- Setiap 9 Agustus diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Di nusantara ini, pengkuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat masih jauh dari ideal. Masyarakat adat di berbagai penjuru negeri masih banyak hidup dalam ketidakpastian. Ada yang tiba-tiba wilayah adat mereka disebut masuk konsesi. Ada pula, yang tanpa sepengetahuan mereka terpatok-patok atas nama hutan negara atau masuk dalam proyek pembangunan infrastrktur dan banyak lagi.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, persoalan pelik dihadapi masyarakat adat adalah karena tak ada UU Masyarakat Adat. Selama ini, aturan mengenai masyarakat adat ada di berbagai peraturan maupun kementerian dan lembaga sektoral tetapi tak spesifik berbicara soal masyarakat adat.
- Masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil juga hadapi persoalan. Catatan AMAN, ada 550 komunitas adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 377 area pesisir dan 182 di pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, 19 diakui melalui perda penetapan dan 112 dengan perda pengaturan. Sayangnya konteks pengakuan dan perlindungan terbatas pemanfaatan. Bukan bentuk penguasaan dan pemilikan hak masyarakat adat.
- Ancaman lain bagi masyarakat adat adalah kebijakan pemerintah bikin Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. UU IKN disahkan cepat oleh DPR dan pemerintah dan tak ada mekanisme handal mengakui, menghormati, dan melindungi masyarakat adat.
Hari ini, 9 Agustus diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Di nusantara ini, pengkuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat masih jauh dari ideal. Masyarakat adat di berbagai penjuru negeri masih banyak hidup dalam ketidakpastian. Ada yang tiba-tiba wilayah adat mereka disebut masuk konsesi. Ada pula, yang tanpa sepengetahuan mereka terpatok-patok atas nama hutan negara atau masuk dalam proyek pembangunan infrastrktur dan banyak lagi.
Persoalan lahan dan sumber daya alam tak kunjung selesai. UU Masyarakat Adat pun, meski sudah terbahas dan masuk ‘program legislasi nasional’ berulang kali sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini, tak jua ada kejelasan.
Ketiadaan payung hukum yang melindungi masyarakat adat, menyebabkan mereka rentan berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi. Belum lagi ancaman krisis iklim terhadap ruang kehidupan masyarakat adat.
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, sampai akhir 2021 ada 13 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 251.000 hektar. Ia berdampak pada 103.717 jiwa.
Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN untuk urusan politik mengatakan, di tengah ketidakpastian hukum dan berbagai tantangan, masyarakat adat terus melestarikan hutan dan alam dengan kearifan lokal. Mereka memelihara tradisi dan ritual adat.
Untuk itu, katanya, UU Masyarakat Adat perlu untuk menerjemahkan pengakuan dan perlindungan konstitusional melalui prosedur dan cara yang sederhana dan komprehensif. “Ini untuk menjawab prosedur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat selama ini yang berbelit-belit dan sektoral,” katanya dalam rilis Perkumpulan Gerempong Manua Judan Sungai Utik, Selasa (9/8/22).
Dia bilang, masyarakat adat perlu percepatan proses pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, juga harus memastikan aturan itu sungguh-sungguh menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat selama ini.
Saat masyarakat adat tak punya payung hukum, katanya, menimbulkan kekhawatiran. Masyarakat adat, katanya, berada dalam posisi marjinal. Jadi, katanya, urgen menghadirkan harmonisasi kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional ini, katanya, jadi momen penting kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam menyeimbangkan kembali hubungan manusia dengan alam. “Termasuk kemampuan beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi. Hutan bagian dari kehidupan masyarakat adat yang menopang kehidupan sehari-hari. Juga titipan bagi generasi akan datang.”
Senada dengan Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN dalam diskusi bersama media beberapa waktu lalu. Dia mengatakan, persoalan pelik dihadapi masyarakat adat adalah karena tak ada UU Masyarakat Adat. Selama ini, katanya, aturan mengenai masyarakat adat ada di berbagai peraturan maupun kementerian dan lembaga sektoral tetapi tak spesifik berbicara soal masyarakat adat.
Dia bilang, UU Masyarakat Adat mendasar tetapi tak tersentuh. “Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat yang 10 tahun lebih mandeg di DPR, ada banyak sekali kemunduran dalam hal kebijakan. Ada UU Cipta Kerja, pelemahan KPK dan Mahkamah Konstitusi, dan UU Ibukota Negara. Sekarang ada RUU KUHP,” katanya.
Meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK-35) soal adat bukan hutan negara, namun dalam praktik untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, bukan perkara mudah.
Komitmen rendah yang menyembunyikan motif-motif ekonomi dan politik menyulitkan masyarakat adat.
“RUU Masyarakat Adat belum juga dibahas dan ditetapkan sebagai Undang-undang. Padahal, UU Masyarakat Adat ini diharapkan menjadi dasar hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang selama puluhan tahun membelenggu dan mendiskriminasi masyarakat adat,” katanya, seraya bilang, dengan catatan UU Masyarakat Adat itu menterjemahkan UUD 1945 dan mengacu pada HAM.
Ketiadaan UU Masyarakat Adat juga berdampak pada rendahnya capaian pengakuan hutan adat. Hingga kini, hutan adat yang disahkan pemerintah baru sekitar 75.000-an hektar.
Penetapan hutan adat, katanya, tak berbanding dengan peta wilayah adat yang sudah diserahkan kepada pemerintah. Sampai Agustus 2022, peta wilayah adat yang sudah teregistrasi seluas 20,7 juta hektar.
Sampai Desember 2021, ada 99 wilayah adat sudah ditetapkan pemerintah daerah melalui produk hukum daerah seluas 2,56 juta hektar.
Kemudian, ada 616 peta wilayah adat yang diatur dengan produk hukum daerah mencapai 7,16 juta hektar dengan proses penetapan masih harus ditindaklanjuti dengan surat keputusan atau peraturan bupati. Selebihnya, ada 2,71 juta hektar wilayah adat belum memiliki produk hukum daerah.
“Di pemerintah kan sudah ada peta wilayah adat, banyak sekali. Sekarang pemerintah perlu mempercepat. Memastikan hambatan-hambatan birokrasi, administrasi itu segera dibereskan.”
Data AMAN penghujung tahun lalu, wilayah adat yang terampas untuk kepentingan investasi tambang, hak pengusahaan hutan (HPH(, hak guna usaha (HGU), hutan tanaman industri (HTI), dan lain-lain sekitar 2.114.000 hektar, baik dalam atau kawasan hutan.
Awal 2022, ada 158 produk hukum daerah tentang masyarakat adat. Ia terdiri dari 11 perda provinsi, satu peraturan gubernur, 57 peraturan daerah, dua peraturan bupati dan 87 SK Bupati, tersebar di 23 provinsi dan 65 kabupaten.
Dari 65 kabupaten yang memiliki produk hukum daerah terkait masyarakat adat, ada 30 kabupaten sudah mengimplementasikan sampai penetapan komunitas adat beserta wilayah adat.
Ada lima kabupaten baru sampai tahap pembentukan panitia masyarakat adat dan 30 kabupaten sama sekali belum menindaklanjuti produk hukum daerah yang sudah ditetapkan.
“Itu artinya 53% pemerintah daerah belum melaksanakan kewajiban dalam mengimplementasikan produk hukum daerah yang telah dibuatnya,” kata Rukka.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Juni 2019 menyatakan, target pengakuan hutan adat seluas 6,53 juta hektar. Meski segala perubahan aturan hingga pembentukan tim kerja oleh Kantor Staf Presiden hingga kini belum memberi hasil menggembirakan.
Meski begitu, kata Rukka, penetapan hutan adat itu bonus. Terpenting, adalah pengakuan utuh keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka. Hal itu, katanya, ada di dalam RUU Masyarakat Adat.
“Jadi, pemerintah kalau mau mempercepat pembangunan dan investasi, nggak ada pilihan lain selain pengakuan hak masyarakat adat.”
Theo Litaay, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, putusan MK-35 tergantung dari peran pemerintah daerah. Untuk pengakuan hutan adat memerlukan produk hukum perda.
“Memang perlu ada inisiatif dari pemda dalam bentuk perda. Pada dasarnya kita mendukung untuk pelaksanaan perda kampung adat. Karena di dalamnya itu seluruh lingkungan dan alam masyarakat adat menjadi bagian.”
Pesisir dan pulau kecil
Masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil juga hadapi persoalan. Catatan AMAN, ada 550 komunitas adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 377 area pesisir dan 182 di pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, 19 diakui melalui perda penetapan dan 112 dengan perda pengaturan.
Hingga Agustus 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 22 komunitas masyarakat adat dari total 32 komunitas adat yang teridentifikasi.
“Meskipun dari sisi bentuk pengakuan masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil tak mempersyaratkan perda, cukup keputusan bupati, wali kota atau keputusan gubernur, sayangnya konteks pengakuan dan perlindungan terbatas pemanfaatan. Bukan bentuk penguasaan dan pemilikan hak masyarakat adat,” kata Rukka.
Hal itu, katanya, bertentangan dengan semangat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.
Masyarakat adat, katanya, merupakan subyek dan pemegang hak atas sekumpulan hak tradisional termasuk hak wilayah adat di darat maupun laut.
Data AMAN menunjukkan, ada 11 konsesi hutan alam, empat hutan tanaman industri, tujuh konsesi tambang di komunitas atau masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau Kecil. Kondisi ini menyebabkan 27 perampasan wilayah adat pesisir dan pulau-pulau kecil melibatkan berbagai sektor.
Ibukota baru
Hal lain yang mengancam masyarakat adat adalah kebijakan pemerintah bikin Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Rukka bilang, UU IKN disahkan cepat oleh DPR dan pemerintah dan tak ada mekanisme handal mengakui, menghormati, dan melindungi masyarakat adat. Hanya ada sedikit aturan membahas itu, tetapi dipertanyakan bagaimana operasionalnya.
Di lokasi IKN itu, ada 21 komunitas adat, 19 di Penajam Paser Utara dan dua di Kutai Kartanegara. Ada 11 wilayah adat sebagai zona inti IKN.
“Ini menunjukan lokasi pembangunan IKN bukanlah tanah kosong dan bebas konflik sebagaimana pernyataan-pernyataan pejabat negara dalam berbagai kesempatan.”
Pemerintah, katanya, memaksakan area itu kawasan hutan dan sudah bebas. “Sudah ganti rugi kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi. Memang selama ini menggunakan hukum negara untuk merampas wilayah dan tak mengakui masyarakat adat. Masyarakat adat ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.”
Catatan AMAN 2019, di lokasi yang akan jadi IKN itu ada 30.000 hektar wilayah adat tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HTI dan perkebunan. AMAN, katanya, sudah sampaikan dalam rapat dengan Panja RUU IKN di DPR Desember 2021.
Menurut Rukka, proses pemindahan ibukota seharusnya bisa mengarusutamakan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan memasukkan klausul khusus mengenai perlindungan hak mereka. Juga ada mekanisme penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat adat yang akan terdampak pembangunan IKN. Seharusnya, prinsip free, prior, inform, and consent (FPIC), dikedepankan.
Faktanya, setelah disahkan, UU IKN luput memasukan klausul penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat secara memadai. Kondisi ini, katanya, bisa berpotensi menggusur paling sedikit 20.000 warga adat dari wilayah mereka.
Masyarakat adat di Papua
Terkait dengan pengakuan hak masyarakat adat di Papua, juga punya persoalan tersendiri. Rukka bilang, pemerintah makin menegaskan politik setengah hati dalam pemberian otonomi khusus Papua. Hal ini, katanya, karena penyelenggaraan administrasi masyarakat adat Papua beserta hak atas wilayah adat masih logika hukum nasional terutama hal-hal berkaitan dengan sumber daya alam.
Dengan logika demikian, otonomi khusus Papua yang berorientasi pada pembangunan wilayah adat menjadi kurang bermakna bagi masyarakat adat di sana. “Itulah sebabnya dalam kacamata pemerintah pusat belum ada hutan adat di Papua. Karena logika pengakuan hutan adat dalam wilayah adat Papua dipaksa tunduk pada logika hukum nasional tentang tata cara pengakuan hutan adat.”
Menurut dia, otonomi khusus dengan kekhususan budaya masyarakat adat Papua, seharusnya tunduk pada UU Otsus Papua dan Perdasus tentang Masyarakat Adat. Termasuk, dalam memberikan kekhususan mengenai proses pengakuan, perlindungan, dan kelembagaan pengadministrasian hak-hak masyarakat adat di Papua.
Matius Awoitaw, Bupati Jayapura mengatakan, Papua sedang berjuang dengan Otonomi Khusus. “Salah satu hal menarik dari UU Otsus adalah kepastian ruang masyarakat adat. Kepastian hak. Itu menyangkut juga hak asasi manusia.,” katanya.
Kabupaten Jayapura sudah melakukan beberapa gerakan untuk implementasi Otsus. Kebijakan negara itu, katanya, harus benar-benar ada di kampung dan distrik.
“Salah satu yang kita pastikan dari pemetaan-pemetaan wilayah adat dari UU Otsus itu adalah kepastian terhadap ruang-ruang dan dimiliki masyarakat adat.”
Untuk itu, perlu lakukan antara lain, ada pemetaan wilayah adat, sampai penyelesiaan konflik. “Di mana batas wilayah, berapa banyak, kondisi seperti apa? Ini yang sekarang sedang kita kerjakan,” katanya.
Pemetaan wilayah adat penting, katanya, supaya ada database mengenai kepemilikan. Kalau terjadi investasi di atas lahan-lahan itu, ada kepastian kepemilikan dan bisa bekerjasma untuk membangun kesejahteraan ke depan.
“Kemudian, mengenai pemetaan-pemetaan itu, bukan saja karena UU Otsus. Ini dibutuhkan seluruh komunitas di nusantara ini. Ada banyak konflik lahan dimana-mana. Karena itu, harus ada kepastian.”
*******