- Sekolah Lapang yang dilaksanakan oleh HuMa dan AMAN Sulsel di komunitas adat Marena, di Kabupaten Enrekang, Sulsel, memberdayakan generasi muda Marena hingga melek hukum dan adat.
- Sekolah Lapang Marena ini juga bertujuan untuk melatih generasi muda Marena untuk bisa melakukan pemetaan potensi wilayah adatnya.
- Komunitas adat Marena telah mendapat pengakuan komunitas dan Hutan Adat dari pemerintah sejak 2018 lalu.
- Penetapan Hutan Adat memberikan ketenangan bagi masyarakat adat mengelola hutannya secara mandiri dengan tetap berpegang pada azas berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat rentan sekitar hutan.
Haeriah adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus rumah tangga dan membantu suami di kebun. Selama ini, tak banyak hal yang diketahui dan dijalani selain masalah-masalah domestik rumah tangga. Bahkan informasi terkait adat istiadat di desanya hanya diketahui samar-samar.
“Sekolah lapang ini bagi kami sebagai ibu rumah tangga, sangat bermanfaat. Ilmu saya bertambah. Tadinya saya tidak paham masalah hukum adat di sini dan daerah-daerah lain,” katanya, dalam kegiatan Sekolah Lapang yang diadakan di Desa Pekalobean, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/11/2021).
Sekolah lapang ini dilaksanakan oleh Perkumpulan Hukum dan Masyarakat (HuMa) kerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan. Diikuti oleh generasi muda di komunitas adat Marena, salah satu komunitas adat yang telah mendapat pengakuan Hutan Adat 2018 lalu, berlangsung pada 18-21 November 2021.
Haeriah mengakui lama meninggalkan kampung sehingga banyak hal tentang adat istiadat dan ritual-ritual yang tak dipahaminya.
“Dari sekolah lapang saya bisa paham tentang adat, misalnya kalau tanam bawang merah ada hal-hal yang harus diperhatikan, pantangan-pantangan. Saya sekarang sudah paham semua itu.”
baca : Hutan Adat Marena: Kearifan Lokal yang Dapat Pengakuan Negara

Haeriah juga bersyukur dari sekolah lapang ini ia jadi paham bagaimana mengelola sumber daya di dalam hutan adat, apalagi selama ini perempuanlah yang banyak mengakses sumber daya di dalam hutan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Dari kegiatan ini kami juga paham tentang desa dari Pak Andik Hardiyanto. Banyak potensi yang bisa digali. Selama ini kami hanya tahu tentang dapur, sumur. Pendidikan kita masih kurang. Harapan saya, semoga pemahaman bisa lebih bertambah, bisa lebih baik dari kemarin, terkait juga kesopanan dalam bermasyarakat,” katanya.
Hal yang sama diakui oleh Hariati, yang juga aktif dalam sejumlah kegiatan perempuan adat. Meski sepanjang hidupnya telah tinggal di Marena dan mengikuti setiap ritual yang dilakukan, namun pengetahuannya tentang adat istiadat di komunitasnya masih kurang.
“Dari sekolah lapang ini, berdasarkan penjelasan dari pemangku adat, saya bisa memahami tatanan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat adat. Contohnya, apa saja yang dilarang dan boleh dilakukan di wilayah adat. Hal baru yang saya dapatkan meski selama ini hidup di wilayah adat, dan selalu mengikuti setiap kegiatan.”
Ia berharap Hutan Adat yang ada di desanya bisa tetap lestari dan dikelola dengan baik. Pengakuan Hutan Adat yang telah diterima komunitasnya membuatnya bersemangat dan tak ada rasa takut lagi dalam mengelola hasil hutan.
baca juga : Enam Komunitas Adat Massenrempulu Enrekang Akhirnya Diakui Negara

Suardi, salah seorang petani yang juga peserta sekolah lapang, mengakui pemahamannya tentang hukum dari kegiatan ini adalah hal yang baru, sehingga bersyukur bisa mengikuti kegiatan ini.
“Dari dulu saya tidak paham betul tentang wilayah adat dan tatanan yang ada di dalamnya, sekarang bisa lebih mengerti. Dari materi di kegiatan ini, tentang hukum adat bisa saya pahami dengan baik. Saya juga paham bahwa dengan adanya pengakuan Hutan Adat kita bisa kelola sendiri tanpa ada rasa takut dikejar-kejar polisi, meski tetap harus dikelola secara bertanggung jawab.”
Proses belajar mengajar di sekolah lapang ini sangat dinamis dan santai, dimana para peserta sangat antusias mempelajari banyak hal, tentang adat, desa, hukum, masyarakat adat, menulis dan pemetaan potensi. Pada materi terkait teknik penulisan oleh pemateri dari Mongabay Indonesia, meski singkat, mereka bisa langsung menghasilkan tulisan terkait komunitasnya yang dibagi di media sosial masing-masing peserta.
Menurut Solihin, staf advokasi AMAN Sulsel, sebagai penanggungjawab kegiatan ini, Sekolah Lapang Marena ini bertujuan untuk melatih generasi muda Marena untuk bisa melakukan pemetaan potensi wilayah adatnya.
“Mereka dilatih untuk mampu memetakan potensi hutan adat dan biodiversity yang ada dan mampu melakukan pendataan sosial dan spasial. Mereka juga nantinya diharapkan mampu mengidentifikasi hukum-hukum adat yang berkaitan dengan hutan adat, serta melibatkan anak-anak muda mengurus wilayah adatnya,” katanya.
Kegiatan sekolah lapang di Marena ini adalah kali kedua yang dilakukan oleh HuMa dan AMAN Sulsel. Sebelumnya, tahun 2019, mereka juga melakukan kegiatan yang sama di komunitas ada Karampuang Kabupaten Sinjai, Sulsel, meski dengan pendekatan dan waktu kegiatan yang berbeda.
baca juga : Perda, Hutan Adat dan Pentingnya Pengakuan bagi Masyarakat Adat

Kondisi Saat ini
Komunitas adat Marena sendiri telah mendapat pengakuan sejak 14 Februari 2018 melalui SK Bupati Enrekang. Setelah pengakuan Pemda diperoleh, pengakuan berikut didapat dari pemerintah pusat. Bahkan SK Hutan Adat diserahkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Negara, tanggal 20 September 2018.
Piter Kadang sebagai pemangku adat Marena juga terpilih sebagai satu dari sembilan tokoh yang mendapat penghargaan karena dianggap berhasil mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan yang telah diberikan izin perhutanan sosial.
Mengenang kembali sejarah pengakuan tersebut, Piter, yang merupakan satu dari pemangku adat Marena bergelar Sianene yang berarti ‘yang dituakan’, mengakui butuh waktu 12 tahun untuk mewujudkannya, penuh dengan tantangan dan sinisme dari sejumlah pihak.
“Dulunya waktu berjuang, banyak yang tidak sepaham untuk berjuang karena menganggap adat hanya animisme. Banyak juga tak percaya ada yang namanya Hutan Adat. Banyak yang kaget dengan adanya Perda dan SK dan kemudian bertemu Presiden Jokowi. Dua kali saya bertemu Pak Jokowi,” katanya.
Di awal pengakuan, komunitas sempat melakukan kerjasama PT Adi Mitra untuk penyadapan getah pinus yang memang banyak tumbuh di kawasan tersebut, melanjutkan kerjasama yang telah dilakukan oleh perusahaan dengan pihak kehutanan.
“Untuk saat itu kami batasi, untuk coba-coba saja. Dulu sudah dikelola oleh kehutanan. Kita coba-coba satu tahun ada kontrak, kalau bagus bisa lanjut. Namun, belum setahun kami khawatir tentang kondisi hutan karena masalah teknik penyadapan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan oleh kehutanan,” jelasnya.
baca juga : Puyang Sure, Hutan Adat Berkonsep Wisata Pertama di Sumatera Selatan

Pihak perusahaan, menurut Piter melakukan penyadapan lebih dalam dari yang dianjurkan sedalam 3 cm, sementara mereka ‘menggores’ pohon hingga 6 cm. Mereka juga ‘menggores’ 8 lokasi di satu pohon sementara batasnya hanya 4 goresan. Dampaknya, di musim kemarau dimana merupakan waktu sangat baik untuk menyadap, banyak pohon yang tumbang karena kondisi pohon yang rusak diterjang angin kencang.
“Kami akhirnya putuskan untuk hentikan kontrak, dipulihkan dulu hutannya. Meski kemitraan ini menghasilkan uang yang bisa digunakan untuk kepentingan adat, namun kami khawatir jangan sampai nanti malah hutannya habis.”
Untuk pemanfaatan Hutan Adat ini, mereka fokus untuk menanami pohon kopi, alpukat, dan sejumlah tanaman lainnya. Mereka telah dua kali mendapat bantuan berupa bibit dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) KLHK wilayah Sulawesi. Bantuan pertama berupa bibit durian dan pala, sementara bantuan kedua berupa uang tunai Rp50 juta untuk pengembangan komoditi alpukat, peternakan kambing dan jati putih.
Sebagai bagian dari kesepakatan adat, pohon-pohon yang tumbang di dalam kawasan tersebut bisa diambil untuk kebutuhan adat dan masyarakat yang rentan.
“Pohon yang sudah tumbang diberikan masing-masing 1 meter kubik untuk setiap kampung, digunakan untuk kepentingan pesta, ritual, dll., namun wajib menanam sejumlah pohon sebagai gantinya. Kelebihan kayu yang tumbang lainnya diberikan kepada warga yang kami nilai kurang mampu dan kondisi papan rumahnya rusak, mereka diberi 2 meter kubik, 1 meter kubik untuk warga dan 1 meter kubik lainnya sebagai ganti biaya senso (chainsaw).”