- Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bagaimana satwa liar di Asia mampu bertahan dan menghindari kepunahan selama 12 ribu tahun terakhir. Hewan tersebut adalah harimau, gajah, babi hutan, dan macan dahan.
- Para peneliti tersebut menjelajahi catatan paleontologi untuk membandingkan distribusi bersejarah dari 14 spesies terbesar di Asia seperti harimau [Panthera tigris], beruang madu [Helarctos malayanus], macan tutul [Panthera pardus], dhole [Cuon alpinus], dan macan dahan [Neofelis nebulosa].
- Dari analisis fosil, penggerak kepunahan megafauna telah bergeser secara drastis antara zaman Pleistosen [antara 2,6 juta dan 11.700 tahun lalu], Holosen [11.700 hingga 100 tahun], dan zaman Antroposen [kurang dari 70 tahun dari sekarang].
- Dalam kondisi yang tepat, beberapa hewan besar dapat hidup dekat manusia dan terhindar dari kepunahan.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bagaimana satwa liar di Asia mampu bertahan dan menghindari kepunahan selama 12 ribu tahun terakhir. Hewan tersebut adalah harimau, gajah, babi hutan, dan macan dahan.
Penelitian yang dilakukan Zachary Amir, Jonathan H. Moore dan kolega dari University of Queensland, berjudul “Megafauna Extinctions Produce Idiosyncratic Anthropocene Assemblages” yang dimuat di Jurnal Science Advance, 21 Oktober 2022, Vol 8, Issue 42, menunjukkan empat spesies tersebut adanya peningkatan populasi di daerah yang ada infrastruktur manusia.
Para peneliti tersebut menjelajahi catatan paleontologi untuk membandingkan distribusi bersejarah dari 14 spesies terbesar di Asia seperti harimau [Panthera tigris], beruang madu [Helarctos malayanus], macan tutul [Panthera pardus], dhole [Cuon alpinus], dan macan dahan [Neofelis nebulosa].
Juga sembilan spesies terbesar lain seperti gajah Asia [Elephas maximus], badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], gaur [Bos gaurus], banteng [Bos javanicus], tapir [Tapirus indicus], rusa sambar [Rusa unicolor], babi hutan [Sus barbatus], kambing hutan sumatera [Capricornis sumatraensis], dan babi hutan [Sus scrofa].
“Dari analisis fosil, penggerak kepunahan megafauna telah bergeser secara drastis antara zaman Pleistosen [antara 2,6 juta dan 11.700 tahun lalu], Holosen [11.700 hingga 100 tahun], dan zaman Antroposen [kurang dari 70 tahun dari sekarang],” tulis peneliti.
Selama Pleistosen, proses geologis, iklim, dan biologis yang beroperasi secara perlahan, seperti naik turun permukaan laut merupakan faktor kunci yang membentuk dinamika kepunahan. Saat Pleistosen Akhir dan Holosen Awal, terjadi lonjakan kepunahan megafauna yang bertepatan dengan pola kolonisasi dan permukiman manusia dalam kombinasi dengan faktor iklim yang mendorong ketersediaan habitat.
Pengaruh manusia pada pola keanekaragaman hayati semakin meningkat dari waktu ke waktu, dan sejak pertengahan abad ke-20 [tahun 1950], periode yang sekarang disebut sebagai zaman Antroposen, tindakan langsung maupun tidak manusia, menjadi penggerak utama keberadaan spesies.
“Kepunahan terus terjadi masa kini, setidaknya 322 kepunahan vertebrata darat terjadi sejak tahun 1500,” jelas peneliti.
Baca: Manusia dan Bayang-bayang Kepunahan Massal Keenam
Hutan tropis Asia Tenggara
Guna mendokumentasikan pemusnahan megafauna dan mengukur kelimpahan lokal megafauna, peneliti juga melakukan survei kamera jebak/trap di sepuluh lanskap hutan tropis primer di Sumatera, Kalimantan, Singapura, dan Thailand.
Area pengambilan sampel di Sumatera dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ketiga hutan tropis ini merupakan Hutan Hujan Tropis UNESCO di Sumatera.
“Semua lanskap Sumatera memiliki campuran hutan primer dan beberapa hutan yang lebih kecil dengan tebang pilih lebih dari 20 tahun yang lalu dan tingkat perburuan sedang.”
Sedangkan pengambilan sampel di Kalimantan dilakukan di Taman Nasional Bukit Lambir, Malaysia. Tempat ini telah mengalami tekanan perburuan yang tinggi.
Di Singapura, pengambilan sampel dilakukan di Cagar Alam Central Catchment dan pulau kecil lepas pantai Pulau Ubin. Di Thailand, yaitu di Suaka Margasatwa Khao Banthat, merupakan bagian hutan yang terfragmentasi di sepanjang pegunungan rendah dekat permukiman padat penduduk, dan Taman Nasional Khao Yai, hutan primer utuh yang terhubung ke kompleks Hutan Dong Phayayen-Khao Yai.
“Semua bentang alam yang dipelajari termasuk dalam sub kawasan biogeografi Sunda dengan pengecualian utama Taman Nasional Khao Yai, yang terletak di sub kawasan biogeografis Indo-Malaysia,” tulis peneliti.
Penelitian dilakukan di Asia Tenggara sebab menurut peneliti, wilayah ini ideal untuk mempelajari ancaman konservasi yang dinamis karena mempertahankan keanekaragaman megafauna yang tinggi, namun mengalami deforestasi dan perburuan yang ekstrim dan memiliki persentase megafauna terancam tertinggi di dunia.
Wilayah ini juga memiliki sejarah geologis, iklim, dan antropogenik yang unik yang meliputi letusan super vulkanik terbesar pada periode Kuarter [Kompleks Kaldera Toba, 75.000 tahun yang lalu], beberapa perubahan permukaan laut dramatis, yang menghubungkan dan memisahkan Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.
“Kami mendokumentasikan variasi luar biasa dalam pola pemusnahan dan kelimpahan megafauna Asia Tenggara, yang menunjukkan bahwa respons spesies terhadap gangguan lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya.”
Dari semua faktor tersebut, peran degradasi hutan dan tekanan manusia yang mendorong hilangnya megafauna.
“Kami prediksi bahwa kelimpahan megafauna kini akan berhubungan erat dengan tutupan hutan dan berhubungan negatif dengan manusia,” jelas peneliti.
Baca: Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga
Namun menariknya dari hasil penelitian ini, sejumlah hewan seperti harimau, macan dahan, gajah asia, dan babi hutan menunjukkan hubungan positif dengan degradasi hutan atau manusia. Mereka tetap bertahan dari ancaman kepunahan dan berkembang bersama keberadaan manusia.
Sedangkan delapan dari 14 spesies megafauna mengalami pemusnahan selama zaman Holocene dan Anthropocene.
“Hilangnya badak sumatera dari semua lanskap penelitian kami kemungkinan besar disebabkan tekanan perburuan cula dan reproduksi yang rendah diantara sedikit betina tersisa.”
Di sisi lain, babi hutan mengalami tekanan perburuan yang sangat kecil karena faktor status ‘halal dan haram’ pada dagingnya, dan mereka memiliki kemampuan reproduksi tertinggi dari megafauna lainnya.
Karnivora seperti harimau, macan tutul, dan macan dahan sangat terancam oleh hilangnya mangsa akibat perburuan liar, dan spesies ini mengalami pemusnahan lebih banyak daripada beruang madu yang terutama pemakan serangga dan pemakan buah.
“Hubungan kelimpahan populasi hewan yang tumbuh positif dengan tekanan manusia dapat dijelaskan dengan konservasi dan penegakan khusus bentang alam,” tulis peneliti.
Musnahnya satwa liar di Sumatera, tampaknya bisa didorong oleh deforestasi yang cepat untuk produksi pulp, karet, dan sawit.
“Kami khawatir, musnahnya megafauna di Sumatera dapat meningkat,” jelas peneliti.
Baca juga: Berapakah Jumlah Seluruh Semut di Planet Bumi?
Mengutip dari laporan ScienceDaily, Zachary Amir dari School of Biological Sciences and the Ecological Cascades Lab UQ menjelaskan hasil ini menunjukkan bahwa, dalam kondisi yang tepat, beberapa hewan besar dapat hidup dekat manusia dan terhindar dari kepunahan.
Sedangkan penurunan populasi hewan disebabkan oleh perburuan, apalagi pemburu menargetkan spesies yang lebih besar. Studi ini juga menemukan deforestasi masih berdampak pada keberlangsungan hidup spesies.
Amir mengatakan, penelitian menunjukkan jika spesies hewan besar tidak diburu, mereka dapat hidup di habitat yang relatif kecil dan dekat manusia.