- Erfaldi EL, warga Tada, Tinombo Selatan tewas kena tembus timah panas saat aksi tolak tambang emas di Desa Khatulistiwa, Tinombo Selatan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah 12 Februari lalu.
- Pada Sabtu pekan lalu itu, ribuan massa dari tiga kecamatan, Toribulu, Kasimbar dan Tinombo Selatan, berdemo menolak kehadiran perusahaan tambang emas di Desa Khatulistiwa. Mereka meminta Gubernur Sulteng datang. Massa mengblokir jalan trans Sulawesi.
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng, Aliansi Rakyat Sulteng Bersatu, Front Advokat Rakyat, LBH Sulteng dan Parimo, Jaringan Advokasi Tambang serta berbagai organisasi lain menuntut pengusutan penembakan dan mencabut izin Trio Kencana.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengecam keras pernyataan Kapolda dan Gubernur Sulteng yang seakan gagap membaca akar masalah, cenderung mengamankan kepentingan dan nama baik diri serta institusi dengan melempar kesalahan ke warga.
Duka dari Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Satu orang tewas dalam aksi ribuan massa dari tiga kecamatan, Toribulu, Kasimbar dan Tinombo Selatan, menolak perusahaan tambang emas di Desa Khatulistiwa, Kecamatan Tinombo Selatan, Parigi Moutong, pada 12 Februari. Erfaldi EL, lulusan SMA usia 21 tahun, warga Tada, Tinombo Selatan tewas kena tembus timah panas.
Sekitar 59 orang lain diamankan Polres Parimo. Tuduhannya, melakukan pemblokiran jalan trans Sulawesi.
Agussalim, Front Advokat Rakyat melalui pesan WhatsApp kepada Mongabay menyatakan, bersama 26 advokat lain pada malam itu terus melakukan pendampingan atas penahanan 59 orang di Polres Parimo.
Moh Taufik, Direktur Jatam Sulteng, mengatakan, massa yang diamankan sejak Sabtu malam, sampai subuh Senin, terus dimintai keterangan oleh Polres Parimo. Baru Senin pukul 5.00 mereka dibebaskan.
Saat aksi massa, sebanyak 270 personil Brimob dari Polres Parimo dan backup Polda Sulteng, mengawal aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tani Koalisi Tolak Tambang (ARTI-KTT) ini. Aliansi ini gabungan mahasiswa Tinombo dan warga di tiga kecamatan di Parigi Moutong.
Aksi massa sejak 31 Desember 2021 dipicu izin operasi produksi PT Trio Kencana keluar pada Agustus 2020.
“Ini aksi sudah lama. Tidak besar, lokal saja. Waktu itu Econesia sudah turun melakukan pengambilan data tentang perusahaan ekstraksi ini.” kata Azmi Siradjuddin, Direktur Yayasan Econesia kepada Mongabay melalui seluler, 13 Februari lalu.

Perusahaan tambang ini mengantong izin konsesi seluas 15.725 hektar. Wilayah pemukiman, pertanian dan perkebunan warga, masuk dalam cakupan konsesi izin Trio Kencana.
Tidak terima tanah dan wilayah mereka rusak, warga bergabung dan bersatu mengusir dan menolak perusahaan tambang. Walau izin operasi keluar belum terlihat ada aktivitas perusahaan di area konsesi.
Rilis Walhi Sulawesi Tengah Sulteng 12 Februari lalu mengatakan, masyarakat tak mau dan menuntut izin pertambangan Trio Kencana dicabut karena khawatir kerusakan tiga lubang tambang di kebun warga. Warga merasa lahan kena caplok sepihak, perusahaan juga masuk tanpa sosialisasi atau informasi apapun kepada warga.
Demostrasi besar-besaran sudah mulai sejak 31Desember 2021, berlanjut pada 17 Januari 2022, kemudian, 7 Februari 2022. Pada aksi massa Sabtu 12 Februari 2022, sekitar pukul 23.30 waktu setempat, satu orang tewas.
Kericuhan terpicu karena aparat berupaya membubarkan massa. Didik Supranoto, Kepala Bidang Humas dan Protokol Mapolda Sulteng, melalui telepon kepada Mongabay, Minggu (13/2/22) mengatakan, sejak pukul 8.00 malam, Kapolres Parimo sudah mengupayakan negosiasi kepada demonstran agar bubar dan membuka jalur Jalan Trans Sulawesi, yang mereka tutup.
“Massa memblokir jalan. Sejak pagi, sejak awal demo. Itu sudah menjelang tengah malam. Lagipula jalur ini hanya satu-satunya. Sulteng ke Gorontalo. Ketika diblokir semua parkir, menunggu. Kalaupun lewat harus pelan-pelan menerobos.” kata Didik.
Negosiasi dan upaya persuasif tak tercapai. Aparat dengan mobil water canon menyiram massa. Masih tak bubar juga. Aparat melepaskan tembakan gas air mata, tak lama berselang bentrokan terjadi. Letusan senjata bergaung malam minggu itu. Erfaldy terkena tembakan. Darah bersimbah di jalan, nyawa mahasiswa 21 tahun ini tak tertolong.

Kematian Erfaldy memunculkan protes di mana-mana. Di Kota Palu, berbagai elemen baik organisasi masyarakat sipil maupun Komnas HAM bereaksi atas peristiwa berdarah di Tugu Khatulistiwa itu.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng, Aliansi Rakyat Sulteng Bersatu, Front Advokat Rakyat, LBH Sulteng dan Parimo, Jaringan Advokasi Tambang serta berbagai organisasi lain menuntut pengusutan penembakan dan mencabut izin Trio Kencana.
“Harus transparan dan akuntable,” kata Azmi Siradjuddin.
***
Didik bilang, massa tak mau bubar kalau gubernur tidak hadir dan bertemu mereka. “Demo sebelumnya aman, 17 Januari sama 7 Februari. Ribuan memang massa tapi tertib, kondusif,” kata Dani dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.
Pada 7 Februari lalu, Dani ikut aksi. Saat itu massa aliansi sudah mendesak kehadiran Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura untuk mendengarkan keinginan mereka terkait eksploitasi lahan untuk pertambangan emas oleh Trio Kencana.
Ridha Saleh, tim ahli Gubernur Sulteng, berupaya melobi panitia aksi agar bisa berbicara dengan massa dan menenangkan mereka. Permintaan itu, kata Dani, dituruti panitia setelah tiga kali negoisasi.
Di atas panggung, Ridha Saleh menggunakan telepon seluler yang dihubungkan ke mikrofon kontak dengan Rusdy Mastura. Dalam percakapan itu Gubernur bersedia hadir dan bertemu massa seminggu ke depan.
Kesepakatan pun dibuat di atas kertas antara Ridha Saleh, perwakilan pemerintah dengan massa aksi.
“Kurang lebih pukul 1.00 siang, massa sudah bubar. “
Dalam aksi 12 Februari itu, massa juga menuntut Gubernur Sulteng hadir. Menurut mereka, Gubernur Sulteng bisa jadi pertimbangan bagi pusat untuk mencabut IUP Trio Kencana. Sayangnya, sampai tengah malam, orang nomor satu di Sulteng ini tak muncul. Mongabay berupaya menghubungi Ridha Saleh, tetapi belum bisa terhubung.
Dani tak ikut saat aksi Sabtu ini. Aksi hari itu, pecah keributan. Jatuh korban.

Mengutip Kabarselebes.id, gubernur menyayangkan, demo menutup Jalur Trans Sulawesi di Desa Siney, Tinombo Selatan juga soal jatuh korban jiwa.
Dia bilang, hal ini tak akan terjadi jika unjuk rasa menolak IUP Trio Kencana dilakukan dengan benar. Dia malah menyalahkan masyarakat memblokade jalan hingga aparat harus membuka pemblokiran jalan sepanjang 10 km.
Jatam Nasional pun tanggapi ucapan gubernur ini. “Pernyataan Kader Partai Nasdem itu hendak menyudutkan warga, seolah-olah biang kerok dari kejadian kemarin adalah warga itu sendiri. Rusdy tampak menggiring opini publik untuk mengamankan kepentingan dan nama baiknya sendiri,” kata Jatam Nasional dalam rilis kepada media.
Melky Nahar dari Jatam Nasional mengatakan, padahal pemblokiran jalan oleh massa itu berangkat dari kebijakan pemerintah yang sepihak menerbitkan izin tambang, termasukkan gubernur yang tak tepati janji mau bertemu massa yang aksi.
Irjen Pol Rudy Sufahriadi, Kapolda Sulteng, juga hanya meminta maaf kepada keluarga korban, sembari mendorong penegakan hukum atas kedua belah pihak–warga memblokir jalan dan polisi terduga pelaku. ”Ini mempertegas betapa tidak bertanggung jawabnya aparat kepolisian.”
Jatam pun mengecam keras pernyataan Kapolda dan Gubernur Sulteng yang seakan gagap membaca akar masalah, cenderung mengamankan kepentingan dan nama baik diri serta institusi dengan melempar kesalahan ke warga.

***
Aliansi Rakyat Bersatu dimotori Walhi Sulteng dalam rilis menyebut, penolakan warga sejak 2010 saat izin Trio Kencana keluar dari Pemerintah Sulteng. Aktivitas pertambangan perusahaan sempat berhenti.
Kemudian pada 2020, nama perusahaan ini kembali mencuat kala status izin naik jadi IUP operasi produksi oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
Data Minerba One Map Indonesia (Momi) Minerba, Kementerian Energi mencatat, Trio Kencana punya izin usaha pertambangan dari 21Januari 2010 sampai 20 Januari 2018.
Dua tahun setelah itu, perusahaan mengantongi izin operasi produksi dengan masa berlaku 28 Agustus 2020 sampai 27 Agustus 2040. Kategori wilayah clear and clean tahap I seluas 15.725 hektar.
Dari data profil perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM yang diunduh 13 Februari 2022, menyebutkan, setoran modal dasar Rp2,007 miliar dengan 4.015 lembar saham. Mayoritas pemilik saham H Surianto, dengan 2.810 lembar atau senilai Rp1, 405 miliar. Surianto duduk sebagai komisaris utara di Trio Kencana. Pemilik saham kedua, Goan Umbas dengan 1.205 lembar atau senilai Rp602, 500 juta.
Konsesi tambang ini berada di Kecamatan Kasimbar dan Tinombo Selatan dengan pembagian 13.073 hektar dalam areal penggunaan lain, 2.659 hektar di hutan produksi terbatas dan masuk hutan lindung 15 hektar.

***
Dedi Askari, Komnas HAM Sulteng, lewat pesan di telepon seluler Minggu (13/2/22) menyampaikan tiga langkah akan mereka tempuh. Pertama, mendorong semua pihak menahan diri agar situasi tenang dan tak terjadi konsentrasi massa.
Kedua, Komnas HAM sesuai kewenangan akan menyelidiki kejadian yang menelan korban jiwa ini.
Ketiga, penting bagi Kapolda Sulteng untuk uji balistik mengingat ada kesimpang-siuran informasi dari fakta penemuan proyektil di tubuh korban. Sedang polisi nyatakan, ada penegasan dalam apel pengarahan pasukan Kapolres Parimo tak memperkenankan anggota gunakan peluru tajam.
Saat ini, Polda Sulteng pun masih menyelidiki kematian Erfaldy.
Didit bilang, saat itu korban dibawa ke puskesmas terdekat. Di tubuhnya, ada luka tembak dan ada proyektil peluru.
“Sesuai arahan kapolda, kepolisian akan bertindak profesional. Kalau memang ada pelanggaran anggota dan sekarang dalam pemeriksaan propam, akan diproses hukum.”
Untuk melihat anggota terlibat atau tidak, katanya, senjata mereka dikumpulkan di Propam untuk uji balistik.
