- Hujan es jatuh bersamaan air hujan nan lebat dan angin kencang di sekitar area Kawasan industri nikel di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada 16 Januari lalu. Fenomena apakah ini?
- Setiawan Sri Raharjo, Koordinator Seksi Data dan Informasi BMKG Stamet Ternate mengatakan, fenomena hujan es karena ada penguapan tinggi hingga terjadi pertumbuhan awan konvektif yang menjulang tinggi hingga mencapai ketinggian lebih dari 4.000 meter.
- Dari situs resmi BMKG menyebutkan, hujan es merupakan satu fenomena cuaca ekstrem dalam skala lokal dan ditandai dengan jatuhan butiran es dari awan. Hujan es dapat terjadi dalam periode beberapa menit.
- Amien Widodo, peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), fenomena hujan es itu pertanda terjadi perubahan iklim.
Butiran-butiran kristal putih berjatuhan bersamaan air hujan dan angin kencang di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada 16 Januari lalu. Hujan es. Fenomena cukup mengejutkan ini terjadi jelang petang di area kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Tengah, Halmahera Tengah.
Dalam sebuah rekaman video yang beredar, butiran-butiran es sebesar batu kerikil berbentuk kristal terlihat turun bersamaan dengan hujan lebat selama sekitar 20 menit. Warga yang menyaksikan peristiwa itu khawatir. Seseorang yang merekam kejadian menganggap fenomena hujan es sebagai tanda “mau kiamat”.
“Awas, hati-hati, jauh dari pohon. So mo kiamat, so hujan salju (es) ini,” kata seseorang dari dalam mobil di kawasan industri. Video-video serupa lain juga tersebar di media sosial.
Kejadian yang direkam itu masuk areal operasi industri nikel dari site IWIP. Para pekerja (buruh), sering menyebut daerah ini Kaurae atau KR, letaknya berbatasan antara Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Di kawasan ini juga ada camp karyawan tambang, saat peristiwa pun langsung diabadikan. Mobil perusahaan dan atap rumah mes karyawan juga terkena hantaman es sebesar batu kerikil itu. Ada karyawan yang mengumpulkan batu es itu dalam wadah baskom dan mereka abadikan.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi (Stamet) Kelas I Ternate hujan es yang turun di Halmahera Tengah merupakan fenomena hujan yang memungkinkan terjadi di wilayah Indonesia beriklim tropis.
Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel
Setiawan Sri Raharjo, Koordinator Seksi Data dan Informasi BMKG Stamet Ternate mengatakan, fenomena hujan es karena ada penguapan tinggi hingga terjadi pertumbuhan awan konvektif yang menjulang tinggi hingga mencapai ketinggian lebih dari 4.000 meter.
Hal ini membentuk partikel kristal es dalam awan. Fenomena itu, katanya, diperkuat dengan ada angin downdraft yang menyebabkan dorongan ke bawah dan membawa partikel es hingga permukaan tanah.
Menurut Setiawan, kondisi ini didukung suhu udara permukaan di Halmahera Tengah yang relatif rendah menyebabkan partikel es jatuh sampai ke permukaan tanah.
“Partikel es jatuh ke permukaan tanah dalam bentuk es karena tidak mampu mengalami fase pencairan,” katanya.
Kondisi itu, kata Setiawan, didukung dengan ada pola pergerakan angin yang membentuk daerah konvergensi di Halmahera. Lalu, labilitas atmosfer di lokasi juga menunjukkan kondisi labil hingga berpotensi pembentukan awan Cumulonimbus dengan ketinggian relatif tinggi.
Dari situs resmi BMKG menyebutkan, hujan es merupakan satu fenomena cuaca ekstrem dalam skala lokal dan ditandai dengan jatuhan butiran es dari awan. Hujan es dapat terjadi dalam periode beberapa menit.
“Ketika terjadi hujan es, biasa disertai intensitas lebat dalam durasi singkat. Hujan es juga terjadi bersamaan dengan kilat atau petir dan angin kencang.”
Singkatnya, fenomena hujan es lebih banyak terjadi pada masa transisi atau pancaroba musim. Baik dari musim kemarau ke musim hujan ataupun sebaliknya, dari musim hujan ke musim kemarau.

Dampak perubahan iklim?
Amien Widodo, peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), fenomena hujan es itu pertanda terjadi perubahan iklim. Hal ini terdorong oleh antara lain, unsur-unsur cuaca berubah menjadi ekstrem, seperti hujan makin deras, angin makin besar kekuatannya, makin merusak dan makin berdampak luas.
“Awan Cumulunimbus dulu hanya menghasilkan angin puting beliung dengan kekuatan kecil dan hanya setempat, terkadang ada hujan es ukuran kecil,” kata Amien.
“Sekarang, semua menjadi ekstrem dan makin merusak.”
Amien bilang, fenomena ini juga berkaitan dengan peningkatan operasi produksi hasil alam besar-besaran dan ada penggunaan bahan-bahan fosil yang menghasilkan CO2 sangat besar baik di bidang industri dan transportasi.
“Penyebab lain, perubahan iklim adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi bukan hutan seperti pertambangan, pertanian, permukiman dan lain-lain,” kata Dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini.
Walau perubahan iklim bersifat global, katanya, tetapi akumulasi dari banyak sebab di muka bumi.
“Untuk lokal di kawasan tertentu bisa saja diperlukan kajian lebih detail di kawasan itu, kajian semua unsur cuaca puluhan tahun sebelum dan sesudah adanya perubahan kawasan itu.”
Ki Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), berkata, hujan es menandakan kondisi lingkungan sudah parah akibat krisis iklim. Warga di daerah-daerah di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan karakteristik wilayahnya menjadi korban pertama atas krisis iklim ini.
Krisis iklim ini, kata Bagus, diperparah dengan ekspansi nikel dan berkembangnya industri kendaraan listrik berbasis baterai ke kawasan timur Indonesia, terutama di Sulawesi dan Kepulauan Maluku.
Warga dipaksa menerima krisis iklim berlipat, karena wilayah rentan malah jadi area tambang, pabrik smelter, PLTU dan banyak lagi.
*******