- Gugatan Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (Argumen) terhadap UU Ibukota Negara tak diterima Mahkamah Konstitusi. Pada penghujung Mei lalu, Mahkamah Konstitusi memutuskan, gugatan aliansi kadaluarsa. Berbagai organisasi masyarakat sipil ini pun sedang menyiapkan gugatan baru.
- Gugatan formil tidak diterima, AMAN dan Walhi sepakat masih menempuh berbagai jalur untuk menggugat UU yang dinilai merugikan lingkungan hidup dan masyarakat adat ini.
- Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional nyatakan kekecewaan. Dia menyayangkan, Mahkamah Konstitusi memutus tenggat waktu dan tak mempertimbangkan soal legal standing aliansi.
- Aliansi rakyat mempermasalahkan proses perumusan UU yang kilat dalam waktu 17 hari dan tak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik lokasi calon IKN. UU IKN juga dinilai tak memiliki azas kebermantaan bagi rakyat banyak. Terutama, pada situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda.
Mahkamah Konstitusi memutus menolak gugatan Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (Argumen) terhadap UU Ibukota Negara pada penghujung Mei lalu. Gugatan mereka dinilai kadaluarsa. Berbagai organisasi masyarakat sipil ini pun sedang menyiapkan gugatan baru.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Walhi Nasional menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan uji formil UU Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara ini tidak adil. Pasalnya, batas 45 hari pengajuan uji formil yang ditentukan masih multitafsir.
Dalam persidangan pembacaan putusan yang dihelat Selasa (31/5/22), MK memutus perkara Nomor 54/PUU-XX/2022 yang mereka ajukan bersama Muhammad Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia dan Dwi Putri Cahyawati, tak dapat diterima karena kedaluwarsa. MK beranggapan, pengajuan formal para pemohon pada 1 April lalu lewat batas 45 hari.
“Permohonan para pemohon diajukan pada hari ke 46 sejak UU 3/2022 diundangkan,” kata Manahan MP Sitompul, Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang yang disiarkan lewat Youtube Mahkamah Konstitusi.
Atas dasar itu, MK dalam poin ke ketiga menyebut kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para pemohon serta hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Aswandi, Ketua Majelis Hakim.
Baca juga: Aliansi Rakyat Gugat UU Ibukota Negara

Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional nyatakan kekecewaan. Dia menyayangkan, MK memutus tenggat waktu dan tak mempertimbangkan soal legal standing pemohon yang tergabung dalam Argumen.
Padahal, pada sidang pemeriksaan sebelumnya Majelis Hakim Konstitusi sempat menyatakan akan mempertimbangkan masalah waktu pendaftaran itu. “‘Apakah nanti akan lewati 45 hari atau tidak akan kami pertimbangkan dulu, ya’,” kata Satrio mencontohkan ucapan MK saat persidangan.
Seharusnya, MK mengutarakan pandangan lain atau hitung-hitungan pada waktu itu– dua minggu setelahnya–pada persidangan pembacaan gugatan, bukan pembacaan putusan.
Pada dasarnya, keputusan memberikan tenggat uji formil sebuah Undang-undang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-VII/2009. Dalam paragraf [3.34] putusan itu termaktub ‘Mahkamah memandang tenggat 45 hari setelah UU dimuat dalam lembaran negara sebagai waktu cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-undang’.
“MK hari ini memutus untuk mengambil ‘sejak diundangkan’, padahal seperti biasa gugatan-gugatan kami di formil atau gugatan-gugatan lain itu dihitung ‘setelah diundangkan.”
Undang-undang IKN diundangkan pada 15 Februari lalu. Koalisi menilai, kalau hitungan mereka menggunakan frasa setelah diundangkan, maka pengajuan mereka 1 April tepat 45 hari. Dengan frasa ‘sejak diundangkan’ yang dipakai MK, maka 1 April sudah kedaluwarsa karena masuk hari ke-46.
Muhammad Arman, Kuasa Hukum Argumen juga kecewa. Menurut dia, dengan tak dipertimbangkan substansi dan argumen gugatan, maka berpeluang menjadi preseden dalam pembentukan UU lain.
Aliansi mempermasalahkan proses perumusan UU yang kilat dalam waktu 17 hari dan tak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik lokasi calon IKN. UU IKN juga dinilai tak memiliki azas kebermantaan bagi rakyat banyak. Terutama pada situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda.
Baca juga: IKN Nusantara Melaju, Was-was Nasib Masyarakat Adat

Lanjut gugat
Meskipun gugatan formil mereka tidak diterima, AMAN dan Walhi sepakat masih menempuh berbagai jalur untuk menggugat UU yang dinilai merugikan lingkungan hidup dan masyarakat adat ini.
“Kami akan lanjut uji materi. Karena tinggal mengatur ulang sistematika gugatan, langsung uji materi,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Rukka menyerahkan semua pada kuasa hukum. “Nanti kami cek baik-baik. Kami tidak bisa bocorkan sekarang pasal mana yang mau kami gugat, tapi semua tergantung dari kuasa hukum.”
Niat AMAN mengajukan gugatan judicial review (JR) UU IKN secara materil disebut Arman sudah disiapkan sejak jauh hari. Mereka sudah menyiapkan strategi berlapis untuk membuat UU IKN batal.
“Kami sedang bersiap, ada draf yang kami diskusikan antara AMAN, perhimpunan masyarakat adat dan beberapa kawan organisasi sipil lain,” katanya.
Gugatan itu, katanya, masih harus menunggu hasil uji formil UU IKN lain yang masih berlangsung di MK. Menurut catatan, masih ada dua pemohon dengan persidangan masih lanjut.
Secara aturan, semua gugatan materil tetap harus menunggu hasil uji formil yang masih berlangsung. “Kami juga mau tahu dulu apa putusannya. Kalau dinyatakan ditolak, berarti itu peluang besar bagi kami untuk maju,” kata Arman.
Menurut Satrio, beberapa strategi Walhi ke depan selain uji materil, juga berpeluang melakukan class action. “Kami akan lakukan langkah-langkah hukum yang diperhitungkan ke depan.”
Senada dengan AMAN, Walhi juga masih belum bisa menyatakan kapan akan melakukan dan berkoordinasi terkait gugatan materil ke MK. Meskipun sudah ada salah satu pasal yang dinilai inkonstitusional oleh mereka.
“Pasal 18 soal lingkungan hidup,” katanya.
Baca juga: IKN Nusantara, Bagaimana Pastikan Ramah Alam dan ¬indungi Hak Masyarakat Adat?
******