mencapai 4.000 spesies.
Anggrek merupakan jenis tanaman yang memiliki pesona kuat. Bentuk bunganya yang beragam dan unik, membuatnya menjadi magnet kuat bagi pencinta tanaman. Anggrek merupakan tanaman berbunga yang digolongkan dalam famili Orchidaceae dan suku terbesar dalam Spermatophyta.
Tanaman berbunga indah ini tersebar luas di pelosok dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan, di seluruh dunia terdapat sekitar 20.000 spesies anggrek dengan 900 genus, yang tersebar di 750 negara. Sekitar 5.000 spesies, tersebar di Indonesia.
Akhir Desember 2019, para peneliti menemukan anggrek spesies baru dari kawasan Wallacea, tepatnya di Sulawesi Selatan. Namanya Eulophia lagaligo. Temuan ini bermula pada 2008, ketika peneliti Destario Metusala bersama tim dari Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi [LIPI/BRIN] menemukan spesimen anggrek dari genus Eulophia di Sulawesi Selatan.
Meski demikian, spesies anggrek Eulophia lagaligo sebenarnya pernah ditemukan sebelumnya oleh taksonom C.L. Blume pada 1859, berdasarkan spesimen dari pulau Timor dengan nama Eulophia bicolor. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa nama spesies tersebut menjadi tidak diterima dikarenakan nama itu telah digunakan sebelumnya oleh taksonom N. A Danzell tahun 1851, untuk spesies yang berbeda.
“Dalam kajian taksonomi, sebuah nama spesies hanya boleh dipergunakan satu kali untuk sebuah taksa. Selain itu, selama ini anggrek Eulophia bicolor oleh Blume dianggap spesies yang sama dengan Eulophia nuda karena kemiripannya,” kata Destario dikutip dari Lipi.go.id.
Baca: Mengapa Bunga Ini Disebut Anggrek Hantu?
Setelah dilakukan studi mendalam, Destario berhasil membuktikan jenis anggrek sebelumnya, yakni Eulophia bicolor berbeda dengan Eulophia nuda. Lalu, karena nama Eulophia bicolor sudah dipakai, mereka kemudian memberikan nama Eulophia lagaligo untuk spesies baru tersebut. Dijelaskannya lagi bahwa spesies baru Eulophia lagaligo memiliki kemiripan dengan Eulophia nuda.
“Perbedaanya ada di bentuk dagu bunganya yang berasal dari kaki tugu dan bibir-bunga dan menekuk kebawah. Tugu bunganya lebih ramping, serta penutup anther yang memiliki sebuah tonjolan memanjang,” ujar Destario.
Menurut dia, Eulophia lagaligo memiliki perbungaan tegak dengan 5-14 kuntum yang mekar hampir serentak. Bunganya yang kehijauan memiliki lebar 2,2-2,8 cm dengan perhiasan tidak membuka secara penuh. Sementara bibir bunga yang kehijauan juga memiliki corak keunguan hingga merah muda di bagian tengahnya.
Baca: Anggrek Biru, Si Cantik dari Pulau Waigeo yang Belum Dilindungi
Temuan Destario Metusala tersebut telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada September 2019. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa distribusi Eulophia lagaligo terbatas pada dua pulau di Wallacea.
Selama ekspedisi tahun 2008, tumbuhan hidup ini ditemukan di habitat yang relatif terbuka di Cani Sirenreng, Sulawesi Selatan, pada ketinggian 100–600 M. Catatan sebelumnya dari takson ini berasal dari Gunung Pasangmalambe, Sulawesi Selatan [Smith, 1922] dan Pulau Timor, Kepulauan Sunda Kecil [Blume, 1859].
Dalam jurnal tersebut, Destario menjelaskan nama La Galigo yang melekat pada anggrek secara etimologi mengacu pada epos La Galigo yang sudah ada sejak abad ke-14 dalam bahasa kuno orang Bugis dari Sulawesi Selatan, yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dokumenter memori dunia. Juga, merupakan salah satu karya sastra paling produktif di dunia.
Populartias La Galigo telah diakui banyak pihak, bahkan disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia yang mengalahkan cerita epik dari India yakni Mahabarata dan Ramayana, serta cerita epik dari Yunani, Homerus. Saking banyaknya cerita dalam karya La Galigo, jumlah halaman ceritanya diperkirakan sebanyak 6.000 halaman.
Baca juga: Dian Rossana Anggraini, Pelestari Anggrek di Bangka Belitung
Sementara itu, jurnal lainnya yang ditulis oleh Cecep Kusmana dan Agus Hikmat dengan judul “Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia, [2017]” menerangkan, untuk tumbuhan, Indonesia diperkirakan memiliki 25 persen dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia. Atau, merupakan urutan negara terbesar ketujuh dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies, yang sekitar 40 persen merupakan tumbuhan endemik atau asli Indonesia.
Famili tumbuhan yang memiliki anggota spesies paling banyak adalah Orchidaceae [anggrek-anggrekan], yakni mencapai 4.000 spesies.
Meski demikian, eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati, penebangan liar, konversi kawasan hutan menjadi areal lain, perburuan dan perdagangan liar adalah beberapa faktor yang menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati.
Dalam jurnal itu, keduanya menulis bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman dan kepunahan spesies tumbuhan tertinggi di dunia dan merupakan hot-spot kepunahan satwa. Tercatat, sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan langka, diantaranya banyak yang merupakan spesies budidaya, paling sedikit 52 spesies keluarga anggrek.