- Sebagai negeri kepulauan dengan laut sekitar 77% dari wilayah negara, Indonesia perlu tata kelola dan kebijakan maritim yang tepat.
- Dedi Supriadi Adhuri, peneliti dari Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, tata kelola dan kebijakan maritim tidak hanya soal pembangunan dengan fokus pada infrastruktur di sektor kelautan, tetapi ekosistem alam (natural ecosystem) dan persoalan sosial budaya masyarakat setempat tidak kalah penting.
- Naimah Talib, kandidat doktor Universitas Melbourne dan peneliti tamu di PMB LIPI mengatakan, penting transformasi tata kelola dalam mendukung pemanfaatan ruang laut dan sumber daya alam yang berkelanjutan.
- Masyarakat adat atau masyarakat tradisional punya tata kelola ruang pesisir dan laut. Praktik pemanfaatan ruang oleh masyarakat adat/ tradisional, punya norma, aturan tidak tertulis, sampai hukum kalau ada pelanggaran, serta ada ‘badan pengurus’.
Laut Indonesia seluas 6,4 juta kilometer persegi atau 77% wilayah Indonesia dengan panjang garis pantai 108.000 km. Belum lagi, negeri ini punya sekitar 17.504 pulau, dengan delapan provinsi kepulauan (23,5%), 327 kabupaten/kota pesisir (63,6%) serta 140 juta dari 250 juta penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Dengan kondisi seperti itu perlu tata kelola dan kebijakan maritim yang tepat.
Dedi Supriadi Adhuri, peneliti dari Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, tata kelola dan kebijakan maritim tidak hanya soal pembangunan dengan fokus pada infrastruktur di sektor kelautan, tetapi ekosistem alam (natural ecosystem) dan persoalan sosial budaya masyarakat setempat tidak kalah penting.
“Selama tim riset maritim terjun ke lapangan, kami lebih banyak mendengarkan suara-suara atau memahami realita orang-orang pesisir. Kami mencoba memahami apa yang mereka (masyarakat) pikirkan, kerjakan dan hasilkan,” katanya.
Kemudian menghubungkan dengan kebijakan-kebijakan yang bisa mengakomodasikan potensi mereka untuk kontribusi pada pembangunan bangsa.
“Kontribusi komunitas maritim seringkali tenggelam, tidak terhitung, bahkan mereka cenderung menjadi korban dalam pembangunan maritim,” katanya dalam webinar beberapa waktu lalu.
Untuk itu, perlu pendekatan-pendekatan dengan prinsip people centred development untuk menyentuh masalah ini. Bukan pendekatan yang cenderung jadikan economic growth sebagai tujuan, aspek-aspek lain yang menghalangi tujuan ekonomi cenderung terlupakan.
Pertumbuhan ekonomi itu penting, tetapi hanya sarana mencapai tujuan. Dalam kesejahteraan,katanya, ekonomi hanya salah satu indikator, indikator lain, misal, kepuasan batin atau yang bersifat spiritual dan lain-lain.
“Bagi komunitas maritim, laut bukan sekadar tempat mencari ikan, tetapi bagian integral dari konstruksi sosial-budaya, termasuk ruang mereka mengekspresikan sistem kepercayaan berikut ritual dan identitasnya.”
Baca juga: Sasi Nggama di Kaimana, Perlindungan Adat untuk Sumber Daya Laut
Dia tegaskan, isu-isu sosial merupakan inti dari pendekatan ini untuk mengoreksi pendekatan pembangunan yang cenderung berfokus pada penekanan ekonomi. Orang pesisir, katanya, juga punya isu-isu serius lain, seperti kalau membicarakan soal pembangunan, sumber daya manusia terlupakan.
Pengetahuan tradisional tentang karakter sumberdaya ikan dan ekosistem laut, serta keahlian menangkap ikan, katanya, seringkali tidak diperhitungkan dalam program-program pembangunan. Jadi, yang mereka kontribusikan tidak kelihatan. Belum lagi, kecenderungan publik dan pemerintah mengasosiasikan nelayan dan komunitas pesisir melulu dengan kemiskinan dan berbagai macam keterbatasan.
Alhasil, mereka cenderung jadi korban dari program-program kemaritiman top-down itu.
“Orang Bajau atau orang laut, misal, masih sering dimarginalkan. Padahal, merekalah yang benar-benar paham tentang laut. Kalau kita ingin membangun budaya maritim, kita tidak dapat lari dari mereka dalam maritime development. Merekalah sejatinya pemangku kebudayaan maritim,” katanya.
Tata kelola maritim, katanya, juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah terkini terkait konektivitas poros maritim. Penekanan dari kebijakan konektivitas ini yang paling menggema adalah tol laut atau terkait konstruksi mega proyek. Kemudian komunitas pesisir di sekitar pelabuhan dan komunitas pelayaran, katanya, jadi marjinal dibanding kegiatan-kegiatan utama pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas di pesisir ini.
Seharusnya, kata Dedi, pembangunan berpusat pada manusia. Dengan pendekatan pembangunan yang berfokus pada peningkatan kemandirian masyarakat lokal, keadilan sosial, dan pengambilan keputusan partisipatif.
“Yang saya lihat, pertumbuhan ekonomi tidak inheren berkontribusi pada pembangunan manusia dan menyerukan perubahan sosial, nilai dan praktik politik maupun lingkungan yang berkeadilan dan berkelanjutan.”
Naimah Talib, kandidat doktor Universitas Melbourne dan peneliti tamu di PMB LIPI mengatakan, perlu pemahaman terhadap implikasi keadilan sosial yang multidimensional dalam menjalankan program tol laut di Indonesia.
Dia bilang, penting transformasi tata kelola dalam mendukung pemanfaatan ruang laut dan sumber daya alam yang berkelanjutan. “Sebenarnya, instrumen dan kebijakan sudah banyak baik di level internasional, nasional, maupun lokal untuk menjembatani tujuan-tujuan besar agar laut ini bisa dikelola secara berkelanjutan,” katanya.
Dia contohkan, ada soal rencana tata ruang laut (RTRL), manajemen wilayah pesisir terintegrasi, kawasan konservasi perairan dan aichi bidoversity target.
Instrumen itu, katanya, sulit terimplementasi karena banyak tantangan seperti di Uni Eropa, rencana tata ruang laut (RTRL) buat mengamankan ruang laut dan pesisir untuk pembangunan pelabuhan skala besar, alur laut untuk sirkulasi logistik sibuk, dan aktivitas tambang bawah laut intens.
Di Caribbean dan Asia Tenggara, peneliti melihat perencanaan dan implementasi kawasan konservasi perairan kurang melibatkan secara substantif masyarakat pesisir dan nelayan tradisional atau skala kecil. Dengan begitu, kehidupan masyarakat makin sulit, dibandingkan sebelum kawasan itu terformalisasi.
Di Indonesia, kawasan konservasi perairan sudah mencapai 23, 4 juta hektar atau 7% dari luas laut Indonesia. Namun, katanya, belum ada penilaian kualitas dan proses deliberasi sosial.
Baca juga : Poros Investasi, Penggeser Poros Maritim
Ada temuan pula, katanya, soal rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di provinsi dan kabupaten kota cukup problematik. Seperti di Bangka dan Lampung, kawasan konservasi perairan dikelilingi pertambangan.
“Termasuk juga di Kalimantan Utara. Hampir setengah wilayah dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan. Ini membuat para peneliti melihat, aktivitas ini mengganggu ekosistem di kawasan konservasi itu.”
Naimah mengatakan, pemanfaatan ruang pesisir dan laut sudah lama terbentuk dalam mendukung kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif atau tidak berkelanjutan.
“Pesisir dan laut telah lama dilihat dari kacamata ‘daratan’ dan terpisah dari daratan oleh pembuat kebijakan, khusus untuk kepentingan pembangunan ekonomi yang sangat cepat, hingga mengecilkan kesempatan mengadopsi perspektif kelautan.”
Padahal, katanya, masyarakat adat atau masyarakat tradisional punya tata kelola ruang pesisir dan laut. Praktik pemanfaatan ruang oleh masyarakat adat/ tradisional, katanya, punya norma, aturan tidak tertulis, sampai hukum kalau ada pelanggaran, serta ada ‘badan pengurus’.
Pesisir dan laut mereka manfaatkan sebagai sumber penghidupan dan bersifat subsisten, serta alur dagang menggunakan kapal kecil antar pulau. Ini, katanya, menjadi cikal bakal pelayaran rakyat.
Ke depan, katanya, peran dan dorongan terhadap inisiatif lokal sebagai akar rumput yang adaptif, inovatif, dan mendapat dukungan politis, berpotensi menyelesaikan isu pada skala geografis tertentu.
Tukul Rameyo Adi, Tenaga Ahli Pendukung Menteri Bidang Kebijakan Kelautan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, mereka sedang mempersiapkan dokumen Haluan Maritim Nasional 2025-2045 fokus pada Peta Jalan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) untuk mewujudkan PMD 2045.
Dia bilang, KKI merupakan inisiatif memformulasi atau mengklaster agenda ke dalam tujuh pilar pembangunan kelautan. Ia meliputi, pertama, pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia, kedua, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut.
Ketiga, tata kelola dan kelembagaan kelautan. Keempat, ekonomi dan infrastruktrur kelautan serta peningkatan kesejahteraan. Kelima, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut. Keenam, budaya bahari, ketujuh, diplomasi maritim.
“Perlu perlu peta jalan yang tepat karena KKI belum ada target, sampai kapan melakukan ini dan kapan poros maritim ini dicapai. Juga belum jelas apa indikator dari pencapainnya,” katanya.
Baca juga: Hari Maritim Nasional, Bisakah Indonesia jadi Poros Maritim Dunia?
*****
Foto utama: Tambang timah di laut Bangka. Negeri yang kaya laut ini harus ada tata kelola dan kebijakan maritim yang tetap ada berkelanjutan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia