- Memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-77, Maumere Diver Community (MDC) kembali melaksanakan pengibaran bendera di dasar laut untuk keempat kalinya. Tahun ini, lokasinya berada di spot diving favorit yaitu situs kapal Jepang yang karam sekitar tahun 1943 pada kedalaman 22 meter dari permukaan laut
- Hasil penelitian menyebutkan, artefak kapal karam pada kedalaman 12 sampai 34 meter di Pantai Wairterang tersebut milik tentara Jepang yang berfungsi sebagai kapal logistik pengangkut arang kayu dan air.
- Beberapa bagian kapal diduga telah dipotong oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kapal itu telah ditumbuhi terumbu karang dengan berbagai biota laut seperti hiu black tip dan kerapu raksasa / giant grouper (Epinephelus lanceolatus)
- Lokasi kapal karam tersebut berpasir dan berlumpur, sehingga seharusnya tidak boleh ada kegiatan memancing selain diving, snorkling dan kepentingan penelitian
Minggu (14/8/2022) suasana laut di Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak tenang. Satu per satu penyelam merapat di bibir pantai, depan Sunset Cottage Wairterang.
Lokasi Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Maumere ini dipilih komunitas penyelam Maumere Diver Community (MDC) dalam memperingati kemerdekaan RI ke-77.
TWAL Teluk Maumere terkenal akan keindahan alam bawah lautnya yang sudah mendunia. Gempa dan tsunami yang menghantam pantai utara Pulau Flores pada 12 Desember 1992 membuat keindahan alam bawah lautnya sempat rusak.
“Dampak gempa dan tsunami Flores membuat keindahan alam bawah laut Teluk Maumere sempat porak poranda, rusak parah. Namun kini kondisinya telah pulih kembali,” terang Yohanes Saleh, Penasihat MDC kepada Mongabay Indonesia di Waiterang.
Hans sapaannya mengatakan dampak gempa dan tsunami menyebabkan terjadinya patahan-patahan tebing dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Pemandangan di lokasi patahan tebing tersebut sangat bagus karena ada tembok-tembok besar di dasar laut.
baca : Maumere Diver Community Kibarkan Bendera di Laut Tanjung Kajuwulu. Apa Pesan yang Ingin Disampaikan?
Spot Diving Favorit
Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WITA, 16 penyelam bersiap menggunakan pakaian dan peralatan selam dengan mengikatkan Bendera Merah Putih diikat di kepala masing-masing. Mereka akan menancapkan bendera di dasar laut
Ketua MDC, Adrianus Ratu mengatakan para penyelam dibagi menjadi 2 tim yakni Tim Merah dan Tim Putih yang masing-masing beranggotakan 7 penyelam. Sedangkan 2 penyelam merupakan fotografer.
Bendera dibawa penyelam sejauh sekitar 100 meter dari bibir pantai, tepat di lokasi karamnya kapal milik Tentara Jepang pada kedalaman 22 meter.
Bendera Merah Putih sepanjang 3 meter yang diikat di tiang kayu pun ditancapkan di lambung kapal. Setelah melakukan upacara penghormatan bendera, penyelam pun kembali ke permukaan.
“Lamanya kegiatan di dasar laut hanya sekitar 15 menit saja. Kondisi dasar laut pun agak sedikit gelap karena kondisinya yang berlumpur,” sebutnya.
Lokasi kapal karam (Japanese shipwreck) dipilih karena merupakan salah satu spot diving terbaik di perairan Maumere.
baca juga : Pengibaran Bendera Merah Putih di Lokasi Patahan Tsunami Teluk Maumere. Bagaimana Pelaksanaannya?
MDC telah 4 tahun berturut-turut melaksanakan kegiatan pengibaran bendera di laut. Tahun 2019, bendera Merah Putih dibawa dari puncak Gunung Egon. Setelah tiba di Pantai Krokowolon, Kecamatan Kangae, bendera dibawa tim penyelam sejauh 100 meter dari bibir pantai, kemudian dibawa ke dasar laut dengan kedalaman 10 meter, lalu dan dikibarkan..
Tahun 2020, Bendera Merah Putih sepanjang 10 meter dikibarkan di kedalaman 24 meter, pada patahan tebing bekas gempa dan tsunami Flores di perairan Pulau Babi. Sebanyak 22 penyelam dan 8 tim snorkling terlibat.
Tahun 2021, pengibaran Bendera Merah Putih sepanjang 7 meter dan lebar 3 meter dilaksanakan di perairan Tanjung Kajuwulu, salah satu pantai wisata.
“Kami ingin memeriahkan Kemerdekaan RI sekaligus memperkenalkan spot diving, memperkenalkan tempat-tempat wisata bahari,” ucap Adrianus.
Harus Dilestarikan
Dikutip dari Sejarah dan Prospek Pengembangan Situs Kapal Karam, Balai Arkeologi Bali, Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Perikanan disebutkan kapal karam sebagai salah satu tinggalan arkeologi bawah air memiliki potensi sumberdaya arkeologi yang mempunyai kedudukan sama dengan sumberdaya lain.
Naskah yang ditulis I Wayan Sumerata, Ida Ayu Gede Megasuari Indria dan Ulung Jantam Wisha ini menyebutkan upaya pelestarian sangat penting karena sebagai tinggalan budaya dapat menceritakan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di wilayah setempat.
Pada masa lalu wilayah Kabupaten Sikka merupakan bagian dari jalur perdagangan Nusantara, mulai dari masa kerajaan hingga masa Kolonial, sehingga banyak kapal-kapal dagang maupun kapal perang yang karam di perairan ini.
baca juga : Pengibaran Bendera 75 Meter oleh 45 Penyelam di Tulamben
Dikutip dari Balai Arkeologi Kemendikbud, hasil penelitian menyebutkan artefak kapal karam tersebut milik tentara Jepang yang berfungsi sebagai kapal logistik pengangkut arang kayu dan air.
Ukuran panjang kapal 62 meter, lebar haluan 3,8 m, lebar buritan 6,7 m dan lebar lambung kapal 10 m. Tinggi kapal 4,5 m dan berada pada kedalaman 12 sampai 34 meter di Pantai Wairterang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Kapal Karam Wairterang tenggelam pada saat diam atau tidak dalam keadaan berlayar. Kapal ini terkena tembakan akibat dari serangan udara musuh yaitu sekutu saat Perang Dunia ke II.
Peristiwa penyerangan terjadi pada saat siang hari, dan tembakan tepat mengenai lambung kapal yang menyebabkan lambung pecah dan badan kapal patah kemudian tenggelam secara perlahan.
Kapal diperkirakan karam sekitar tahun 1943. Saksi sejarah Pius Sola yang lahir 14 Maret 1932 menerangkan saat kejadian dirinya berumur 11 tahun. Informasi yang diperoleh dari narasumber cukup masuk akal karena Jepang masuk ke wilayah Flores melalui Manggarai, Mborong, Reo, Labuan Bajo, Ngada, Ende, dan Maumere pada tanggal 13-15 Mei 1942 dengan mendaratkan tiga kapal perang.
Dengan demikian tinggalan ini harus dilestarikan dan dapat dikembangkan untuk obyek daerah tujuan wisata minat khusus di masa depan.
baca juga : Begini Keindahan Bawah Laut TWAL Teluk Maumere Pasca Gempa dan Tsunami Dahsyat
Yohanes Saleh mengatakan setelah lokasi kapal karam ini ditemukan, kemudian menjadi salah satu spot diving favorit. Beberapa bagian kapal diduga telah dipotong oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Di lokasi kapal, sudah terdapat banyak terumbu karang yang hidup dan berbagai macam biota laut. Paling banyak hiu black tip dan Giant Grouper (Epinephelus lanceolatus) atau kerapu raksasa.
“Lokasi kapal karamnya berpasir dan berlumpur. Sebelah selatannya langsung laut dalam, ada karang tetapi sudah hancur. Harusnya lokasi situs sejarah ini tidak boleh ada kegiatan memancing atau lainnya selain diving, snorkling dan kepentingan penelitian,”harapnya.
Hans juga minta agar pemerintah bisa membuat pengalihan drainase atau aliran kali agar saat hujan banjir, lumpur dan sampah tidak memenuhi lokasi sekitar kapal.
Adrianus Ratu menambahkan kondisi alam bawah lautnya bagus dan kapalnya masih utuh hingga berada di dasar laut dengan kedalaman 34 m. Ia harapkan agar semua pihak harus menjaga laut, jangan buang sampah dan menangkap ikan dengan peralatan yang ramah lingkungan.
“Jangan menangkap ikan menggunakan bom maupun racun dan sejenisnya karena akan merusak terumbu karang,” pesannya.
Adrianus mengharapkan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI, negeri ini semoga lebih maju dan khusus di Kabupaten Sikka agar masyarakat lebih kompak dalam menjaga alam bawah laut yang sangat indah.
Dalam GPS Wisata Indonesia disebutkan, TWAL Teluk Maumere yang juga dikenal dengan nama Gugus Pulau Teluk Maumere itu terdiri atas 10 pulau besar dan kecil yang sebagiannya berpenghuni.
Pulau-pulau tersebut yakni, Pulau Besar (Kojagete), Kojadoi, Pemana, Kambing, Sukun, Parumaan, Dambila, Pangabatang, Babi dan Pulau Kondo.
Topografi deretan pulau-pulau itu secara umum berbukit dan bergunung. Puncak tertinggi ada di Pulau Besar (931mdpl), sedangkan pulau-pulau lainnya hanya berketinggian 75-294 mdpl.
Ekosistem TWAL Teluk Maumere juga terdiri atas hutan mangrove, hutan pantai, hutan savana, dan hutan dataran rendah. Secara administrastif, kawasan TWAL terletak di 4 wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Waigete, Talibura, Alok dan Alok Timur.