- Di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Pagar Alam,Sumatera Selatan, warga banyak tanam jeruk untuk penuhi pasar sekaligus jadi agrowisata.
- Orang pertama yang membuka kebun jeruk untuk wisata di Dempo Utara adalah Sidarhan. Sidarhan yang mengenalkan jeruk gerga dari Kabupaten Lebong, Bengkulu ini. Kini, hampir rata masyarakat Gunung Agung menanam jeruk gerga.
- Pertanian yang menciptakan wisata (agrowisata) dapat memutus rantai pasar yang panjang. Petani, tak tergantung pasar untuk memasarkan produk mereka. Mereka, dapat menentukan harga dan membuat konsumen lebih peduli dan menghargai produk yang dihasilkan, tak sekadar cari murah.
- Hayu Dyah Patria, ahli teknologi dan pegiat pangan dari Yayasan Mantasa mengatakan, petani jangan terjebak memproduksi satu jenis komoditas dalam satu lahan. Usulannya, pola tanam tak monokultur tetapi lebih dari satu jenis pada waktu dan lahan yang sama (mixed cropping) atau pola tanam tumpang sari (inter cropping).
Samping dan belakang rumah Niandi di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Pagar Alam, penuh pohon jeruk dengan luas sekitar satu hektar. Sebelumnya, kebun warisan orangtuanya itu ditanami kopi jenis robusta. Baru lima tahun belakangan, dia mengganti dengan jeruk. Hasilnya, cukup menjanjikan bagi laki-laki yang menamatkan pendidikan menengah atas itu.
Setelah tanam dua tahun, tiap pagi, Niandi sudah bisa memetik jeruk-jeruk yang mulai menguning. Musim panen dua kali setahun.
Saat mengunjungi kebunnya, November lalu, Niandi tengah mengumpulkan jeruk ke keranjang rotan untuk memenuhi permintaan dari Palembang.
“Kadang dikirim sampai ke Jakarta dan daerah lain di Pulau Jawa. Tapi sering tak cukup kalau sudah pesanan dari Palembang terlalu banyak,” katanya, di sela-sela rehat di bawah pohon jeruk.
Selain memasarkan jeruk ke luar Kota Pagar Alam, tiap Sabtu dan Minggu atau hari libur, Niandi kerap menerima kunjungan dari masyarakat luar. Mereka bebas memetik langsung jeruk dari pohon dibekali alat pemotong. Tiap kg jeruk Rp25.000. Harga sedikit lebih tinggi bila Niandi yang memetik.
“Kalau pengunjung yang petik buah, tetap kita dampingi supaya tidak merusak tanaman. Tidak semua pengunjung paham teknik pemotongan. Mereka juga kadang tidak melihat mana buah yang layak dipotong,” kaanya, sambil memenuhi keranjang dengan jeruk.
Dari kebun jeruk Niandi, Gunung Dempo nampak menjulang. Hari itu, dia hanya mengumpulkan lima keranjang. Jeruk itu dia pindahkan ke keranjang plastik. Istrinya lalu membersihkan buah yang kaya akan vitamin c itu dengan kain basah. Setelah itu, jeruk dikemas dalam kardus ukuran 50 kilogram. Biasanya dia kirim lewat bus atau antar langsung bila pesanan banyak.
Tidak hanya Niandi yang memiliki agrowisata kebun jeruk, di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Pagar Alam, Sumatera Selatan ini. Orang pertama yang membuka kebun jeruk untuk wisata adalah Sidarhan.
Dia pula yang mengenalkan jeruk gerga dari Kabupaten Lebong, Bengkulu ini. Kini, hampir rata masyarakat Gunung Agung menanam jeruk gerga, termasuk di kebun Niandi.
Sidar, panggilan Sidarhan dulu petani sayur. Perkenalan dia dengan jeruk gerga berawal dari temannya, formulator obat tanaman dari Lebong. Ketika berkunjung ke kebun sayurnya, teman ini menyuguhi jeruk gerga. Sidar heran, rasa beda dengan jeruk lain yang biasa dia makan.
Di Lebong, ketinggian areal tanam jeruk gerga sekitar 800 mdpl. Sidar merasa cocok bila ditanam di kebunnya yang berada di 1.200 mdpl. Dia tertarik mencoba. Uji coba pertama 1,5 hektar. Setelah itu terus menerus tambah bibit dan perluasan. Sekarang, pohon jeruk gerga di kebun Sidar berkisar 3.000 batang.
“Setelah penanaman berhasil, menurut teman saya tadi lebih cocok ditanam di Pagar Alam. Mungkin karena ketinggian tempat. Jeruk gerga memang cocok di dataran tinggi. Di sini buah lebih bersih,” ucap pria yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Pagar Alam ini.
Beberapa tahun belakangan, Sidar mulai menanam jeruk batu 55. Varietas ini dari Kota Batu, Jawa Timur. Dia dapat bantuan bibit dari pemerintah. Kini, dia sisipi jeruk batu di sela-sela gerga yang sudah rutin dipetik.
“Gerga masih tetap produksi. Jeruk batu 55 untuk variasi. Kalau orang sudah bosan gerga, bisa coba yang baru ini,” katanya.
Rasa jeruk batu 55 sedikit lebih manis dari gerga. Umur tanam jeruk batu 55 sekitar empat tahun, sebelum panen. Lebih lama ketimbang jeruk gerga.
Sidar sempat konsultasi ke Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Kementerian Pertanian. Dia disarankan memperlakukan tanaman dengan stres air atau memotong akar sebagian. Selebihnya diminta bersabar.
“Kalau aku lebih senang gerga,” katanya, di sela kesibukan menyiapkan atribut pameran buah-buahan di Muara Enim.
Sebelumnya, Sidar juga petani kopi. Dia mulai mengurangi berkebun kopi karena proses terlalu panjang. Berkebun jeruk dia nilai, lebih praktis.
Begitu panen, tinggal dibersihkan, langsung salurkan ke pemesan. Sidar mengirim jeruk ke Lampung. Belum pernah eskpor.
Merujuk keterangan situs resmi Balitjestro, jeruk gerga atau yang dikenal dengan rimau gerga Lebong (RGL), berasal dari Israel. Lewat Thailand, jeruk itu pertama kali ditanam di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Seseorang bernama Gerga, membawanya ke Lebong, Bengkulu.
Pertengahan 2012, masih website sama, ada sekitar 2.500 batang jeruk gerga di lahan seluas 50 hektar. Sejak itu, jeruk gerga jadi komoditas yang berpotensi meningkatkan penghasilan masyarakat Desa Rimbo Pengadang, Kecamatan Rimbo Pengadang, Lebong, Bengkulu. Bahkan jadi target produk hortikultura unggulan nasional.
Hindari monokultur
Hayu Dyah Patria, ahli teknologi dan pegiat pangan dari Yayasan Mantasa menilai agrowisata petani, merupakan kesempatan bagus bagi petani dan konsumen untuk berinteraksi langsung.
Petani, katanya, dapat menunjukkan proses berkebun atau bertani sekaligus edukasi segala hal tentang pertanian kepada konsumen.
Pertanian yang menciptakan wisata juga dapat memutus rantai pasar yang panjang. Petani, katanya, tak tergantung pasar untuk memasarkan produk mereka. Mereka, dapat menentukan harga dan membuat konsumen lebih peduli dan menghargai produk yang dihasilkan, tak sekadar cari murah.
Dyah juga menyoroti konsep agrowisata atau metode bertani. Katanya, kebanyakan petani terjebak memproduksi satu jenis atau satu komoditas dalam satu lahan. Penggunaan pupuk dan obat-obatan tanaman pun harus jadi perhatian demi mendapatkan kualitas buah yang sehat dan aman konsumsi serta tak berdampak buruk bagi lingkungan.
Contoh, apel Malang agar produksi terus meningkat, petani memperbanyak pupuk sintetik dan obat-obatan. Hasilnya, lambat laun agrowisata apel Malang kolaps.
“Kalau ngomongin pertanian berkelanjutan, solusinya bukan monokultur. Agrowisata apel di Malang kolaps karena tanah sudah terlalu jenuh dengan pestisida dan pupuk kimia buatan. Semestinya juga mempertimbangkan keanekaragaman di atas lahan,” katanya.
Dia usul, pola tanam lebih dari satu jenis pada waktu dan lahan yang sama (mixed cropping) atau pola tanam tumpang sari (inter cropping). “Itu untuk jangka panjang. Jangan karena keuntungan besar, lingkungan dikorbankan.”
*****
Foto utama: Kebun jeruk petani di Pagar Alam ini selain memasok jeruk ke berbagai daerah juga jadi agrowisata. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia