- Perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak datang kembali ke Jakarta menyuarakan tuntutan pencabutan izin dan penutupan perusahaan bubur kayu, PT Toba Pulp Lestari yang beroperasi di wilayah adat mereka. Agustus lalu, perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak, juga datang ke Jakarta dan sempat bertemu Presiden Joko Widodo.
- Mersy Silalahi, perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak konferensi pers daring pekan lalu mengatakan, kedatangan mereka untuk menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah. Harapannya, Presiden Joko Widodo bersedia menemui mereka.
- Sinung bilang, AMAN beserta 30 lembaga lain tergabung dalam aliansi ikut serta mendukung perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak. Dengan harapan hak-hak masyarakat adat Tano Batak, bisa segera kembali kepada mereka.
- Berdasarkan data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), sejak 2002, terjadi 16 kasus kriminalisasi kepada masyarakat adat atas laporan TPL. Dari jumlah itu, setidaknya ada 12 komunitas masyarakat adat dan 93 masyarakat adat jadi korban kriminalisasi. Sekitar 40 orang diadili, 39 orang dinyatakan bersalah dan satu orang bebas murni. Sekitar 47 orang berstatus tersangka dan enam orang terlapor.
Sekitar 40 orang perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak melakukan perjalanan darat dari Sumatera Utara tiba di Jakarta 13 November lalu. Kedatangan mereka kembali menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah untuk mencabut izin dan menutup perusahaan kayu PT Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka nilai, perusahaan bubur kertas itu sejak lama beroperasi di wilayah adat dan menimbulkan banyak kerugian.
Pada Rabu (24/11/21), perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL bersama massa aksi dari jaringan organisasi petani, buruh, lingkungan dan mahasiswa aksi di Kementerian Maritim dan Investasi. Hari ini, aliansi akan aksi di depan istana Negara di Jakarta.
Mersy Silalahi, perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak konferensi pers daring pekan lalu mengatakan, kedatangan mereka untuk menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah. Dia berharap, Presiden Joko Widodo bersedia menemui mereka.
“Kami datang ke Jakarta untuk menjumpai Bapak Presiden Jokowi dan Ibu Menteri Siti Nurbaya untuk menyampaikan keluh kesah perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat yang dilakukan TPL. Kami meminta agar TPL ditutup dan hak-hak masyarakat adat dikembalikan,” katanya.
Selama TPL beroperasi di wilayah adat mereka, warga merasakan banyak kerugian dari pencemaran lingkungan, sampai kriminalisasi.
“Kami sangat merasakan ketidakadilan dari negara yang membiarkan TPL tetap beroperasi di Tanah Batak.”
TPL, katanya, tak mempedulikan keberadaan masyarakat adat di sana. Mereka juga dianggap mencemari lingkungan, mendirikan camp dekat sumber mata air, ambil air untuk penyemprotan dan meninggalkan sisa-sisa pestisida hingga air diduga tercemar.
“Banyak ikan di sana mati. Kami juga merasakan hal itu. Saya memasak kotoran dari TPL dan memberikan kepada anak dan suami saya dan juga ibu-ibu serta keluarga lain di sana,” katanya.
Mersy bilang, warga sempat melaporkan itu kepada Dinas Lingkungan Hidup. Kala itu sempat terjadi perjanjian antara warga dan TPL untuk tak lagi mendirikan kemah di dekat umbul atau mata air. Namun, katanya, perjanjian dilanggar. Seminggu setelah perjanjian dibuat, mereka kembali mendirikan camp di tempat itu.
“Mereka tidak menghargai manusia. Tahun 2019, TPL juga melakukan kriminalisasi kepada suami saya. Ditangkap dua orang dan dipenjara sampai enam bulan. Anak saya tidak mau pergi ke sekolah karena diolok-olok temannya. Itu sangat menyakitkan,” katanya.
Baca juga: Kala Presiden Janji Selesaikan Masalah Hutan Adat di Kawasan Danau Toba
Berdasarkan data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), sejak 2002, terjadi 16 kasus kriminalisasi kepada masyarakat adat atas laporan TPL. Dari jumlah itu, setidaknya ada 12 komunitas masyarakat adat dan 93 masyarakat adat jadi korban kriminalisasi. Sekitar 40 orang diadili, 39 orang dinyatakan bersalah dan satu orang bebas murni. Sekitar 47 orang berstatus tersangka dan enam orang terlapor.
“Kami ingin tanah leluhur, tanah adat kembali kepada kami. Saya meminta kepada Bapak Jokowi dan Ibu Siti Nurbaya. Tolong kami pak, tolong kami bu. Kami bukan perampas hak. Kami hanya meneruskan dari warisan atau titipan leluhur kami,” katanya.
Dia bilang, di tengah pandemi Corona terpaksa melakukan perjalanan panjang dari Medan ke Jakarta.
“Tampaknya, aksi jalan kaki yang kami lakukan Agustus lalu belum mampu menggugah hati orang nomor satu di negara ini untuk mencabut izin dan menutup TPL.”
TPL masuk ke wilayah adat mereka sejak 1982. Dulu, nama perusahaan PT Inti Indorayon Utama, sebelum berganti nama. Perusahaan itu beroperasi diawali dengan peta penunjukan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) yang hingga kini sudah revisi delapan kali yang berhubungan dengan luas kerja TPL.
Surat keputusan terakhir TPL lewat SK 307/ 2020 ini malah . Perubahan ini membuat luas area kerja TPL bertambah jadi 167.912 hektar tersebar di 12 kabupaten.
Muhammad Isnur dari YLBHI mengatakan, konsesi TPL masuk dalam beberapa jenis kawasan hutan yang tak dibenarkan secara hukum. Konsesi ada dalam kawasan hutan lindung 11.582,22 hektar, hutan produksi tetap 122.368,91 hektar, hutan produksi terbatas 12.017,43 hektar, hutan produksi dikonversi 1,9 hektar, dan areal penggunaan lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari 188.055 hektar konsesi TPL, sekitar 28% berada di hutan lindung, hutan produksi konversi dan APL. Analisis itu dibikin sebelum UU Cipta Kerja.
UU Cipta kerja mengubah aturan. Hutan produksi terbatas gabung dengan hutan produksi tetap. Jadi, luas TPL bertambah secara legal padahal hukuman atas sebelumnya belum dijatuhkan pemerintah.
Isnur bilang, sekitar 34.817 hektar konsesi TPL di daerah tangkapan air (catchment area) Danau Toba, terdapat 55 sungai besar dan 3.039 anak sungai jadi pemasok air untuk Danau Toba.
“Kami meminta pemerintah menutup PT TPL karena sejak berdiri tidak memberikan manfaat baik untuk negara terlebih untuk rakyat sekitar konsesi TPL.”
Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL
Sinung Karto dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, Masyarakat adat Tano Batak sudah merasakan banyak kerugian karena operasi TPL. Banyak sekali penderitaan dialami oleh kaum perempuan, anak-anak, para orangtua. Bahkan, banyak anak mereka tak bisa melanjutkan sekolah.
“Mengapa pilihan mereka ke Jakarta di tengah situasi sulit seperti ini? Sebab, tidak mungkin harus menunggu terlalu lama. Karena penderitaan itu tak sebentar, tapi satu generasi. Sudah banyak suara, sudah serak atau mungkin hilang.”
Keringat, darah, air mata, moril, materil yang mereka keluarkan untuk memperjuangkan, dan mengembalikan tanah-tanah mereka.
Di kabupaten, upaya berkali-kali sudah mereka lakukan. Pun di tingkat provinsi maupun nasional. Walau mereka sudah melakukan berbagai upaya, belum juga bisa ada hasil. Kembali ke Jakarta pun jadi pilihan untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka.
“Tentu mereka akan memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia. Mekanisme-mekanisme yang tersedia di negara ini. Mereka akan mendatangi istana.”
Harapan mereka, katanya, bisa diterima Presiden Jokowi dan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ke Komnas HAM, KSP, dan Ombudsman. Mereka juga akan ke KPK melaporkan dugaan penggelapan.
Mereka juga akan ke Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi guna melaporkan dugaan perbudakan di perusahaan.
Baca juga: Aksi Jalan Kaki dari Sumut ke Jakarta, Demi Kelestarian Danau Toba
Sinung bilang, AMAN beserta 30 lembaga lain tergabung dalam aliansi ikut serta mendukung perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak. Dengan harapan hak-hak masyarakat adat Tano Batak, bisa segera kembali kepada mereka.
“Harapannya nanti, lebih bisa cepat didengar oleh pemerintah. Tidak hanya didengar, juga bisa segera ditindaklanjuti apa yang menjadi keluhan dan permintaan masyarakat,” katanya.
Benni Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, kedatangan 40 warga ke Jakarta merupakan perjalanan menuntut hak kepada presiden.
Selama ini, katanya, sudah banyak upaya Masyarakat Adat Tano Batak dalam memperjuangkan hak ulayat mereka.
“Pada Agustus kemarin, sebenarnya mereka juga sudah aksi jalan kaki ke Jakarta. Waktu itu kawan-kawan sempat bertemu presiden untuk menyampaikan aspirasi agar pemerintah serius menyelesaikan konflik. Jokowi berjanji menyelesaikan perkara ini dalam waktu satu bulan,” katanya. Sayangnya, hingga kini tak ada langkah konkrit.
Dia bilang, yang dihadapi Masyarakat Adat Tano Batak itu merupakan cerminan dari berbagai konflik agraria di Indonesia. Berbagai konflik agraria yang berdekade ini, melahirkan banyak korban, rakyat ditangkap, tak jarang menyebabkan korban jiwa.
“Itu karena tidak ada keseirusan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini. Akibatnya, konflik-konflik itu berlarut. Hingga korban terus bertambah. Makin terjadi pelanggaran HAM meluas.”
KPA mencatat, sepanjang 2015-2020, terjadi 2.291 letusan konflik agraria. Konflik lama terjadi dan terakumulasi dengan konflik-konflik baru.
Kondisi ini, katanya, menandakan tak ada upaya serius pemerintah menyelesaikan konflik agraria ini, salah satu yang dihadapi Masyarakat Adat Tano Batak.
Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka
*****
Foto utama: Aksi di depan Kantor Kementerian Maritim dan Investasi, Rabu (24/11/21). Foto: dari Facebook Abdon Nababan/ Aliansi Gerak Tutup TPL