- Kampung Kabuyu, berada di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, berkeliling kebun sawit. Perusahaan-perusahaan anak usaha, PT Astra Agro Lestari (AAL), beroperasi di daerah ini. Ketika perusahaan datang, konflik lahan dengan warga pun terjadi, bertahun-tahun. Kehidupan warga terdampak, termasuk anak-anak.
- Jauh sebelum industri sawit mengubah lanskap dan perusahaan kayu beroperasi, Warga Kabuyu menggantungkan hidup pada berkat hutan, sungai dan rawa. Mereka berladang padi—tanam sagu, durian, nangka, pisang, mencari ikan-ikan di sungai, atau pergi berburu.
- Masyarakat yang dulu hidup dari alam, berubah setelah perusahaan datang. Lahan-lahan jadi kebun sawit, warga sebagian jadi buruh perusahaan. Ketika lahan warga minim, mereka kerja serabutan, termasuk mencari berondolan sawit. Anak-anak pun kadang ikut serta demi mencari tambahan penghasilan.
- Dalam konflik agraria, seperti di perusahaan sawit ini, anak-anak kerap menerima dampak yang terus melekat hingga kelak mereka dewasa. Ari Moch Arif, Direktur Program Perubahan Iklim dan Ekonomi Sirkular, Save the Children Indonesia mengatakan, konflik lingkungan selalu menempatkan anak menjadi aktor yang terlupakan. Mengingat posisi masih anak-anak hingga dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki suara.
Jalan tanah itu berkelak-kelok bagai tak berujung. Berlubang. Berdebu, berangkal batu. Kiri-kanan hanya ada satu jenis tanaman: sawit menghampar ke segala penjuru. Begitulah pemandangan ketika memasuki Kabuyu, kampung kecil di tepi Sungai Pasangkayu, pedalaman Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Kabuyu berada tepat di jantung usaha perkebunan sawit, dikendalikan anak-anak usaha PT Astra Agro Lestari (AAL), di Pasangkayu. Antara perkampungan dengan kebun PT Mamuang, salah satu anak usaha AAL—hanya terpisah pagar kayu dengan bentangan kawat.
Di ambang kampung, satu petak kebun milik PT Mamuang telah plontos. Di sudut kebun itu, eskavator sedang menumbangkan sawit tua yang lain. Perusahaan hendak menggantikan dengan tanaman sawit baru.
Di tepi jalan, saya berpapasan dengan kumpulan anak kecil dan seorang ibu. Mereka berjalan menjauh dan saling bertolak arah sambil berbincang dengan kata-kata yang tak saya pahami. Di seberang mereka, seorang pria berdiri, ngomel ke arah ibu dan anak-anak itu.
“Kalau ada kami di sini, jangan juga begitu,” pria itu meninggikan suara. “Kurang ajar itu namanya!”
Saya bertanya dengan orang yang saya boncengi. “Anak-anak dari mana mereka?”
“Kabuyu.” “Mereka mau pergi ambil brondolan dari sisa-sisa sawit yang ditumbang, tapi dilarang centeng-nya perusahaan,” katanya.
“Centeng?”
“Itu tadi yang marah-marah.”
Centeng adalah sebutan warga untuk petugas keamanan kebun perusahaan yang tidak berseragam, pria yang mengomel di ambang kampung.
“Begitu anak-anak di sini,” kata Halimah, seorang Ibu di Kabuyu. “Mereka sering pergi pungut brondolan sawit terus dijual. Tambah-tambah beli buku.”
“Tapi perusahaan selalu larang,” kata perempuan 45 tahun itu.
Kabuyu adalah rumah komunitas kecil rumpun Kaili Tado, pemukim dataran Sulawesi bagian tengah.
Albert C Kruyt, etnografer Belanda, mencatat pada 1938, Kabuyu—dalam ejaan ‘Kaboejoe’—dibangun oleh Komunitas ‘Torilo’, di antara pertemuan Sungai Ewa dan Kabuyu, berpenduduk sekitar 100 orang.
Kruyt memasukkan Kabuyu ke dalam bagian Kelompok Pakawa, pemukim pedalaman hutan Pasangkayu.
Jauh sebelum industri sawit mengubah lanskap dan perusahaan kayu beroperasi, Warga Kabuyu menggantungkan hidup pada berkat hutan, sungai, dan rawa. Mereka berladang padi—kadangkala di rawa, tanam sagu, durian, nangka, pisang, mencari ikan-ikan di sungai, atau pergi berburu.
“Hutan di sini dulu. Pohonnya besar-besar,” kata Kimin, pria berusia 66 tahun di Kabuyu.
Semua itu tinggal ingatan. Sekitar 90-an, Mamuang bangun kebun sawit. Mamuang mendapatkan hak guna usaha pada 1997, di lahan seluas 8.000 hektar, dibatasi sungai dan HGU anak perusahaan AAL yang lain.
Kimin kembali menempati Kabuyu sekitar awal 90-an, setelah merantau. “Sekitar tahun 93, perusahaan masuk dikawal dengan tentara. Tumbangkan pohon, dicincang-cincang baru dibakar. Besar sekali apinya,” kata Kimin.
“Ladang, kebun habis.”
Perusahaan membantah tuduhan bahwa mereka merusak tanaman kebun milik warga.
“Sebelumnya, saya di Kabuyu Tua, [perusahaan] belum garap di sana. Pada 2004 masyarakat ada gerakan. Duduki lahan karena warga marah, sering digusur-gusur,” kata Kimin.
“Kita bertahan di sini. Kalau tidak, tidak akan ada ini kampung.”
Warga menuntut lahan 500 hektar keluar dari konsesi Mamuang. Kimin bersama warga sudah menempuh segalanya. Mereka lakukan gugatan perdata, demonstrasi sana-sini, hingga pendudukan kembali lahan yang telah diklaim perusahaan.
Kini, Kabuyu jadi kampung dengan rumah-rumah semi permanen dikelilingi sawit. Lokasi Kabuyu yang sekarang tak jauh berbeda pada peta kolonial Hindia Belanda, tahun 1927. Mamuang menjadikan Kabuyu sebagai lahan enklave, seluas 250 hektar.
Awal 2022, warga yang mengatasnamakan diri Aliansi Masyarakat Kabuyu, kembali memasuki konsesi perusahaan di depan perkampungan, menyusul Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pencabutan Izin Pengusahaan Kawasan Hutan pada 2022.
Sebelumnya, dalam serangkaian protes dan mediasi berhari-hari, mereka menduduki lahan itu, yang dulunya menurut Kimin milik warga Kabuyu. Mereka mendirikan rumah pertemuan. Menanam padi dan jagung di sela-sela sawit baru.
Tak lama, perjuangan itu surut, setelah seorang warga bernama Dedi Sudirman ditangkap polisi, karena tuduhan mengancam pekerja Mamuang, dalam sela aksi demonstrasi.
Saat saya mendatangi Kabuyu, rumah pertemuan itu sudah tidak ada. Hanya ada petak-petak ladang kecil dan pondok-pondok kebun beratap rumbia.
Dedi menunjukkan dua lembar peta dengan belasan tanda, yang menunjukkan lokasi kompleks kuburan pendahulu dan tempat-tempat sagu ditanam. “Di situ salah satunya dulu tempat sagu,” kata Dedi menunjuk ke arah kaki bukit tak jauh dari tempat pendudukan.
Potret di Kabuyu, merupakan cerminan konflik agraria di Indonesia. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria 2022, konflik agraria terus meningkat dan berdampak kepada 346.000 keluarga, dengan luasan konflik melampaui satu juta hektar tersebar di 33 provinsi termasuk Sulawesi Barat. Konflik agraria di perkebunan sawit menyumbang nyaris separuh dari angka-angka ini.
Dalam konflik agraria, seperti di perusahaan sawit ini, anak-anak kerap menerima dampak yang terus melekat hingga kelak mereka dewasa.
“Konflik lingkungan selalu menempatkan anak menjadi aktor yang terlupakan. Mengingat posisinya [masih anak-anak] dan dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki suara,” kata Ari Moch Arif, Direktur Program Perubahan Iklim dan Ekonomi Sirkular, Save the Children Indonesia.
Padahal, katanya, dalam keseharian—apalagi di kondisi di daerah-daerah konflik agraria—, anak adalah kelompok yang paling rentan.
Anak-anak kerap tidak aman dan nyaman hidup di kampung mereka, baik saat beraktivitas di rumah, sekolah, maupun dengan kondisi keluarga. “Karena melihat kedua orangtuanya memiliki persoalan dan berisiko hilang sektor ekonomi dan penghidupan mereka.”
Dalam konteks tertentu, kata Ari, konflik agraria memberikan tekanan pada soalan sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang berkonflik.
“Dalam konteks ini adalah keluarga dan anak, lagi-lagi yang paling menerima dampak dari sisi psikologi dan ancaman lain.”
Di Kabuyu dan sekitar, saya menemui warga yang ketika berusia belasan tahun, tak mampu melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena lahan hidup sudah tak ada.
Sisi lain, konflik agraria memberi dampak pada hak dasar anak. Hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari diskriminasi, hak atas perlindungan terhadap pengusiran paksa, dan hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
“Beberapa hak anak yang—mungkin—terdampak konflik agraria meliputi, hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari diskriminasi, hak atas perlindungan terhadap pengusiran paksa, dan hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka,” kata Saurlin Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM.
Sepanjang Januari 2021 hingga Desember 2022, Komnas HAM menerima 1.078 aduan berkaitan isu agraria. Empat aduan berasal dari Sulawesi Barat.
“Dalam konflik agraria, hak anak seharusnya diakui dan dilindungi sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan telah diratifikasi Indonesia dengan Keppres 36 tahun 1999,” katanya.
Dalam keterangan tertulis pada Mongabay, Saurlin bilang, penting bagi pihak yang berkepentingan memastikan hak-hak ini diakui dan dilindungi selama dan setelah konflik agraria.
Kepada Mongabay, perusahaan mengklaim, peduli pada kesejahteraan anak-anak dari Dusun Kabuyu, terutama untuk akses pendidikan dan kesehatan dan memliki hubungan “harmonis dan tidak ada permasalahan” dengan Warga Kabuyu.
“Masa emas anak-anak difasilitasi perusahaan,” tulis Mochamad Husni, Media and Public Relations Manager PT Astra Agro Lestari, dalam keterangan tertulis kepada Mongabay.
Perusahaan, katanya, sudah menyediakan sekolah dan layanan kesehatan berupa Posyandu dan “perhatian gizi pada anak-anak sekitar.”
Secara keseluruhan 1.378 anak dengan 11 sekolah milik perusahaan, katanya, telah menerima manfaat dari kegiatan-kegiatan pendidikan yang dikembangkan Mamuang.”
Mengais remah-remah
“Kebun sedikit dari orangtua. Apalagi sering terkikis sungai kalau banjir,” kata Tini, bukan nama sebenarnya, di Kabuyu.
Tini seorang ibu tunggal dengan dua putra. Anak sulung Tini pendiam dan pemalu, bersekolah di sekolah dasar perusahaan. Dia ingin jadi polisi. Si bungsu berumur empat tahun.
Dia meminta nama dan anak-anaknya tak disebut.
Seperti putranya, Tini lahir di Kabuyu, 28 tahun lalu. Dia menikah saat masih anak-anak, usia 14 tahun. Orangtuanya menikahkan demi melepas beban ekonomi, seperti saudarinya yang lain.
Tini sembilan bersaudara. Semua hanya tamat SD. “Orangtua susah. Sering ditinggal orang tua kerja. Kebun-kebun juga diambil perusahaan,” kata Tini.
Dalam kondisi berat, hidup di tengah konflik, Tini kecil tak memiiki cita-cita jauh ke depan. “Hanya mau jadi pekebun saja,” katanya.
Dia tahu konflik lahan ini sejak kecil. Tini merasa, putranya alami nasib serupa yang dia alami saat kecil.
Tini tak mau anak-anaknya bernasib suram tetapi menjamin kesejahteraan anak-anaknya menuntut biaya banyak.
Dalam waktu tertentu, Tini bersama ibunya menggarap sepetak tanah tegalan peninggalan keluarga, di tepi sungai. Di lahan sempit itu, Tini menanam jagung, cabai, dan padi yang khusus buat keperluan adat. Pada 2022, dia tidak garap kebun itu karena banjir.
“Kalau tidak tanam padi biasa sakit orang [pamali]. Kadang anak yang sakit, cucu. Nanti kalau sudah tanam baru sembuh. Biar sedikit asal tanam,” katanya.
Di Kabuyu, beras bukan untuk dijual dan hasil kebun dari lahan yang terbatas tak menjamin dapur Tini terus mengepul.
Dia harus ikut kerja serabutan. Di Kabuyu, pilihan kerja bagi Tini tak banyak—jika itu ada.
Tini ikut tetangga membasmi gulma yang tumbuh lebat di kebun Mamuang yang sedang peremajaan. Hampir saban pagi, dia ke kebun. Menyemprot ‘racun gulma’ dan membabat gulma, hingga matahari tepat di atas dan ‘menyengat’ tubuhnya.
Tini diupah puluhan ribu sekali kerja.
Di waktu lain, dia ikut borongan buruh harian, memanen sawit di kebun milik orang atau perusahaan. Jika sedang libur sekolah, Tini mengajak putra sulungnya. Jenis pekerjaan ini diringkas dengan istilah “makan gaji.”
Sebagai tambahan uang, Tini berburu brondolan sawit. Memasuki setiap kebun yang habis panen. Memungut brondolan di balik rumput atau pelepah sawit. Buah demi buah. Putra sulungnya kadang-kadang ikut.
Di Kabuyu, brondolan sawit menjadi primadona. Mencarinya tak butuh energi banyak. Perkilogram, dihargai Rp1.750.
Biasanya Tini bisa mengumpulkan brondolan sampai tiga karung, per karung sekitar 40 kg. “Tambah-tambah uang untuk makan sama beli jajan anak-anak,” katanya.
Brondolan adalah buah sawit, lebih kecil dari buah salak dan berwarna merah kecoklatan. Buah itu terkadang rontok dari tandan sawit.
Di kebun-kebun yang sedang peremajaan, brondolan bertebaran seperti jatuh dari langit. “Biasanya kita masuk sembunyi-sembunyi. Kalau kita [orang dari perusahaan] dilihat pasti dimarahi,” katanya.
Pilihan lain adalah tandan buah sawit, yang jauh lebih menghasilkan.
Tetapi ‘memanen’ kebun perusahaan tanpa izin selalu punya risiko dalam banyak hal.
Saya bertemu dengan Andi, bukan nama sebenarnya, remaja Kabuyu berusia 17 tahun. Sekitar tiga tahun lalu, Andi bersama sepupunya hendak ‘mengutil’ buah sawit di kebun Mamuang.
Dia perlu duit.
Mereka tiba di kebun dalam sergapan gelap. Andi lalu masuk menyusuri kebun, selagi sepupunya menjaga dari tepi jalan, tempat dia memarkir motor.
Belum juga lama, nahas, mereka dipergok petugas perusahaan. Sepupunya kabur bersama motor, meninggalkan Andi di dalam kebun, terjebak gelap dan dua petugas.
“Saya ditanya, dibawa ke pos.” Di pos, Andi diduga dipukuli. “Mukaku bengkak. Mataku tidak bisa terbuka. Besok pagi baru saya dilepas, pas dijemput sama ibu.”
Saat itu, Andi berumur 14 tahun. “Mereka tahu kalau saya anak-anak, karena umur saya ditanya,” katanya.
Dalam keterangan tertulis, perusahaan memastikan peristiwa yang diceritakan Andi tidak pernah terjadi.
“…Mamuang … telah menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam setiap kegiatannya,” kata Husni.
“Jika ada yang menuduh perusahaan melakukan pelanggaran HAM, tuduhan terhadap Mamuang sangat tidak berdasarkan pada fakta yang terjadi di lapangan.”
***
Tini menjual brondolan itu ke pengepul yang berada di kampung. Dari sinilah, brondolan itu bercampur dengan sawit-sawit lainnya, kemudian dipasok ke pabrik sawit milik AAL, bikin minyak mentah.
Mamuang tidak memiliki pabrik. Hasil panen akan dikirim ke pabrik milik anak usaha lain yang berdekatan, antara lain PT Pasangkayu, PT Letawa, atau PT Lestari Tani Teladan.
Minyak sawit itu kemudian dibeli perusahaan lain. Berkelindan dalam rantai pasok lintas batas, berakhir dan bercampur menjadi produk-produk rumah tangga, juga anak-anak. Berjejer di etalase toko dan pasar dengan berbagai merek: susu formula, sereal, kudapan coklat, sampo, sabun, minyak goreng, hingga jajanan anak berharga murah.
Pada Oktober 2022, Nestlé, raksasa perusahaan produsen makanan dan minuman asal Swiss, berencana tak lagi memasukkan tiga anak usaha AAL, yang beroperasi di Sulawesi Barat dan Tengah, dalam daftar pemasok tidak langsung mereka.
Kebijakan itu menyusul surat dari 55 organisasi yang melayangkan tuduhan terhadap tiga anak usaha AAL itu telah “melanggar HAM,” berupa “perampasan wilayah kelola rakyat, kriminalisasi, perkebunan ilegal, dan perusakan lingkungan hidup.”
Surat ini ditujukan kepada Forest Positive Coalition, bagian Costumer Goods Forum (GFC), sebuah konsorsium merek konsumen ternama dunia, di mana Nestlé menjadi anggota.
Dalam situsnya, Nestlé telah mencantumkan Mamuang, sebagai “perusahaan rantai pasok hulu yang tidak lagi bekerja sama dengan kami.”
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, perusahaan perusak lingkungan yang berpraktik tanpa izin ditindak tegas. Perusahaan juga wajib melakukan pemulihan hutan yang mereka rusak.
“Indonesia mengorbankan lingkungan dan hak rakyat atas pola konsumsi.”
*Liputan ini bagian dari program beasiswa bagi jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak 2022.
*********
******